Selasa, 20 September 2011

MATIUS DAN ORANG-ORANG PINGGIRAN

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Ada satu hal yang sangat mencolok sekaligus juga sangat menarik ketika saya membaca bagian-bagian awal dari injil Mateus. Mencolok karena di sana kita temukan sebuah silsilah Yesus. Silsilah adalah penelusuran sejarah, penetapan identitas, pengenalan diri. Tetapi hal itu sudah biasa. Semua orang mempunyai sejarah dan identitasnya sendiri.

Lalu, apanya yang luar biasa dari silsilah itu? Hal yang luar biasa ialah bahwa di sana kita temukan nama-nama beberapa perempuan sebagai leluhur Yesus. Luar biasa, karena biasanya yang didaftarkan dalam silsilah ialah nama-nama kaum lelaki; paling-paling perempuan dihadirkan sebagai keterangan pada laki-laki itu. Ya, begitulah watak dasar sebuah masyarakat patriarkis. Nah dalam silsilah Yesus versi Mateus ini, kaum perempuan ikut didaftarkan juga, sebagai garis penentu dan penyambung kesinambungan historis sebuah eksistensi silsilah. Ini bagi saya adalah sesuatu yang sangat luar biasa.

Dan yang lebih mencolok lagi ialah bahwa, nama-nama kaum perempuan itu tidak seluruhnya mempunyai reputasi yang baik. Ada yang dikenal mempunyai reputasi yang tidak begitu baik. Misalnya, di situ kita temukan nama Tamar, seorang perempuan janda muda yang memperdaya si mertua, Yehuda, dengan menyamar sebagai sundal. Di sana kita temukan juga Rahab dari Yeriko, perempuan sundal yang menyelamatkan dua mata-mata Israel yang mencoba menyelidiki tanah terjanji yang ternyata hasilnya mereka memberi kesaksian penuh pengharapan karena penuh berlimpah dengan susu dan madu. Ada juga isteri Uria yang melahirkan raja Salomo itu; dan kita semua tahu bagaimana Daud telah mencuri isteri Uria itu, yaitu melalui kekejaman pembunuhan berencana.

Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa Mateus berani mendaftarkan nama-nama ini dalam daftar silsilah Yesus? Bukankah hal itu bisa saja mencemari Yesus? Misalnya dengan mengatakan: “Ah leluhur Yesus itu ada yang pelacur lho!” Tidak. Matius sama sekali tidak takut. Ada apa dan mengapa? Tentu ada alasannya yang kuat dan mendasar.

Menurut hemat saya, alasan paling kuat ialah bahwa karena memang ada sebuah teologi di balik silsilah ini. Apa itu? Mari kita lihat satu persatu butir-butir teologis itu. Pertama, Mateus mau bersikap jujur dan apa adanya saja dalam sejarah dan terhadap sejarah. Sejarah tidak boleh dimanipulasi oleh yang menulis sejarah. Sejarah harus ditampilkan apa adanya. Itulah kiranya obsesi Matius. Jadi, biarpun ada nama perempuan yang “bereputasi” buruk, ia tidak memolesnya misalnya dengan menghilangkannya. Kedua, Mateus sekaligus juga mau berteologi dengan silsilah seperti itu. Ia mau menampilkan sebuah sisi dari Yesus sebagai orang yang serba merangkul, serba inklusif. Di dalam diri Dialah segala sesuatu mendapat tempat. Atau menurut istilah Paulus, dalam diri Dialah segala sesuatu didamaikan dengan Allah. Saya kira itulah arti penting yang dapat secara spontan saya kisahkan dalam percikan sekilas renungan ini.

Masih ada hal lain lagi yang ingin saya kemukakan di sini. Saya tiba-tiba baru sadar bahwa injil Mateus ini dibingkai dengan Immanuel. Apa arti dari Immaneul ini? Immanuel berarti Allah beserta kita, Allah menyertai kita. Dan janji Immanuel itu ada pada bagian awal Injil Mateus dan juga ada pada bagian akhir. Juga ada di bagian tengah. Jadi, seluruh injil ini dibingkai di dalam kesadaran akan Immanuel itu.

