Senin, 24 Oktober 2016

ROH KUDUS BERDOA BAGI KITA (Rom 8:26)

Oleh: Fransiskus Borgias M. Santo Paulus adalah salah satu tokoh yang mempunyai daya pengaruh yang sangat besar dalam sejarah Gereja, dalam sejarah Kekristenan itu sendiri. Sedemikian besar daya pengaruhnya sampai-sampai ada orang yang berani mengatakan bahwa Paulus-lah pendiri dan pendasar agama Kristiani. Tentu saja hal itu salah besar. Memang betul bahwa Paulus mempunyai jasa yang sangat besar dalam proses internasionalisasi agama Kristiani itu (yaitu membawa keluar agama Kristiani itu dari cangkang agraris-rural Palestina, ke seluruh alam metropolitan bahkan kosmopolitan Greco-Roman), tetapi ia bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam seluruh proses dan gerakan itu. Harus selalu diingat bahwa proses masuknya iman Kristiani ke dalam Metro-kosmopolis Greco-Roman pada saat itu, sudah terjadi jauh mendahului aktifitas misioner Paulus. Buktinya? Sebelum Paulus datang dan tiba di Roma, sebagaimana yang sudah direncanakannya juga (Rom 15:23; 28) dalam pelbagai rencana perjalanan dan pelayanannya, di sana sudah ada orang Kristiani. Paulus sendiri mengatakan bahwa ia berubah menjadi sang pewarta iman karena Kristus Yesus. Bahkan iman mereka sudah terdengar di sluruh dunia (Rom 1:8). Yesus ada di dasar hidup Paulus. Paulus pun mengaku bahwa ia adalah orang yang ditangkap dan dibelenggu Kristus (Flp 3:12). Paulus hanya mewartakan Kristus Yesus sebagai perwujudan nyata Injil Allah sebagai suatu daya kekuatan yang menyelamatkan orang yang percaya (Rom 5:16). Setiap kali saya membaca atau membahas sesuatu tentang Paulus maka selalu ada hal-hal personal dalam diri saya yang seperti merasa tersentuh, entah kenapa, dan entah bagaimana. Misterius sekali. Dan bahkan serasa seperti terangkat juga. Salah satu teks pemicunya ialah teks yang dari Roma 8 itu. Maka tulisan saya selanjutnya tidak lain hanya mencoba membahas tentang hal itu. Tetapi ini juga bukan sebuah eksegese murni. Ini sebuah eksegese eksistensial, berangkat dari pengalaman dan terutama penghayatan hidup personal saya sendiri. Bagi saya yang ini jauh lebih bermakna daripada yang terdahulu. Secara garis besar dalam perikopa ini Paulus berbicara tentang peranan dan karya Roh Kudus dalam hidup gereja, bahkan juga dalam hidup personal-spiritual manusia. Sebuah pneumatologi yang amat menarik perhatian tentu saja. Saya katakan personal karena ini menyangkut proses penemuan yang juga bersifat personal. Hal itu bisa terjadi karena dialog saya dengan salah seorang Bapa Rohani saya dulu saat di postulan OFM di Pagal, yaitu pater Vicente Kunrath OFM. Ceritanya rada panjang. Tetapi kalau disingkat kira-kira seperti berikut ini. Saat saya masuk seminari kecil dulu di Manggarai Flores, pada tahun 1975, saya termasuk salah satu siswa yang paling kecil, paling kurus, paling lemah secara fisik. Kondisi kurus ini menyebabkan saya menjadi minder, apalagi teman-teman selalu mengolok saya sebagai kurus dan sama sekali tidak diperhitungkan dalam kegiatan olah raga maupun pelbagai macam kegiatan lain yang membutuhkan kekuatan jasmani. Saya ingat, saat kelas satu sampai kelas tiga SMP, saya belum bisa memukul (servis) bola voly sampai melewati net. Paling-paling bola itu hanya terlontar beberapa meter saja di depan saya sendiri. Karena itu, setiap hari olah raga adalah sebuah penderitaan bagi saya. Apabila tiga giliran saya untuk servis bola, teman-teman dan bahkan juga wasit mengatakan: “Ah, sudah, daripada buang-buang waktu, lebih baik bola langsung saja pindah ke sebelah (maksudnya: ke tim lawan), sebab pasti tidak akan bisa lewat net lagi.” Begitulah, saya tidak diberi sempat dan tempat untuk melatih diri dan kekuatan dan kepercayaan diri untuk memukul bola itu sampai bisa melewati net. Hal ini mendorong dan menyebabkan saya berdoa secara sangat kongkret. Setiap hari saya berdoa memohon kepada Tuhan agar saya bisa menjadi gemuk, biar badan saya bisa menjadi kuat dan bisa memukul bola voly melewati net. Kalau hal itu bisa terjadi, maka saya tidak lagi akan diremehkan dan ditertawakan teman-teman. Tiap-tiap hari itulah yang saya mohon dalam doaku kepada Tuhan. Saya berdoa secara sangat