Senin, 24 Oktober 2016
ROH KUDUS BERDOA BAGI KITA (Rom 8:26)
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Santo Paulus adalah salah satu tokoh yang mempunyai daya pengaruh yang sangat besar dalam sejarah Gereja, dalam sejarah Kekristenan itu sendiri. Sedemikian besar daya pengaruhnya sampai-sampai ada orang yang berani mengatakan bahwa Paulus-lah pendiri dan pendasar agama Kristiani. Tentu saja hal itu salah besar. Memang betul bahwa Paulus mempunyai jasa yang sangat besar dalam proses internasionalisasi agama Kristiani itu (yaitu membawa keluar agama Kristiani itu dari cangkang agraris-rural Palestina, ke seluruh alam metropolitan bahkan kosmopolitan Greco-Roman), tetapi ia bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam seluruh proses dan gerakan itu. Harus selalu diingat bahwa proses masuknya iman Kristiani ke dalam Metro-kosmopolis Greco-Roman pada saat itu, sudah terjadi jauh mendahului aktifitas misioner Paulus. Buktinya? Sebelum Paulus datang dan tiba di Roma, sebagaimana yang sudah direncanakannya juga (Rom 15:23; 28) dalam pelbagai rencana perjalanan dan pelayanannya, di sana sudah ada orang Kristiani. Paulus sendiri mengatakan bahwa ia berubah menjadi sang pewarta iman karena Kristus Yesus. Bahkan iman mereka sudah terdengar di sluruh dunia (Rom 1:8). Yesus ada di dasar hidup Paulus. Paulus pun mengaku bahwa ia adalah orang yang ditangkap dan dibelenggu Kristus (Flp 3:12). Paulus hanya mewartakan Kristus Yesus sebagai perwujudan nyata Injil Allah sebagai suatu daya kekuatan yang menyelamatkan orang yang percaya (Rom 5:16).
Setiap kali saya membaca atau membahas sesuatu tentang Paulus maka selalu ada hal-hal personal dalam diri saya yang seperti merasa tersentuh, entah kenapa, dan entah bagaimana. Misterius sekali. Dan bahkan serasa seperti terangkat juga. Salah satu teks pemicunya ialah teks yang dari Roma 8 itu. Maka tulisan saya selanjutnya tidak lain hanya mencoba membahas tentang hal itu. Tetapi ini juga bukan sebuah eksegese murni. Ini sebuah eksegese eksistensial, berangkat dari pengalaman dan terutama penghayatan hidup personal saya sendiri. Bagi saya yang ini jauh lebih bermakna daripada yang terdahulu. Secara garis besar dalam perikopa ini Paulus berbicara tentang peranan dan karya Roh Kudus dalam hidup gereja, bahkan juga dalam hidup personal-spiritual manusia. Sebuah pneumatologi yang amat menarik perhatian tentu saja. Saya katakan personal karena ini menyangkut proses penemuan yang juga bersifat personal. Hal itu bisa terjadi karena dialog saya dengan salah seorang Bapa Rohani saya dulu saat di postulan OFM di Pagal, yaitu pater Vicente Kunrath OFM. Ceritanya rada panjang. Tetapi kalau disingkat kira-kira seperti berikut ini.
Saat saya masuk seminari kecil dulu di Manggarai Flores, pada tahun 1975, saya termasuk salah satu siswa yang paling kecil, paling kurus, paling lemah secara fisik. Kondisi kurus ini menyebabkan saya menjadi minder, apalagi teman-teman selalu mengolok saya sebagai kurus dan sama sekali tidak diperhitungkan dalam kegiatan olah raga maupun pelbagai macam kegiatan lain yang membutuhkan kekuatan jasmani. Saya ingat, saat kelas satu sampai kelas tiga SMP, saya belum bisa memukul (servis) bola voly sampai melewati net. Paling-paling bola itu hanya terlontar beberapa meter saja di depan saya sendiri. Karena itu, setiap hari olah raga adalah sebuah penderitaan bagi saya. Apabila tiga giliran saya untuk servis bola, teman-teman dan bahkan juga wasit mengatakan: “Ah, sudah, daripada buang-buang waktu, lebih baik bola langsung saja pindah ke sebelah (maksudnya: ke tim lawan), sebab pasti tidak akan bisa lewat net lagi.” Begitulah, saya tidak diberi sempat dan tempat untuk melatih diri dan kekuatan dan kepercayaan diri untuk memukul bola itu sampai bisa melewati net.
Hal ini mendorong dan menyebabkan saya berdoa secara sangat kongkret. Setiap hari saya berdoa memohon kepada Tuhan agar saya bisa menjadi gemuk, biar badan saya bisa menjadi kuat dan bisa memukul bola voly melewati net. Kalau hal itu bisa terjadi, maka saya tidak lagi akan diremehkan dan ditertawakan teman-teman. Tiap-tiap hari itulah yang saya mohon dalam doaku kepada Tuhan. Saya berdoa secara sangat kongkret dan nyata. Saya merasa hal itu tidak salah juga. Toh dalam doa Bapa Kami, Tuhan Yesus mengajar kita untuk berdoa secara kongkret: “Berilah kami, roti pada hari ini” (panem nostrum quotidianum da nobis hodie) (bdk.Mat.6:11; LAI: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya; bdk.Luk 11:3; LAI: Berikanlah kami setiap hari makanan kami yanag secukupnya). Jadi, Yesus mengajar kita untuk tidak meminta hal-hal yang terlalu muluk-muluk, melainkan meminta hal fundamental untuk hidup, yaitu makanan, roti. Maka atas dasar rumusan verbal itu, saya coba ubah atau adaptasi sedikit: “Berilah aku, badan yang gemuk, badan yang kuat, pada hari ini.” Setiap malam dalam doa devosi pribadiku di gua Maria, hal itulah juga yang saya mohon. Hanya itu saja. Hampir tidak ada lagi hal lain dari itu.
Tetapi sama sekali tidak ada perubahan. Tidak ada hasil. Saya sama sekali tidak menjadi gemuk. Saya tetap sangat kurus, lemah. Akhirnya, setelah lima tahun belajar di Seminari Kecil, saat saya duduk di kelas dua SMA (Kelas V Seminari) saya jatuh dalam sebuah krisis hidup rohani. Kongkretnya, saya mengalami krisis hidup doa. Tiba-tiba saja saya merasa tidak bisa lagi berdoa. Tiba-tiba saja saya merasa bahwa saya tidak perlu lagi berdoa. Bahkan saya merasa bahwa doa itu tidak ada gunanya sama sekali. Sia-sia belaka. Maka sejak saat itu, boleh dikatakan bahwa saya berhenti berdoa, tidak mau dan tidak bisa lagi berdoa. Dorongan spontan dan lugu masa kanak-kanak dalam semangat doa, tiba-tiba sirna begitu saja. Mungkin itu sebuah pendekatan yang terlalu fungsional terhadap doa. Sekali lagi sejak saat itu saya tidak lagi pernah berdoa. Aktifitas doa hanya saya lakukan sekadar dan sebatas sebagai sebuah solidaritas sosial sebagai siswa Seminari saja. Tidak ada isinya sama sekali. Selain sebuah apatisme rohani. Bahkan juga sinisme spiritual. Ya, sekadar untuk taat aturan dan menekuni rutinitas saja. Tidak menjadi pembangkang. Hidup doa saya kosong dan kering kerontang. Penyebabnya, ya itu tadi, karena saya merasa doa saya tidak terkabul sama sekali selama lima tahun. Tentu itu bukan sebuah rentang waktu yang singkat. Bukan main lamanya. Tuhan sepertinya tidak menjawab doa saya. Tuhan seperti sebuah tembok, wadas yang dingin bagi saya, begitu kata orang-orang dalam karangan tentang hidup rohani dan doa. Saya masuk ke dalam alam kekersangan rasa, kegersangan rohani dalam istilah Pater Groenen dan Aleks Lanur dalam buku biru bimbingan hidup doa dan hidup rohani di novisiat dulu.