Mana Immanuel pada awal itu? Immanuel pada awal terletak dalam Mat.1:23. Mana Immanuel pada akhir itu? Immanuel pada akhir terletak dalam Mat.28:20. Mana Immanuel pada bagian tengah Injil? Immanuel pada bagian tengah itu ada dalam Mat.18:20. Nah jika dilihat dengan cara seperti itu tampak jelas kiranya bahwa seluruh injil Mateus dibingkai dalam bingkai kesadaran akan kehadiran sang Immanuel itu. Pada awal, Immanuel itu menjadi nama Yesus, sebuah nama diri; sedangkan pada bagian tengah dan pada bagian akhir, Immanuel itu adalah sebuah janji penyertaan, sebuah janji tindakan: Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku Aku hadir di sana (18:20), dan Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai akhir jaman (28:20).

Lalu apa yang ada di tengah-tengah bingkai itu? Sesungguhnya ada banyak hal. Tetapi saya hanya mau menonjolkan satu hal penting yaitu bahwa di sana Yesus yang adalah sang Immanuel itu mengajarkan kepada kita mengenai hidup di dalam kasih, di dalam keadilan dan di dalam pengharapan. Dan hal ini tidaklah terlalu berlebih-lebihan sebab kita semua bakal mampu karena kita sudah disertai Allah baik pada awal maupun pada akhir dan juga bagian tengah dari obsesi kehidupan kita. Itulah beberapa hal penting yang muncul secara spontan kalau saya membaca Injil Mateus.

Bandung, Mei 2008

Jumat, 09 September 2011

TAFSIR KITAB SUCI: MENGEMBANGKAN CINTA KASIH

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Beberapa hari lalu seorang mantan mahasiswa saya muncul di wall facebook dan bertukar pikiran dengan saya mengenai beberapa hal yang terkait dengan aksi teroris yang belakang ini muncul kembali dan membuat kita waspada dan bahkan saling curiga. Ia muncul dengan pernyataan: terorisme yang terkait dengan agama biasanya diilhami teks-teks yang juga keras di dalam kitab suci agama-agama terkait. Ia mau mengatakan bahwa kitab suci mengajarkan teror dan membenarkannya kalau teror itu sudah terjadi. Karena itu, ia mengusulkan agar perlu ada gerakan bersama untuk menulis kembali semua kitab suci agama-agama dan dalam proses penulisan ulang itu, unsur yang penuh kekerasan, yang mengandung teror dibuang saja. Kita cukup menyimpan hal-hal yang baik. Benih teror dan kebencian harus dibuang. Citra Allah pembenci dan pendendam harus dikikis. Tentu ia mengusulkan hal itu dengan harapan bahwa perjalanan ke masa depan manusia akan menjadi lebih baik dan lebih ramah: orang tidak lagi menempa mata pedang dan tombak, melainkan pedang dan tombak yang ada ditempa menjadi bajak untuk mengolah ladang atau sawah. Terhadap usul itu, ia meminta tanggapan.

Tulisan ini merupakan upaya pengembangan lebih lanjut dari argumen yang saya ajukan di wall facebook itu, ditambah dengan beberapa insight dari buku Karen Armstrong yang tahun lalu saya terjemahkan untuk Mizan: Bible, A Biography. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk meramaikan Bulan Kitab Suci Nasional, yang tahun ini kita rayakan dengan merenungkan kisah Yakub. Kalau kita baca kisah Yakub dengan baik dan penuh perhatian, akan tampak bahwa kisah itu memang penuh intrik, tipu muslihat, dan kekerasan, tetapi akhirnya semuanya bermuara ke rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu bisa terjadi setelah ada campur tangan Tuhan dalam seluruh proses itu.

Inilah beberapa tanggapan spontan saya saat itu. Pertama, usul itu tidak mungkin dilakukan karena Teks Kitab Suci adalah kisah-kisah manusiawi. Karena itu, isinya bisa sangat realistik dan vulgar tentang fakta kemanusiaan, baik menyangkut segi positifnya, maupun negatifnya. Kedua, dalam tradisi Katolik, dikenal tiga tonggak penting yang harus berimbang dan dijaga keseimbangannya: Kitab Suci, Tradisi, Magisterium. Segala tendensi untuk menekankan sudut yang satu akan diimbangi sudut lain. Maksudnya, kalau orang cenderung menjadi kaku dengan prinsip “sola scriptura,” perlu disadarkan bahwa kita punya tradisi. Magisterium memainkan peranan penting di sini. Tentu Kitab Suci di atas segala-galanya. Tetapi karena ia lahir dari tradisi maka tradisi memainkan peranan yang tidak kecil. Tafsir kitab suci selalu memerlukan otoritas baik itu intelektual, maupun rohani dan organisatoris. Itulah Magisterium. Ketiga, sama sekali tidak ada jaminan bahwa setelah kitab suci ditulis kembali dengan mempercantik isinya, manusia akan menjadi semakin ramah terhadap satu sama lain. Sebab tendensi homo homini lupus manusia adalah kecenderungan kodrati. Ia sudah ada dalam diri manusia, jauh sebelum ada agama yang mencekokinya dengan pelbagai ajaran, positif maupun negatif. Jadi, tidak terjamin dengan pasti bahwa teror akan hilang kalau kitab suci ditulis ulang.