kongkret dan nyata. Saya merasa hal itu tidak salah juga. Toh dalam doa Bapa Kami, Tuhan Yesus mengajar kita untuk berdoa secara kongkret: “Berilah kami, roti pada hari ini” (panem nostrum quotidianum da nobis hodie) (bdk.Mat.6:11; LAI: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya; bdk.Luk 11:3; LAI: Berikanlah kami setiap hari makanan kami yanag secukupnya). Jadi, Yesus mengajar kita untuk tidak meminta hal-hal yang terlalu muluk-muluk, melainkan meminta hal fundamental untuk hidup, yaitu makanan, roti. Maka atas dasar rumusan verbal itu, saya coba ubah atau adaptasi sedikit: “Berilah aku, badan yang gemuk, badan yang kuat, pada hari ini.” Setiap malam dalam doa devosi pribadiku di gua Maria, hal itulah juga yang saya mohon. Hanya itu saja. Hampir tidak ada lagi hal lain dari itu. Tetapi sama sekali tidak ada perubahan. Tidak ada hasil. Saya sama sekali tidak menjadi gemuk. Saya tetap sangat kurus, lemah. Akhirnya, setelah lima tahun belajar di Seminari Kecil, saat saya duduk di kelas dua SMA (Kelas V Seminari) saya jatuh dalam sebuah krisis hidup rohani. Kongkretnya, saya mengalami krisis hidup doa. Tiba-tiba saja saya merasa tidak bisa lagi berdoa. Tiba-tiba saja saya merasa bahwa saya tidak perlu lagi berdoa. Bahkan saya merasa bahwa doa itu tidak ada gunanya sama sekali. Sia-sia belaka. Maka sejak saat itu, boleh dikatakan bahwa saya berhenti berdoa, tidak mau dan tidak bisa lagi berdoa. Dorongan spontan dan lugu masa kanak-kanak dalam semangat doa, tiba-tiba sirna begitu saja. Mungkin itu sebuah pendekatan yang terlalu fungsional terhadap doa. Sekali lagi sejak saat itu saya tidak lagi pernah berdoa. Aktifitas doa hanya saya lakukan sekadar dan sebatas sebagai sebuah solidaritas sosial sebagai siswa Seminari saja. Tidak ada isinya sama sekali. Selain sebuah apatisme rohani. Bahkan juga sinisme spiritual. Ya, sekadar untuk taat aturan dan menekuni rutinitas saja. Tidak menjadi pembangkang. Hidup doa saya kosong dan kering kerontang. Penyebabnya, ya itu tadi, karena saya merasa doa saya tidak terkabul sama sekali selama lima tahun. Tentu itu bukan sebuah rentang waktu yang singkat. Bukan main lamanya. Tuhan sepertinya tidak menjawab doa saya. Tuhan seperti sebuah tembok, wadas yang dingin bagi saya, begitu kata orang-orang dalam karangan tentang hidup rohani dan doa. Saya masuk ke dalam alam kekersangan rasa, kegersangan rohani dalam istilah Pater Groenen dan Aleks Lanur dalam buku biru bimbingan hidup doa dan hidup rohani di novisiat dulu. Dengan kondisi spiritual seperti itu saya lewatkan sisa-sisa tahun hidupku di seminari kecil dan menengah. Setelah tamat dari seminari menengah saya memutuskan untuk masuk OFM. Saat itu kami harus melewati tahap postulat dan novisiat. Masa Postulat saya jalani di biara santo Yosef Pagal. Di situlah saya bertemu dengan Pater Vicente Kunrath OFM; sesungguhnya saya sudah mengenal beliau sebelumnya sebab ia pernah diundang menjadi pembimbing ret-ret bagi kami siswa Seminari kecil dan menengah dulu. Selama di masa postulat itu saya ingat beberapa kali saya datang ke kamar beliau untuk meminta bimbingan dan nasihat rohani dari dia, menyangkut macam-macam hal terkait dinamika hidup anak muda, hidup rohani dan hidup doa. Salah satu pokok yang amat mengganggu saya saat itu ialah fakta bahwa sudah hampir tiga tahun terakhir dalam hidup saya, saya mengalami sebuah krisis hidup rohani, sebuah krisis hidup doa yang saya anggap sangat parah dan gawat. Itulah yang saya sharingkan ke dia dengan mengisahkan latar belakang personal di atas tadi. Betapa saat itu saya sangat terkejut karena begitu saya mengatakan bahwa saya mengalami krisis hidup doa, krisis hidup Rohani, Pater Vicente pun tertawa dan senyum-senyum. Lalu dia berkata dengan sangat tenang, penuh gaya kebapaan: “Frans, ingat yah, bukan hanya kamu yang mengalami hal-hal seperti itu. Setiap orang juga begitu. Saya juga begitu; itu adalah sesuatu yang sangat manusiawi, sangat alami.” Terus terang saja, saat itu saya sangat terkejut. Lalu dia menantang saya dengan sebuah pertanyaan retoris-kritis: “Emang-nya Frans tahu cara berdoa yang baik dan benar?” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kita manusia tidak tahu cara berdoa yang baik dan benar, Frans.” Terus terang saja, saya sangat terkejut dengan hal itu dan benar-benar ada diluar dugaan saya sama sekali. Terutama ketika dia mengatakan bahwa: “Saya juga begitu.” Padahal bagi saya dan bagi semua teman yang lain, dia adalah laksana sebuah “tabernakel” berjalan Dia adalah seorang pendoa sejati, seorang yang saleh hidupnya. Atau jangan-jangan dia berkata begitu, hanya sekadar untuk menyatakan rasa solidaritas saja terhadap manusia kritis yang sedang berada dalam krisis, kegentingan rohani. Mungkin saja. Sebuah metode pendekatan rohani. Entahlah. Setelah dia mengatakan begitu, dia mulai serius: “Frans, kita semua tidak tahu cara berdoa. Camkan dan ingat hal itu baik-baik. Kita hanya sekadar mengucapkan kata-kata saja. Mungkin kata-kata itu kosong. Sekadar Lip services. Hanya bunyi dan bunyi saja. Bahkan Flatus vocis. Gumam, menggerutu... hemmmmmm.... berdekut seperti merpati.” Lalu ia diam sejenak. “Tetapi, Frans, janganlah takut. Marilah kita baca teks ini.” Lalu dia membuka kitab Suci yang terletak di meja kecil di sampingnya. Ia membuka pada Roma 8:26. Bunyinya sebagai berikut: “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” Tidak berhenti di situ saja. Dalam ayat berikutnya terbaca teks berikut ini: “Dan Allah yang menyeleidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.” (Rom 8:27). Lalu kami diam sejenak. Bukannya saya belum pernah dengar atau baca teks itu sebelumnya. Saya sudah membacanya dan mendengarnya berkali-kali, baik di gereja, maupun dalam kegiatan bacaan rohani (lectio divina) di seminari kecil dulu. Tetapi entah mengapa, kali ini, teks itu terasa hidup, terasa seperti sebuah wahyu baru dan khusus ditujukan bagi saya sekarang dan di sini. “Frans, kamu dengar itu? Jadi, jangan takut, dan jangan bingung. Roh Kudus berdoa bagi kita.” Di sini saya tiba-tiba teringat bahwa selama masa krisis rohani dan krisis doa dulu di seminari, selama saya melewati masa kekersangan rasa, saya sering sekali berkeluh-kesah, bahkan mengumpat, sampai sumpah serapah: Mengapa Tuhan diam? Mengapa Tuhan membisu? Terkadang saya takut sendiri membayangkan “ateisme praktis” saya pada saat itu: hidup seakan-akan Allah tidak ada. Atau, apakah Allah ada atau tidak, sama sekali tidak penting bagi saya, sama sekali tidak saya hiraukan, karena tidak ada efeknya bagi hidup saya. Hal-hal itu juga saya sharingkan kepada beliau. Dan dengan santai ia mengatakan: “Frans, itu juga tidak apa-apa. Itu juga sebuah doa. Atau sudah diubah menjadi doa. Doa-doa itu mungkin dalam bentuk menggumam saja, tetapi oleh Roh Kudus sudah diubah menjadi kata-kata bermakna doa dan dengan itu bisa sampai ke hadapan hadirat Tuhan.” Di sini saya tiba-tiba menjadi sadar bahwa betapa pun saya mengalami krisis, tetapi akhirnya saya bisa melewati krisis itu. Dan peristiwa selamatnya saya melewati krisis itu, itupun adalah rahmat juga. Sebuah mukjizat hidup rohani. Di akhir jam bimbingan rohani itu, pater Vicente mengatakan kepada saya: “Ingat Frans, mazmur-mazmur juga, ada kategori yang termasuk keluh-kesah, yang isinya ya, persis seperti bertanya-tanya dan berontak kepada Tuhan, menggugat Allah. Coba kamu buka saja kitab Mazmur; maka pasti kamu akan menemukan beberapa kategori Mazmur seperti itu. Tetapi yang menarik ialah bahwa tradisi Yudeo-Kristiani tetap menyebut semua Mazmur itu sebagai doa. Ya keluh-kesah juga adalah doa.” Saya benar-benar mendapat kelegaan setelah mendapat teks dari Paulus ini. Sejak saat itu saya pun mengalami sebuah daya kekuatan baru. Saya mengalami sebuah kebangkitan rohani baru; seakan-akan terlahir kembali (tetapi saya bukan anggota Born Again Church, lho). Saya pun menjadi sadar bahwa Doa dan kemauan untuk berdoa juga adalah sebuah peristiwa Rahmat dari Allah semata-mata. Saya juga menjadi sadar bahwa sesungguhnya tidak ada jalan buntu dalam doa. Saat kita seperti sudah kehabisan dan kehilangan kata-kata, maka Roh akan membantu kita untuk berdoa. Ini benar-benar sebuah temuan rohani besar dan sebuah kebangkitan rohani yang luar biasa. Ya, Roh berdoa bagi kita dengan seruan-seruan yang tidak terucapkan (Rom 8:26). Bandung, Januari, 2016.