Dengan kondisi spiritual seperti itu saya lewatkan sisa-sisa tahun hidupku di seminari kecil dan menengah. Setelah tamat dari seminari menengah saya memutuskan untuk masuk OFM. Saat itu kami harus melewati tahap postulat dan novisiat. Masa Postulat saya jalani di biara santo Yosef Pagal. Di situlah saya bertemu dengan Pater Vicente Kunrath OFM; sesungguhnya saya sudah mengenal beliau sebelumnya sebab ia pernah diundang menjadi pembimbing ret-ret bagi kami siswa Seminari kecil dan menengah dulu. Selama di masa postulat itu saya ingat beberapa kali saya datang ke kamar beliau untuk meminta bimbingan dan nasihat rohani dari dia, menyangkut macam-macam hal terkait dinamika hidup anak muda, hidup rohani dan hidup doa. Salah satu pokok yang amat mengganggu saya saat itu ialah fakta bahwa sudah hampir tiga tahun terakhir dalam hidup saya, saya mengalami sebuah krisis hidup rohani, sebuah krisis hidup doa yang saya anggap sangat parah dan gawat. Itulah yang saya sharingkan ke dia dengan mengisahkan latar belakang personal di atas tadi.
Betapa saat itu saya sangat terkejut karena begitu saya mengatakan bahwa saya mengalami krisis hidup doa, krisis hidup Rohani, Pater Vicente pun tertawa dan senyum-senyum. Lalu dia berkata dengan sangat tenang, penuh gaya kebapaan: “Frans, ingat yah, bukan hanya kamu yang mengalami hal-hal seperti itu. Setiap orang juga begitu. Saya juga begitu; itu adalah sesuatu yang sangat manusiawi, sangat alami.” Terus terang saja, saat itu saya sangat terkejut. Lalu dia menantang saya dengan sebuah pertanyaan retoris-kritis: “Emang-nya Frans tahu cara berdoa yang baik dan benar?” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kita manusia tidak tahu cara berdoa yang baik dan benar, Frans.” Terus terang saja, saya sangat terkejut dengan hal itu dan benar-benar ada diluar dugaan saya sama sekali. Terutama ketika dia mengatakan bahwa: “Saya juga begitu.” Padahal bagi saya dan bagi semua teman yang lain, dia adalah laksana sebuah “tabernakel” berjalan Dia adalah seorang pendoa sejati, seorang yang saleh hidupnya. Atau jangan-jangan dia berkata begitu, hanya sekadar untuk menyatakan rasa solidaritas saja terhadap manusia kritis yang sedang berada dalam krisis, kegentingan rohani. Mungkin saja. Sebuah metode pendekatan rohani. Entahlah.
Setelah dia mengatakan begitu, dia mulai serius: “Frans, kita semua tidak tahu cara berdoa. Camkan dan ingat hal itu baik-baik. Kita hanya sekadar mengucapkan kata-kata saja. Mungkin kata-kata itu kosong. Sekadar Lip services. Hanya bunyi dan bunyi saja. Bahkan Flatus vocis. Gumam, menggerutu... hemmmmmm.... berdekut seperti merpati.” Lalu ia diam sejenak. “Tetapi, Frans, janganlah takut. Marilah kita baca teks ini.” Lalu dia membuka kitab Suci yang terletak di meja kecil di sampingnya. Ia membuka pada Roma 8:26. Bunyinya sebagai berikut: “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” Tidak berhenti di situ saja. Dalam ayat berikutnya terbaca teks berikut ini: “Dan Allah yang menyeleidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.” (Rom 8:27).
Lalu kami diam sejenak. Bukannya saya belum pernah dengar atau baca teks itu sebelumnya. Saya sudah membacanya dan mendengarnya berkali-kali, baik di gereja, maupun dalam kegiatan bacaan rohani (lectio divina) di seminari kecil dulu. Tetapi entah mengapa, kali ini, teks itu terasa hidup, terasa seperti sebuah wahyu baru dan khusus ditujukan bagi saya sekarang dan di sini. “Frans, kamu dengar itu? Jadi, jangan takut, dan jangan bingung. Roh Kudus berdoa bagi kita.” Di sini saya tiba-tiba teringat bahwa selama masa krisis rohani dan krisis doa dulu di seminari, selama saya melewati masa kekersangan rasa, saya sering sekali berkeluh-kesah, bahkan mengumpat, sampai sumpah serapah: Mengapa Tuhan diam? Mengapa Tuhan membisu? Terkadang saya takut sendiri membayangkan “ateisme praktis” saya pada saat itu: hidup seakan-akan Allah tidak ada. Atau, apakah Allah ada atau tidak, sama sekali tidak penting bagi saya, sama sekali tidak saya hiraukan, karena tidak ada efeknya bagi hidup saya. Hal-hal itu juga saya sharingkan kepada beliau. Dan dengan santai ia mengatakan: “Frans, itu juga tidak apa-apa. Itu juga sebuah doa. Atau sudah diubah menjadi doa. Doa-doa itu mungkin dalam bentuk menggumam saja, tetapi oleh Roh Kudus sudah diubah menjadi kata-kata bermakna doa dan dengan itu bisa sampai ke hadapan hadirat Tuhan.” Di sini saya tiba-tiba menjadi sadar bahwa betapa pun saya mengalami krisis, tetapi akhirnya saya bisa melewati krisis itu. Dan peristiwa selamatnya saya melewati krisis itu, itupun adalah rahmat juga. Sebuah mukjizat hidup rohani.
Di akhir jam bimbingan rohani itu, pater Vicente mengatakan kepada saya: “Ingat Frans, mazmur-mazmur juga, ada kategori yang termasuk keluh-kesah, yang isinya ya, persis seperti bertanya-tanya dan berontak kepada Tuhan, menggugat Allah. Coba kamu buka saja kitab Mazmur; maka pasti kamu akan menemukan beberapa kategori Mazmur seperti itu. Tetapi yang menarik ialah bahwa tradisi Yudeo-Kristiani tetap menyebut semua Mazmur itu sebagai doa. Ya keluh-kesah juga adalah doa.” Saya benar-benar mendapat kelegaan setelah mendapat teks dari Paulus ini.
Sejak saat itu saya pun mengalami sebuah daya kekuatan baru. Saya mengalami sebuah kebangkitan rohani baru; seakan-akan terlahir kembali (tetapi saya bukan anggota Born Again Church, lho). Saya pun menjadi sadar bahwa Doa dan kemauan untuk berdoa juga adalah sebuah peristiwa Rahmat dari Allah semata-mata. Saya juga menjadi sadar bahwa sesungguhnya tidak ada jalan buntu dalam doa. Saat kita seperti sudah kehabisan dan kehilangan kata-kata, maka Roh akan membantu kita untuk berdoa. Ini benar-benar sebuah temuan rohani besar dan sebuah kebangkitan rohani yang luar biasa. Ya, Roh berdoa bagi kita dengan seruan-seruan yang tidak terucapkan (Rom 8:26).
Bandung, Januari, 2016.
Senin, 09 April 2012
PRIORITAS "MENDENGAR" DI ATAS "MELIHAT"
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Salah satu teks injil Yohanes yang melukiskan mengenai peristiwa kebangkitan Yesus dari alam maut dan yang selalu menyentuh dan menarik perhatian saya ialah Yohanes 20:11-18. Kalau kita baca teks itu dengan teliti, maka kita akan menemukan sebuah hal yang menarik dan sangat penting, karena menyangkut sebuah pandangan teologi mengenai iman akan Yesus Kristus dan juga terutama hubungan dengan Yesus Kristus. Di sana dikisahkan tentang peristiwa penampakan Yesus kepada Maria Magdalena, sebab inilah salah satu rangkaian dari kisah-kisah penampakan Yesus menurut Yohanes.