Karena itu, kita harus mencari cara pemahaman dan penjelasan lain. Itulah yang saya angkat dari beberapa butir ilham pemikiran Karen Armstrong. Salah satu pokok yang mau didalami Armstrong dalam bukunya ialah bagaimana cara menafsirkan kitab suci. Sebab kitab suci itu harus ditafsirkan agar bisa bermakna dalam hidup manusia. Berikut beberapa prinsip yang dapat dikemukakan di sini.

Pertama, tafsir kitab suci harus praxis-oriented, terarah kepada praksis. Tafsir kitab suci harus bermuara pada perbuatan, pada tingkah laku. Tafsir Kitab Suci yang baik, harus mampu mengubah hidup orang ke arah yang lebih baik secara sosial-etis. Tafsir jangan sampai hanya sebatas olah-rasional-intelektual-spekulatif belaka. Tafsir seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya aktifitas melayang-layang saja. Kedua, tafsir kitab suci harus dilandasi oleh semangat kerendahan-hati, tidak sombong. Sikap rendah hati inilah yang merupakan salah satu sisi dari praxis-oriented. Praksis yang ditekankan di sini ialah sikap rendah hati. Studi yang kuat dan mendalam akan kitab suci harus bisa mengubah orang menjadi lebih rendah hati; kalau orang semakin rendah hati, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Sebaliknya, kalau ia sombong, ia akan semakin dekat dengan setan dan konco-konconya.

Ketiga, erat terkait dengan poin yang kedua tadi, tafsir kitab suci juga harus bisa menyuburkan cinta kasih. Poin ketiga inilah yang ingin saya tekankan di sini, terutama dalam situasi cekaman dan ancaman teror sekarang ini. Sudah lama para ahli kitab mengatakan bahwa jangan sampai tafsir menjadi ajang atau medan untuk menabur dan menebar kebencian. Melainkan harus dibaktikan kepada upaya penyuburan cinta kasih, sebab cinta kasih itulah yang dapat menjadi prinsip hidup. Hidup tidak mungkin ada tanpa cinta kasih. Hidup selalu mengandaikan cinta kasih sebagai dasar dan prasyaratnya. Cinta kasih adalah conditio sine-qua-non bagi hidup manusia.

Keempat, sejarah ilmu tafsir mempunyai sikap rendah hati, yaitu rela mengakui bahwa tidak ada tafsir tunggal. Karena itu, orang tidak dapat mengklaim kebenaran mutlak dalam ilmu tafsir (hermeneutik). Sekali lagi, perlu dikatakan bahwa orang tidak dapat memonopoli tafsir itu. Sebab di antara para penafsir ada satu keyakinan abadi bahwa setiap penafsir yang siap dan kritis akan selalu bisa menggali satu segi atau dimensi baru. Sebab sungguh diyakini bahwa “Reading is a process of reproducing meaning; reading is a process of reconstructing meaning.” Itu tidak lain karena membaca selalu berarti menafsirkan dan membangun makna.

Maka marilah kita membaca dan membaca. Sehubungan dengan bulan Kitab Suci ini ada baiknya kita dengar Agustinus yang suatu saat mendengar kata-kata: Tolle, Lege. Ambillah dan Bacalah. Agustinus membaca Kitab Suci, dan di sana ia berjumpa dengan Kristus, persis seperti yang dikatakan temannya, Hieronimus, siapa yang tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Kristus. Marilah kita isi bulan ini dengan aktifitas membaca kitab suci dalam rangka semakin mengenal dan mencintai Yesus Kristus.