Dikatakan bahwa Maria menangis sedih tatkala pagi-pagi ia pergi mengunjungi tempat Yesus dimakamkan. Mungkin ia sudah menangis sepanjang perjalanan menuju ke makam itu. Mungkin juga ia sudah menangis sedih sejak hari penyaliban itu. Entah mulai kapan dan berapa lama, yang jelas sekali lagi dikatakan bahwa ia menangis sedih. Ia semakin sedih lagi tatkala tahu dan menyadari bahwa makam itu sudah kosong. Ia pasti menangis sejadi-jadinya. Sebab ia datang untuk melihat jenazah-Nya, tetapi ia hanya menemukan makam yang kosong. Jadi dapat dibayangkan bahwa air mata menggelinang di pelubuk matanya.
Kita semua juga tahu bahwa kalau kita menangis maka biasanya penglihatan kita menjadi kabur, penglihatan kita menjadi tidak serba jelas karena mata kita tertutup oleh butir-butir air mata yang menggenang di sana. Akibatnya, kita akan sulit mengenal orang dengan cepat dan tepat. Dari kondisi ini akan muncul kebingungan dan salah paham. Juga akan muncul miskomunikasi. Persis itulah yang terjadi dan dilukiskan di dalam teks ini. Maria salah memahami Yesus. Kiranya itulah sebabnya ketika menoleh, Maria tidak langung mengenal Yesus. Ia pangling. Salah paham ini terus berlanjut dan menghasilkan dialog-dialog seperti yang kita baca di sana.
Tetapi lalu dikatakan bahwa Yesus menyebut namanya: Maria. Ya, Yesus menyebut nama Maria. Saya lebih suka memakai kata memanggil (to call) daripada menyebut (to mention). Sebab ada beda di antara keduanya. Memanggil itu membutuhkan suatu tanggapan personal dari orang yang namanya dipanggil. Menyebut itu tidak mutlak membutuhkan tanggapan personal dari orang yang namanya dipanggil itu. Dan yang sangat menarik ialah bahwa ketika ia (Maria) mendengar suara yang menyebut atau memanggil namanya, barulah Maria langsung mengenal si empunya suara yang memanggil atau menyebut namanya tadi. Maka sebagai reaksi atau tanggapan, ia pun berseru dengan suara nyaring dan penuh kegiarangan: Guru. Maria baru mengenal sang guru lewat suaranya, ia baru bisa mengidentifikasi sang Guru lewat telinga, dan bukan terutama dengan melihat, atau mengidentifikasi dengan mata. Hal ini patut dicatat dan digaris-bawahi dengan baik-baik.
Terus terang saja, bukan baru kali ini saya membaca dan merenungkan teks ini. Saya sudah selalu membaca teks ini berkali-kali selama ini. Saya juga sudah merenungkannya terus menerus. Ada banyak hal yang muncul sebagai hasil dari permenungan saya atas teks ini. Ya, ketika mulai mencoba merenungkan teks dan peristiwa yang terkandung dalam teks ini sekarang ini, sesungguhnya saya secara spontan teringat akan beberapa hal berikut ini.
Pertama, saya teringat akan santo Paulus yang di salah satu tempat dalam surat-suratnya mengatakan bahwa iman itu terjadi atau datang melalui dan karena pendengaran. Istilah kerennya dalam bahasa Latin ialah fides ex auditu. Artinya, iman yang muncul dari atau karena mendengar (Rom.10:17). Yang terjadi di sini ialah, orang mengenal dan sampai pada pengenalan justeru karena mendengar, dan bukan terutama karena melihat. Jadi jelas bahwa di sini ada prioritas mendengarkan di atas melihat (sebagaimana dikatakan dalam judul tulisan ini). Kedua, saya juga secara spontan teringat akan Tomas, sang Rasul yang tidak mudah percaya begitu saja akan berita sensasi yang dikisahkan temat-temannya. Dalam kaitan dengan Tomas ini, jelas Maria adalah paradoks Tomas. Kalau Tomas baru mau dan bisa percaya kalau sudah melihat, maka Maria justeru sudah percaya begitu saja bukan terutama karena melihat, melainkan karena sudah mulai mendengarkan. Dan camkanlah dan ingatlah selalu bahwa kisah Maria mendahului kisah Tomas. Jadi, ada prioritas Maria dalam urutan ruang dan waktu kisah. Ada prioritas mendengar di atas melihat. Menurut saya, itulah maknanya.
Ketiga, saya juga secara spontan langsung teringat akan Yohanes 10 tentang hubungan yang baik antara gembala yang baik dan kawanan dombanya. Salah satu wujud dari adanya relasi yang baik itu ialah saling mengenal suara, antara gembala dan kawanan domba. Sehubungan dengan ini, Maria menjadi prototipe domba yang baik yang langsung mengenal suara sang gembala. Dan hal ini menandakan adanya suatu keakraban dan kedekatan relasi. Begitu suara terdengar, maka terjadilah keakraban dan cinta pun mulai mengalir dan bersemi ria. Sebab dalam Yohanes 10 Yesus mengatakan bahwa “Aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenal Aku; Aku mengenal suara dan nama mereka, dan mereka juga mengenal suaraKu.” Dan dalam kisah ini terbuktilah sudah bahwa Maria menjadi dan merupakan domba yang baik, karena ia mengenal suara Yesus, sang gembala-Nya.
Tetapi yang menarik ialah fakta bahwa yang justeru menjadi pokok warta Maria ialah: Aku telah melihat Tuhan. Bukan, aku telah mendengar Tuhan. Jadi, terjadi pergeseran dari mendengar ke melihat. Dasar pewartaan bukan pendengaran (yang menjadi dasar percaya), melainkan penglihatan (yang justru tidak disebut atau diandalkan dalam proses menjadi percaya). Inilah juga yang menjadi inti pewartaan para rasul kepada yang lain: Aku atau kami telah mendengar Tuhan. Menurut hemat saya, teks ini mempunyai arti penting di masa-masa yang akan datang dalam hidup iman Gereja. Kiranya ini bukan salah tulis melainkan ada maknanya yang kuat dan mendalam. Bahwa iman kita tidak tergantung pada melihat (penglihatan) melainkan tergantung pada mendengarkan (pendengaran). Iman datang melalui pendengaran. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya. Begitulah yang dikatakan Yesus sendiri dalam menanggapi loncatan iman Tomas. Kalau kita mendengar, kita tidak melihat, tetapi kita bisa percaya akan apa yang kita dengar. Dan pendengaran kita itulah penglihatan kita, sehingga Maria bisa berkata berdasarkan apa yang didengarnya, Aku telah melihat Tuhan. Ada pergeseran dari mendengar ke melihat. Sikap percaya dari seorang yang beriman tidak lain ialah melihat dengan mendengar dan melihat karena sudah mendengarkan.
Salah satu teks injil Yohanes yang melukiskan mengenai peristiwa kebangkitan Yesus dari alam maut dan yang selalu menyentuh dan menarik perhatian saya ialah Yohanes 20:11-18. Kalau kita baca teks itu dengan teliti, maka kita akan menemukan sebuah hal yang menarik dan sangat penting, karena menyangkut sebuah pandangan teologi mengenai iman akan Yesus Kristus dan juga terutama hubungan dengan Yesus Kristus. Di sana dikisahkan tentang peristiwa penampakan Yesus kepada Maria Magdalena, sebab inilah salah satu rangkaian dari kisah-kisah penampakan Yesus menurut Yohanes.
Dikatakan bahwa Maria menangis sedih tatkala pagi-pagi ia pergi mengunjungi tempat Yesus dimakamkan. Mungkin ia sudah menangis sepanjang perjalanan menuju ke makam itu. Mungkin juga ia sudah menangis sedih sejak hari penyaliban itu. Entah mulai kapan dan berapa lama, yang jelas sekali lagi dikatakan bahwa ia menangis sedih. Ia semakin sedih lagi tatkala tahu dan menyadari bahwa makam itu sudah kosong. Ia pasti menangis sejadi-jadinya. Sebab ia datang untuk melihat jenazah-Nya, tetapi ia hanya menemukan makam yang kosong. Jadi dapat dibayangkan bahwa air mata menggelinang di pelubuk matanya.