Senin, 05 September 2011

ALMA REDEMPTORIS MATER
Oleh: Fransiskus Borgias M.

Entah mengapa, hari ini (21 Mei 2011) saya tiba-tiba teringat dan sangat rindu akan sebuah kidung Maria yang saya dengar pada akhir doa malam pertama kami di Seminari Pius XII Kisol. Itulah ibadat Completorium pertama dalam hidup saya. Dan itu terjadi di Kapel asrama seminari itu pulalah. Benar-benar sangat istimewa rasanya. Hari itu sudah pukul 21.00; ya sudah malam. Kami semua pergi ke kapel seminari untuk berdoa malam di Kapel itu. Di akhir doa itulah terdengar merdu bunyi harmonium pengiring dari loteng kapel itu, memberi nada-nada baru bagi saya, tetapi saya tahu itu sangat indah dan mempesona. Setelah sang organis memberi preludium singkat, para senior pun mulai bernyanyi dalam bahasa Latin. Sangat agung dan megah, indah dan mendalam, merasuk dalam kalbu, entah mengapa, entah bagaimana. Kami para Yunior, kalau tidak mendapat buku lagu, hanya bisa bengong saja mendengar untaian nada-nada dan kata-kata indah dan ajaib itu. Tetapi karena nada-nada itu indah, syairnya juga indah, maka malam itu juga saya coba menghafalnya luar kepala. Dan Berhasil. Tidak pernah terlupakan sampai sekarang, sampai detik ini.

Beginilah lagunya:
Alma Redemptoris mater,
quae per via caeli porta manes,
et stela maris,
sucure cadenti,
surgere qui curat populo,
tu que genuisti,
natura mirante,
tuum sanctum genitorem,
virgo prius ac posterius,
gabrielis ab ore,
sumens illud ave,
peccatorum miserere.

Salah satu versi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia (kalau tidak salah merupakan hasil kerja dari teks buku Nyanyian Sukur Kepada Bapa dari Nusa Indah) ialah sbb:
Bunda penebus yang murah,
gapura surgawi yang terbuka,
bintang samudera tolonglah umatmu,
yang dilanda duka derita,
berkat doamu di hadapan Yesus,
puteraMu yang tercinta,
kenya murni senantiasa,
yang disapa Jibrail
dengan salam indah,
sudi kasihani kami.

Versi terjemahan yang lain ialah sbb:
Bunda yang berbelas kasih,
engkau melahirkan penyelamat,
pelindung kami,
kami mohon restu,
agar slamat senantiasa,
berkat doamu di hadapan Yesus,
Puteramu yang tercinta,
kuatkanlah kami yang lemah,
dengan iman harapan,
dan kasih sejati,
ya Maria Bunda kami.

Entah mengapa, saya tetap merasa teks asli dalam bahasa Latin tetap masih jauh lebih indah dan lebih mendalam. Memang kalau dianalisis secara teologis liturgis, ada perbedaan yang sangat besar antara teks Latin dan kedua versi terjemahan yang tersedia di atas tadi. Perbedaan paling mencolok dalam analisis saya ialah bahwa dalam teks Latin sebagian besar teks lagu itu adalah pujian kepada sang Bunda Penebus. Baru pada akhir lagu-lah, muncul hanya satu penggal doa permohonan. Itu sebuah perimbangan doa teologis yang sangat berbeda yang tidak tampak dalam terjemahan bahasa Indonesia. Sebab baik versi terjemahan Indonesia pertama dan kedua, jika kita telaah, maka yang dominan ialah permohonan dan unsur pujian lalu menjadi tidak kentara untuk tidak sampai dikatakan hilang sama sekali.

Entah mengapa pula, pada malam ini tiba-tiba saya tergerak untuk membuat terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai. Mungkin karena saking rindunya terterpa badai nostalgia. Sejauh saya tahu memang belum ada terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai. Inilah hasil terjemahan saya. Semoga ada gunanya.

Ende ata Sambe,
Ende momang mese,
Ite ata lami para surga,
Ntala gerak,
dadang ami anakd,
one mose lino susa taung,
le tegi dite,
one rangaD Yesus,
Anak dite Anak momangd,
Pande mberes,
ami anak de,
le imbi agu bengkes,
agu momang mese,
io Maria Ende cembes.

Yogya, 21 Mei 2011 (Diketik dan diperluas, 06 September 2011).