Kita semua juga tahu bahwa kalau kita menangis maka biasanya penglihatan kita menjadi kabur, penglihatan kita menjadi tidak serba jelas karena mata kita tertutup oleh butir-butir air mata yang menggenang di sana. Akibatnya, kita akan sulit mengenal orang dengan cepat dan tepat. Dari kondisi ini akan muncul kebingungan dan salah paham. Juga akan muncul miskomunikasi. Persis itulah yang terjadi dan dilukiskan di dalam teks ini. Maria salah memahami Yesus. Kiranya itulah sebabnya ketika menoleh, Maria tidak langung mengenal Yesus. Ia pangling. Salah paham ini terus berlanjut dan menghasilkan dialog-dialog seperti yang kita baca di sana.
Tetapi lalu dikatakan bahwa Yesus menyebut namanya: Maria. Ya, Yesus menyebut nama Maria. Saya lebih suka memakai kata memanggil (to call) daripada menyebut (to mention). Sebab ada beda di antara keduanya. Memanggil itu membutuhkan suatu tanggapan personal dari orang yang namanya dipanggil. Menyebut itu tidak mutlak membutuhkan tanggapan personal dari orang yang namanya dipanggil itu. Dan yang sangat menarik ialah bahwa ketika ia (Maria) mendengar suara yang menyebut atau memanggil namanya, barulah Maria langsung mengenal si empunya suara yang memanggil atau menyebut namanya tadi. Maka sebagai reaksi atau tanggapan, ia pun berseru dengan suara nyaring dan penuh kegiarangan: Guru. Maria baru mengenal sang guru lewat suaranya, ia baru bisa mengidentifikasi sang Guru lewat telinga, dan bukan terutama dengan melihat, atau mengidentifikasi dengan mata. Hal ini patut dicatat dan digaris-bawahi dengan baik-baik.
Terus terang saja, bukan baru kali ini saya membaca dan merenungkan teks ini. Saya sudah selalu membaca teks ini berkali-kali selama ini. Saya juga sudah merenungkannya terus menerus. Ada banyak hal yang muncul sebagai hasil dari permenungan saya atas teks ini. Ya, ketika mulai mencoba merenungkan teks dan peristiwa yang terkandung dalam teks ini sekarang ini, sesungguhnya saya secara spontan teringat akan beberapa hal berikut ini.
Pertama, saya teringat akan santo Paulus yang di salah satu tempat dalam surat-suratnya mengatakan bahwa iman itu terjadi atau datang melalui dan karena pendengaran. Istilah kerennya dalam bahasa Latin ialah fides ex auditu. Artinya, iman yang muncul dari atau karena mendengar (Rom.10:17). Yang terjadi di sini ialah, orang mengenal dan sampai pada pengenalan justeru karena mendengar, dan bukan terutama karena melihat. Jadi jelas bahwa di sini ada prioritas mendengarkan di atas melihat (sebagaimana dikatakan dalam judul tulisan ini). Kedua, saya juga secara spontan teringat akan Tomas, sang Rasul yang tidak mudah percaya begitu saja akan berita sensasi yang dikisahkan temat-temannya. Dalam kaitan dengan Tomas ini, jelas Maria adalah paradoks Tomas. Kalau Tomas baru mau dan bisa percaya kalau sudah melihat, maka Maria justeru sudah percaya begitu saja bukan terutama karena melihat, melainkan karena sudah mulai mendengarkan. Dan camkanlah dan ingatlah selalu bahwa kisah Maria mendahului kisah Tomas. Jadi, ada prioritas Maria dalam urutan ruang dan waktu kisah. Ada prioritas mendengar di atas melihat. Menurut saya, itulah maknanya.
Ketiga, saya juga secara spontan langsung teringat akan Yohanes 10 tentang hubungan yang baik antara gembala yang baik dan kawanan dombanya. Salah satu wujud dari adanya relasi yang baik itu ialah saling mengenal suara, antara gembala dan kawanan domba. Sehubungan dengan ini, Maria menjadi prototipe domba yang baik yang langsung mengenal suara sang gembala. Dan hal ini menandakan adanya suatu keakraban dan kedekatan relasi. Begitu suara terdengar, maka terjadilah keakraban dan cinta pun mulai mengalir dan bersemi ria. Sebab dalam Yohanes 10 Yesus mengatakan bahwa “Aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenal Aku; Aku mengenal suara dan nama mereka, dan mereka juga mengenal suaraKu.” Dan dalam kisah ini terbuktilah sudah bahwa Maria menjadi dan merupakan domba yang baik, karena ia mengenal suara Yesus, sang gembala-Nya.
Tetapi yang menarik ialah fakta bahwa yang justeru menjadi pokok warta Maria ialah: Aku telah melihat Tuhan. Bukan, aku telah mendengar Tuhan. Jadi, terjadi pergeseran dari mendengar ke melihat. Dasar pewartaan bukan pendengaran (yang menjadi dasar percaya), melainkan penglihatan (yang justru tidak disebut atau diandalkan dalam proses menjadi percaya). Inilah juga yang menjadi inti pewartaan para rasul kepada yang lain: Aku atau kami telah mendengar Tuhan. Menurut hemat saya, teks ini mempunyai arti penting di masa-masa yang akan datang dalam hidup iman Gereja. Kiranya ini bukan salah tulis melainkan ada maknanya yang kuat dan mendalam. Bahwa iman kita tidak tergantung pada melihat (penglihatan) melainkan tergantung pada mendengarkan (pendengaran). Iman datang melalui pendengaran. Berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya. Begitulah yang dikatakan Yesus sendiri dalam menanggapi loncatan iman Tomas. Kalau kita mendengar, kita tidak melihat, tetapi kita bisa percaya akan apa yang kita dengar. Dan pendengaran kita itulah penglihatan kita, sehingga Maria bisa berkata berdasarkan apa yang didengarnya, Aku telah melihat Tuhan. Ada pergeseran dari mendengar ke melihat. Sikap percaya dari seorang yang beriman tidak lain ialah melihat dengan mendengar dan melihat karena sudah mendengarkan.
Jumat, 09 Desember 2011
RESENSI BUKU
JUDUL BUKU : YERUSALEM 33, IMPERIUM ROMANUM, KOTA PARA NABI, DAN TRAGEDI TANAH
SUCI.
PENGARANG : TRIAS KUNCAHYONO
PENERBIT : BUKU KOMPAS, APRIL 2011
HALAMAN : XXXVLL+ 330.
PENINJAU : FRANSISKUS BORGIAS M.
Berbicara tentang Yerusalem, tidak akan habis. Ada banyak buku yang ditulis tentang kota itu. Ada Karen Armstrong, Amy Dockserr Marcus, dan Trias Kuncahono yang menulis dua buku. Inilah bukunya yang kedua setelah yang pertama menjadi best-seller, Jerusalem. Berbicara tentang Yerusalem, saya teringat akan P.C.Groenen OFM, pakar Kitab Suci. Suatu saat dalam kuliah Kitab Suci Perjanjian Lama di Biara St.Bonaventura Papringan, ia mengatakan, “dunia tidak akan damai selama Jerusalem tidak damai,” selama Yerusalem tercabik-cabik. Groenen mendasarkan pernyataannya pada sejarah, di mana Yerusalem selalu menjadi sign of contradiction, dari dulu hingga kini, dan nanti. Kota itu dipenggal dalam beberapa bagian dengan penguasa yang berasal dari tradisi agama. Islam punya bagiannya, Yahudi punya bagiannya, Kristiani juga punya bagiannya. Penggal Kristiani juga terbagi dalam beberapa bagian.
Buku ini berbicara secara historis tentang Yerusalem. Buku ini terdiri atas 8 Bab, dilengkapi dua prolog dan satu epilog. Buku ini membahas substansi eksistensi Jerusalem dari jaman ke jaman. Yang paling besar pengaruhnya ialah fakta bahwa Jerusalem ialah tanah para nabi (bab 1); ada banyak nabi menyinggung, atau menziarahinya. Setelah cukup panjang membeberkan biologi dan geografi Palestina, penulis membahas secara khusus paradoks para nabi (h.50): Mereka hadir di Yerusalem, tetapi kota itu menjadi kota penuh konflik. Kota itu terletak di Timur Tengah, menjadi bagian utuh dari Kanaan dan Palestina (Bab 2), sebuah urutan yang tepat. Negeri itu dilanda peperangan dari dulu hingga kini. Selalu ada kelompok yang memperebutkannya dari waktu ke waktu. Yang menarik ialah bahwa secara tradisional nama negeri itu, Kanaan. Ada penelusuran etimologis kata Kanaan dan sejarah nama itu (h.80). Ketika Roma berkuasa ada kebijakan membuat “politik pengubahan nama” dari Kanaan menjadi Palestina (hal.92). Roma bermaksud menghapus kenangan akan Israel dari sejarah, sesuatu yang kini bergema kembali dalam diri presiden Iran yang mau melenyapkan Israel dari Peta bumi.
Salah satu episode sejarah yang penting bagi Yerusalem ialah ia pernah dikuasai Roma (bab 3). Tentu ini tidak lengkap jika tidak menyebut Helenisme, Persia, Babel, dan Asyur. Alur sejarah itu dimulai dengan pelukisan sejarah kerajaan di Israel (Hakim-hakim tidak dibahas, h.109). Setelah masa jaya yang hanya sebentar, Israel dikuasai Asyur dan Babel (h.112.113). Kemudian terjadi Helenisasi (h.113-17), dan dikuasai Roma (h.117-144). Hal yang membedakan Roma dari penguasa lain ialah Roma memberi perlakuan khusus terhadap Yahudi sebagai umat berkitab (p.127). Alur perjalanan peziarah Eropa Abad Pertengahan ialah dari Kaisarea ke Yerusalem (Bab 4). Judul itu menyiratkan ada pergeseran dari kota Helenis Kaisaria ke kota Zionis, Yerusalem. Secara cukup panjang pengarang membahas sejarah Kaisarea. Lalu dibahas sejarah Yerusalem, walau yang lebih mencolok ialah pelukisan mengenai beberapa kelompok aliran politik dan teologi jaman itu. Seluruh hidup dan pergolakan bangsa Yahudi terfokus di Jerusalem.
Jerusalem tidak selalu cemerlang sepanjang jaman. Pernah ia ditinggalkan, dan menjadi sarang penyamun (Bab 5). Itu sebabnya kota itu penuh paradoks (h.182). Ada yang memujinya sebagai metropolis, tetapi ada juga yang mencemoohnya hanya sebagai lobang di pojokan (h.183). Hal itu benar sehubungan dengan masa kegelapan pasca penghancuran oleh Babel dan penghancuran oleh Roma tahun 70-an. Itulah zaman gelap Jerusalem (bab 6). Setelah secara singkat menyinggung penghancuran Yerusalem oleh Roma di awal bab, seluruh sisa bab membahas hukuman salib sebagai hukuman keji, tidak manusiawi. Disinggung juga mengenai bentuk salib (h.220-21). Ini jaman kekelaman bagi kemanusiaan; salah satu korbannya ialah Yesus Kristus yang mati di salib.
Fokus Bab 7 ialah peristiwa dramatis, sengsara dan wafat Tuhan. Beberapa pertanyaan besar coba dijawab: Mengapa Yesus dihukum mati, kapan itu terjadi, siapa yang memutuskan hukuman itu? Seluruh uraian difokuskan pada satu tesis bahwa Yesus dibunuh atas dasar konspirasi politis-keagamaan, antara penguasa negara, penguasa agama, dan rakyat kebanyakan. Ada triumvirat jahat yang menyebabkan Yesus dihukum mati, yaitu wali negeri, raja, dan Imam Agung (h.261). Tadinya saya mengira buku ini adalah buku sejarah. Tetapi setelah membacanya sampai bab 8 saya sadar bahwa penulis menulis buku ini sebagai orang Kristiani, yang memuncaki bukunya dengan pelukisan mengenai hari dramatis yang ditandai bulan memerah ketika Yesus wafat (h.310). Ini sebuah apologia iman. Hal itu tampak di bagian akhir bab 8 ini: Yerusalem adalah tempat Yesus dikorbankan, tempat Yesus menyerahkan hidup-Nya di kayu salib bagi keselamatan umat manusia. Karena itu, menyusuri Jalan Salib,Via Dolorosa, di Yerusalem adalah menyusuri jalan iman. Salib mengubah kebinasaanmenjadi keselamatan (h.312).
Ya, berbicara tentang Yerusalem tidak akan selesai. Kita bisa belajar banyak dari Yerusalem seperti dikatakan Zuhairi Misrawi dalam epilog. Ada anakronisme di sana. Dikatakan bahwa pada jaman Muhammad, umat berkiblat ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem (h.314). Saat itu, mesjid itu belum ada; baru ada setelah Yerusalem dikuasai Islam. Qiblat pertama ialah situs bait Allah di Yerusalem. Qiblat itu diubah setelah terjadi konflik tajam antara Islam dan orang Yahudi.
Bahasa buku ini lancar dan ringan. Tetapi secara pribadi saya terganggu dengan ungkapan yang tidak lazim yang dipakai Trias: Kakek moyang (mis:h.9,29, 67, 96, dll). Beberapa pihak mengatakan itu aneh. Yang biasa ialah ungkapan nenek-moyang. Entah apa pertimbangan Trias menggantinya. Ada bagian yang seperti copy-paste. Misalnya info mengenai beberapa nabi dan aktifitas mereka yang diulang di beberapa tempat. Juga informasi mengenai nama beberapa faksi politik dan agama dalam masyarakat Yahudi yang diulang hampir sama di beberapa tempat. Contoh: uraian tentang Farisi yang ada di pendahuluan (h.13-14) sama dengan yang ada pada Bab 4 (h.161). Hal itu bisa diatasi dengan parafrase, tetapi itu tidak dilakukan.
Secara keseluruhan penulis ini lancar memberi banyak informasi populer, penting dan menarik tentang sejarah perjanjian lama dan baru, gereja awal, kekaisaran roma, kekuatan besar dunia yang mengobok-obok Timur Tengah kuno, termasuk Kanaan. Buku ini mengandung “campuran” antara informasi serius yang digali dari resources dan pengalaman pribadi akan Jerusalem dan sekitarnya. Buku ini berguna bagi pemula yang mendalami sejarah timur tengah kuno, sejarah Kaisarea (h.151-162), Yerusalem, Kekaisaran Romawi. Misalnya informasi tentang teori migrasi Abraham (h.70), atau sejarah kemunculan Sabat (h.161-163). Tetapi bagi orang yang sudah mendalami dunia perjanjian lama dan baru, dan sejarah gereja awal, informasi yang ada di sini sama sekali tidak baru; paling-paling ini hanya berfungsi sebagai penyegaran.
SUCI.
PENGARANG : TRIAS KUNCAHYONO
PENERBIT : BUKU KOMPAS, APRIL 2011
HALAMAN : XXXVLL+ 330.
PENINJAU : FRANSISKUS BORGIAS M.
Berbicara tentang Yerusalem, tidak akan habis. Ada banyak buku yang ditulis tentang kota itu. Ada Karen Armstrong, Amy Dockserr Marcus, dan Trias Kuncahono yang menulis dua buku. Inilah bukunya yang kedua setelah yang pertama menjadi best-seller, Jerusalem. Berbicara tentang Yerusalem, saya teringat akan P.C.Groenen OFM, pakar Kitab Suci. Suatu saat dalam kuliah Kitab Suci Perjanjian Lama di Biara St.Bonaventura Papringan, ia mengatakan, “dunia tidak akan damai selama Jerusalem tidak damai,” selama Yerusalem tercabik-cabik. Groenen mendasarkan pernyataannya pada sejarah, di mana Yerusalem selalu menjadi sign of contradiction, dari dulu hingga kini, dan nanti. Kota itu dipenggal dalam beberapa bagian dengan penguasa yang berasal dari tradisi agama. Islam punya bagiannya, Yahudi punya bagiannya, Kristiani juga punya bagiannya. Penggal Kristiani juga terbagi dalam beberapa bagian.
Buku ini berbicara secara historis tentang Yerusalem. Buku ini terdiri atas 8 Bab, dilengkapi dua prolog dan satu epilog. Buku ini membahas substansi eksistensi Jerusalem dari jaman ke jaman. Yang paling besar pengaruhnya ialah fakta bahwa Jerusalem ialah tanah para nabi (bab 1); ada banyak nabi menyinggung, atau menziarahinya. Setelah cukup panjang membeberkan biologi dan geografi Palestina, penulis membahas secara khusus paradoks para nabi (h.50): Mereka hadir di Yerusalem, tetapi kota itu menjadi kota penuh konflik. Kota itu terletak di Timur Tengah, menjadi bagian utuh dari Kanaan dan Palestina (Bab 2), sebuah urutan yang tepat. Negeri itu dilanda peperangan dari dulu hingga kini. Selalu ada kelompok yang memperebutkannya dari waktu ke waktu. Yang menarik ialah bahwa secara tradisional nama negeri itu, Kanaan. Ada penelusuran etimologis kata Kanaan dan sejarah nama itu (h.80). Ketika Roma berkuasa ada kebijakan membuat “politik pengubahan nama” dari Kanaan menjadi Palestina (hal.92). Roma bermaksud menghapus kenangan akan Israel dari sejarah, sesuatu yang kini bergema kembali dalam diri presiden Iran yang mau melenyapkan Israel dari Peta bumi.
Salah satu episode sejarah yang penting bagi Yerusalem ialah ia pernah dikuasai Roma (bab 3). Tentu ini tidak lengkap jika tidak menyebut Helenisme, Persia, Babel, dan Asyur. Alur sejarah itu dimulai dengan pelukisan sejarah kerajaan di Israel (Hakim-hakim tidak dibahas, h.109). Setelah masa jaya yang hanya sebentar, Israel dikuasai Asyur dan Babel (h.112.113). Kemudian terjadi Helenisasi (h.113-17), dan dikuasai Roma (h.117-144). Hal yang membedakan Roma dari penguasa lain ialah Roma memberi perlakuan khusus terhadap Yahudi sebagai umat berkitab (p.127). Alur perjalanan peziarah Eropa Abad Pertengahan ialah dari Kaisarea ke Yerusalem (Bab 4). Judul itu menyiratkan ada pergeseran dari kota Helenis Kaisaria ke kota Zionis, Yerusalem. Secara cukup panjang pengarang membahas sejarah Kaisarea. Lalu dibahas sejarah Yerusalem, walau yang lebih mencolok ialah pelukisan mengenai beberapa kelompok aliran politik dan teologi jaman itu. Seluruh hidup dan pergolakan bangsa Yahudi terfokus di Jerusalem.
Jerusalem tidak selalu cemerlang sepanjang jaman. Pernah ia ditinggalkan, dan menjadi sarang penyamun (Bab 5). Itu sebabnya kota itu penuh paradoks (h.182). Ada yang memujinya sebagai metropolis, tetapi ada juga yang mencemoohnya hanya sebagai lobang di pojokan (h.183). Hal itu benar sehubungan dengan masa kegelapan pasca penghancuran oleh Babel dan penghancuran oleh Roma tahun 70-an. Itulah zaman gelap Jerusalem (bab 6). Setelah secara singkat menyinggung penghancuran Yerusalem oleh Roma di awal bab, seluruh sisa bab membahas hukuman salib sebagai hukuman keji, tidak manusiawi. Disinggung juga mengenai bentuk salib (h.220-21). Ini jaman kekelaman bagi kemanusiaan; salah satu korbannya ialah Yesus Kristus yang mati di salib.
Fokus Bab 7 ialah peristiwa dramatis, sengsara dan wafat Tuhan. Beberapa pertanyaan besar coba dijawab: Mengapa Yesus dihukum mati, kapan itu terjadi, siapa yang memutuskan hukuman itu? Seluruh uraian difokuskan pada satu tesis bahwa Yesus dibunuh atas dasar konspirasi politis-keagamaan, antara penguasa negara, penguasa agama, dan rakyat kebanyakan. Ada triumvirat jahat yang menyebabkan Yesus dihukum mati, yaitu wali negeri, raja, dan Imam Agung (h.261). Tadinya saya mengira buku ini adalah buku sejarah. Tetapi setelah membacanya sampai bab 8 saya sadar bahwa penulis menulis buku ini sebagai orang Kristiani, yang memuncaki bukunya dengan pelukisan mengenai hari dramatis yang ditandai bulan memerah ketika Yesus wafat (h.310). Ini sebuah apologia iman. Hal itu tampak di bagian akhir bab 8 ini: Yerusalem adalah tempat Yesus dikorbankan, tempat Yesus menyerahkan hidup-Nya di kayu salib bagi keselamatan umat manusia. Karena itu, menyusuri Jalan Salib,Via Dolorosa, di Yerusalem adalah menyusuri jalan iman. Salib mengubah kebinasaanmenjadi keselamatan (h.312).
Ya, berbicara tentang Yerusalem tidak akan selesai. Kita bisa belajar banyak dari Yerusalem seperti dikatakan Zuhairi Misrawi dalam epilog. Ada anakronisme di sana. Dikatakan bahwa pada jaman Muhammad, umat berkiblat ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem (h.314). Saat itu, mesjid itu belum ada; baru ada setelah Yerusalem dikuasai Islam. Qiblat pertama ialah situs bait Allah di Yerusalem. Qiblat itu diubah setelah terjadi konflik tajam antara Islam dan orang Yahudi.
Bahasa buku ini lancar dan ringan. Tetapi secara pribadi saya terganggu dengan ungkapan yang tidak lazim yang dipakai Trias: Kakek moyang (mis:h.9,29, 67, 96, dll). Beberapa pihak mengatakan itu aneh. Yang biasa ialah ungkapan nenek-moyang. Entah apa pertimbangan Trias menggantinya. Ada bagian yang seperti copy-paste. Misalnya info mengenai beberapa nabi dan aktifitas mereka yang diulang di beberapa tempat. Juga informasi mengenai nama beberapa faksi politik dan agama dalam masyarakat Yahudi yang diulang hampir sama di beberapa tempat. Contoh: uraian tentang Farisi yang ada di pendahuluan (h.13-14) sama dengan yang ada pada Bab 4 (h.161). Hal itu bisa diatasi dengan parafrase, tetapi itu tidak dilakukan.
Secara keseluruhan penulis ini lancar memberi banyak informasi populer, penting dan menarik tentang sejarah perjanjian lama dan baru, gereja awal, kekaisaran roma, kekuatan besar dunia yang mengobok-obok Timur Tengah kuno, termasuk Kanaan. Buku ini mengandung “campuran” antara informasi serius yang digali dari resources dan pengalaman pribadi akan Jerusalem dan sekitarnya. Buku ini berguna bagi pemula yang mendalami sejarah timur tengah kuno, sejarah Kaisarea (h.151-162), Yerusalem, Kekaisaran Romawi. Misalnya informasi tentang teori migrasi Abraham (h.70), atau sejarah kemunculan Sabat (h.161-163). Tetapi bagi orang yang sudah mendalami dunia perjanjian lama dan baru, dan sejarah gereja awal, informasi yang ada di sini sama sekali tidak baru; paling-paling ini hanya berfungsi sebagai penyegaran.
KETIKA AKU.... (bdk.Mat.25:31-46)
By: Fransiskus Borgias M.
....LAPAR
Nakam ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi aku makan
....HAUS
Munim ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku minum
....SEORANG ASING
Nangapmut ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku tumpangan
....TELANJANG
Naiakap ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku pakaian
....SAKIT
ukA kugnejnem KADIT umak --- Kamu menjenguk Aku
....DI DALAM PENJARA
ukA ignujnugnem KADIT umak --- Kamu mengunjungi Aku
Belajarlah dari sisi
yang mudah dibaca
Walau idealisme itu tidak mudah.
Hidup
adalah perjuangan.
Yogya, 22 Mei 2011
....LAPAR
Nakam ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi aku makan
....HAUS
Munim ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku minum
....SEORANG ASING
Nangapmut ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku tumpangan
....TELANJANG
Naiakap ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku pakaian
....SAKIT
ukA kugnejnem KADIT umak --- Kamu menjenguk Aku
....DI DALAM PENJARA
ukA ignujnugnem KADIT umak --- Kamu mengunjungi Aku
Belajarlah dari sisi
yang mudah dibaca
Walau idealisme itu tidak mudah.
Hidup
adalah perjuangan.
Yogya, 22 Mei 2011
BOSKE TA ARNIA/TA PROBATA MOU
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Pagi ini (25 Mei 2008), saya membaca Mazmur 23 yang berjudul Tuhanlah gembalaku. Sebuah mazmur yang sangat terkenal dan sangat akrab di telinga kita karena menjadi sumber ilham bagi karya seni Kristiani, baik itu berupa lagu, maupun berupa seni lukis dan seni ukir. Mazmur itu, walau pun pendek, tetapi isinya padat dan indah. Mungkin karena ia mengalir keluar dari pengalaman hidup sang penulis mazmur itu sendiri. Tetapi di sini saya tidak bermaksud untuk mengulas tentang mazmur 23 tersebut. Saya mau menulis tentang sesuatu yang lain. Apa itu?
Tatkala pagi ini saya sedang membaca mazmur ini saya tiba-tiba teringat akan percakapan pemulihan Petrus oleh Yesus dalam adegan di tepi pantai pada saat peristiwa kebangkitan itu. Percakapan itu dapat kita baca dalam Yoh.21:15-19. Sebuah percakapan yang indah dan benar-benar sangat mengharukan dan sangat menyentuh perasaan. Perasaan kita serasa diaduk-aduk dan menjadi haru-biru karenanya. Di tempat dan kesempatan lain sesungguhnya saya pernah memberi uraian rinci tentang hal ini. Ada segi-segi lain yang sudah saya uraikan dalam tempat dan kesempatan itu. Tetapi pada hari ini saya tiba-tiba sadar dan menemukan sesuatu yang baru dan lain tatkala saya mencoba membaca teks ini dalam teks aslinya yaitu bahasa Yunani dan dibandingkan dengan teks Vulgata (Latin).
Hasil dari pembacaan dan pembandingan ini ialah beberapa pengamatan penting dan sederhana berikut ini. Pertama, ternyata pertanyaan Yesus kepada Simon ada gradasinya, sesuatu yang kurang begitu terasa lagi dalam teks terjemahan kita (bahasa Indonesia). Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang kasih dalam perbandingan dengan yang lain-lain (para murid): “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” (Tentu saja teks ini bisa dibaca dengan dua cara: apakah kasih Simon kepada Yesus itu lebih daripada kasih-kasih para murid yang lain juga terhadap Yesus? Atau bisa juga dibaca: apakah Simon mengasihi Yesus lebih daripada mengasihi para murid yang lain itu mengasihi Yesus? Sebab ini adalah perkara komunitas walau dalam communitas itu ada primus interpares juga). Jadi, yang ditanyakan ialah mengenai mutu kasih Petrus dalam perbandingan dengan mutu kasih para murid yang lain, tentu saja dalam konteks relasi yang hidup dengan Tuhan Yesus sendiri. Pertanyaan kedua dan ketiga adalah pertanyaan personal yang langsung hanya menyangkut diri Yesus sendiri saja: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Dalam pertanyaan kedua dan ketiga ini tidak ada lagi perbandingan dengan para murid yang lain. Ini hanya benar-benar menyangkut relasi kasih antara Yesus dan Petrus saja. Jadi, ini perkara relasi personal dengan Yesus. Menarik juga fakta bahwa Yesus tidak menyapa Simon dengan gelarnya, yaitu Petrus, melainkan dengan nama aslinya sebagai seorang pribadi. (Pada tempat dan kesempatan lain itulah saya sudah menguraikan persoalan ini dengan rinci).
Kedua, ternyata terjemahan kita (Terjemahan Baru 1, disingkat TB1; dari tahun 70-an) hanya memakai satu frase yang sama saja untuk perintah Yesus kepada Simon setelah pertanyaan Yesus dijawab Petrus dengan jawaban positif, dan penuh percaya diri (tentu saja, kecuali yang ketiga). Bunyinya ialah sbb: Gembalakanlah domba-dombaku (Yoh.21:15,16,17). Dalam pengamatan saya, terjemahan ini ternyata sedikit banyak dipengaruhi oleh Vulgata yang juga hanya memakai satu ungkapan saja: Pasce oves meas. Ketika saya membaca terjemahan yang ada dalam The New Jerusalem Bible, terjemahan itu menurut saya lebih dekat dengan teks Yunani. Sadar akan “kekurangan” ini maka revisi terjemahan kita (yang sekarang disebut TB2, walau belum dipromulgasikan secara resmi; TB2: Terjemahan Baru 2 dari tahun 1997) mencoba memperbaikinya. Jika kita membaca TB2 maka di sana sudah ada distingsi yang sangat jelas antara ketiga perintah itu. Pembedaan itu diperjelas dengan pemakaian ungkapan berikut ini. Teks Yunani Boske ta arnia mou diterjemahkan menjadi “Peliharalah Domba-dombaKu.” Sedangkan yang di tengah, poimaine ta probata mou, diterjemahkan dengan “Gembalakanlah domba-dombaKu.” Lalu yang di akhir (ketiga), “Boske ta probata mou,” lagi-lagi diterjemahkan dengan “Peliharalah domba-dombaKu.” Jadi, menurut hemat saya, terjemahan ini lebih dekat dengan teks Yunani. Memelihara tentu saja dengan memberi makan. Tetapi, memberi makan saja tidak cukup. Harus diberi perhatian yang lebih khusus, yang lebih spesifik, mencakup kenyamanan dan keamanan jasmani kawanan domba. Perhatian khusus dan spesifik itulah yang terkandung dalam kata poimaine, kata memelihara (pelihara).
Ketiga, setelah membaca teks Yunani, saya tiba-tiba sadar bahwa ada struktur inklusi (pembingkai) dalam pemilihan dan pemakaian ungkapan. Dalam ayat 15 kata yang dipakai ialah Boske, yang artinya ialah memberi makan. Kata ini kemudian muncul lagi dalam ayat 17: Boske, to feed. Di tengahnya, dipakai kata Poimaine, yang artinya, menjaga, memelihara, to look after. Jadi, boleh dikatakan bahwa kata Boske membingkai atau mengapiti kata poimaine. Bagi saya hal itu mengandung makna yang sangat penting dan mendalam. Seakan-akan dengan struktur bingkai seperti itu, mau dikatakan bahwa setelah domba-domba itu diberi makan (poimaine), domba-domba itu jangan lalu ditelantarkan begitu saja, dibiarkan mengikuti kemauan dan perilaku mereka sendiri, melainkan domba-domba itu tetap harus dijaga baik-baik, dan akhirnya lalu dikasih makan lagi. Urutan itu terus berulang-ulang menjadi sebuah rutinitas kewajiban moral-pastoral. Tentu saja domba-domba itu dipelihara dengan cara dikasih makan.
Keempat, tugas penggembalaan adalah tugas sang gembala agung, sang gembala utama, yaitu Yesus Kristus sendiri, sang pastor bonus (Yoh.10:10). Tetapi sekarang ini, semua tugas itu dipercayakan kepada Petrus. Jelas ini adalah sebuah tugas dan tanggung jawab yang mulia dan tidak mudah. Ini tugas yang sangat berat. Kalau dalam Matius 16:18-19 ada penyerahan kunci kerajaan surga kepada Petrus, maka di sini, tugas dan tanggung-jawab itu diberi dalam wujud sebuah metafor yang lain: Petrus diangkat atau ditunjuk menjadi seorang gembala. Tetapi substansinya satu dan sama saja yaitu menjadi landasan dan pemimpin jemaat. Kalau dalam Matius 16:18-19 itu Petrus diangkat menjadi Batu Karang yang diyakini (mudah-mudahan) kokoh, maka dalam Injil Lukas kita menemukan sesuatu yang lain yang juga sangat indah dan menarik. Mari kita lihat Lukas 22:32. Di sana dilukiskan bahwa Yesus berdoa untuk Simon Petrus: “...tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” Luar biasa. Doa ini sangat menyentuh perasaan. Yesus berdoa bagi keteguhan iman Petrus. Bagi saya doa Yesus ini bagi Petrus sangat penting. Yesus berdoa agar iman Petrus tetap kokoh walaupun mungkin ada banyak cobaan dan godaan (yang juga sudah diramalkan oleh Yesus sendiri, Luk.22:34). Ini sangat penting, sebab Petrus diharapkan akan menjadi tokoh yang bisa menguatkan iman saudara-saudara yang lain. Jelas ini adalah peran seorang pemimpin juga. Peran untuk menjadi teladan, menjadi model dalam hal kekuatan dan kekokohan iman.
Bandung, 23 Mei 2008 (Diketik dan diperluas lagi, 4 November 2011).
Fransiskus Borgias M.
Pagi ini (25 Mei 2008), saya membaca Mazmur 23 yang berjudul Tuhanlah gembalaku. Sebuah mazmur yang sangat terkenal dan sangat akrab di telinga kita karena menjadi sumber ilham bagi karya seni Kristiani, baik itu berupa lagu, maupun berupa seni lukis dan seni ukir. Mazmur itu, walau pun pendek, tetapi isinya padat dan indah. Mungkin karena ia mengalir keluar dari pengalaman hidup sang penulis mazmur itu sendiri. Tetapi di sini saya tidak bermaksud untuk mengulas tentang mazmur 23 tersebut. Saya mau menulis tentang sesuatu yang lain. Apa itu?
Tatkala pagi ini saya sedang membaca mazmur ini saya tiba-tiba teringat akan percakapan pemulihan Petrus oleh Yesus dalam adegan di tepi pantai pada saat peristiwa kebangkitan itu. Percakapan itu dapat kita baca dalam Yoh.21:15-19. Sebuah percakapan yang indah dan benar-benar sangat mengharukan dan sangat menyentuh perasaan. Perasaan kita serasa diaduk-aduk dan menjadi haru-biru karenanya. Di tempat dan kesempatan lain sesungguhnya saya pernah memberi uraian rinci tentang hal ini. Ada segi-segi lain yang sudah saya uraikan dalam tempat dan kesempatan itu. Tetapi pada hari ini saya tiba-tiba sadar dan menemukan sesuatu yang baru dan lain tatkala saya mencoba membaca teks ini dalam teks aslinya yaitu bahasa Yunani dan dibandingkan dengan teks Vulgata (Latin).
Hasil dari pembacaan dan pembandingan ini ialah beberapa pengamatan penting dan sederhana berikut ini. Pertama, ternyata pertanyaan Yesus kepada Simon ada gradasinya, sesuatu yang kurang begitu terasa lagi dalam teks terjemahan kita (bahasa Indonesia). Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang kasih dalam perbandingan dengan yang lain-lain (para murid): “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” (Tentu saja teks ini bisa dibaca dengan dua cara: apakah kasih Simon kepada Yesus itu lebih daripada kasih-kasih para murid yang lain juga terhadap Yesus? Atau bisa juga dibaca: apakah Simon mengasihi Yesus lebih daripada mengasihi para murid yang lain itu mengasihi Yesus? Sebab ini adalah perkara komunitas walau dalam communitas itu ada primus interpares juga). Jadi, yang ditanyakan ialah mengenai mutu kasih Petrus dalam perbandingan dengan mutu kasih para murid yang lain, tentu saja dalam konteks relasi yang hidup dengan Tuhan Yesus sendiri. Pertanyaan kedua dan ketiga adalah pertanyaan personal yang langsung hanya menyangkut diri Yesus sendiri saja: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Dalam pertanyaan kedua dan ketiga ini tidak ada lagi perbandingan dengan para murid yang lain. Ini hanya benar-benar menyangkut relasi kasih antara Yesus dan Petrus saja. Jadi, ini perkara relasi personal dengan Yesus. Menarik juga fakta bahwa Yesus tidak menyapa Simon dengan gelarnya, yaitu Petrus, melainkan dengan nama aslinya sebagai seorang pribadi. (Pada tempat dan kesempatan lain itulah saya sudah menguraikan persoalan ini dengan rinci).
Kedua, ternyata terjemahan kita (Terjemahan Baru 1, disingkat TB1; dari tahun 70-an) hanya memakai satu frase yang sama saja untuk perintah Yesus kepada Simon setelah pertanyaan Yesus dijawab Petrus dengan jawaban positif, dan penuh percaya diri (tentu saja, kecuali yang ketiga). Bunyinya ialah sbb: Gembalakanlah domba-dombaku (Yoh.21:15,16,17). Dalam pengamatan saya, terjemahan ini ternyata sedikit banyak dipengaruhi oleh Vulgata yang juga hanya memakai satu ungkapan saja: Pasce oves meas. Ketika saya membaca terjemahan yang ada dalam The New Jerusalem Bible, terjemahan itu menurut saya lebih dekat dengan teks Yunani. Sadar akan “kekurangan” ini maka revisi terjemahan kita (yang sekarang disebut TB2, walau belum dipromulgasikan secara resmi; TB2: Terjemahan Baru 2 dari tahun 1997) mencoba memperbaikinya. Jika kita membaca TB2 maka di sana sudah ada distingsi yang sangat jelas antara ketiga perintah itu. Pembedaan itu diperjelas dengan pemakaian ungkapan berikut ini. Teks Yunani Boske ta arnia mou diterjemahkan menjadi “Peliharalah Domba-dombaKu.” Sedangkan yang di tengah, poimaine ta probata mou, diterjemahkan dengan “Gembalakanlah domba-dombaKu.” Lalu yang di akhir (ketiga), “Boske ta probata mou,” lagi-lagi diterjemahkan dengan “Peliharalah domba-dombaKu.” Jadi, menurut hemat saya, terjemahan ini lebih dekat dengan teks Yunani. Memelihara tentu saja dengan memberi makan. Tetapi, memberi makan saja tidak cukup. Harus diberi perhatian yang lebih khusus, yang lebih spesifik, mencakup kenyamanan dan keamanan jasmani kawanan domba. Perhatian khusus dan spesifik itulah yang terkandung dalam kata poimaine, kata memelihara (pelihara).
Ketiga, setelah membaca teks Yunani, saya tiba-tiba sadar bahwa ada struktur inklusi (pembingkai) dalam pemilihan dan pemakaian ungkapan. Dalam ayat 15 kata yang dipakai ialah Boske, yang artinya ialah memberi makan. Kata ini kemudian muncul lagi dalam ayat 17: Boske, to feed. Di tengahnya, dipakai kata Poimaine, yang artinya, menjaga, memelihara, to look after. Jadi, boleh dikatakan bahwa kata Boske membingkai atau mengapiti kata poimaine. Bagi saya hal itu mengandung makna yang sangat penting dan mendalam. Seakan-akan dengan struktur bingkai seperti itu, mau dikatakan bahwa setelah domba-domba itu diberi makan (poimaine), domba-domba itu jangan lalu ditelantarkan begitu saja, dibiarkan mengikuti kemauan dan perilaku mereka sendiri, melainkan domba-domba itu tetap harus dijaga baik-baik, dan akhirnya lalu dikasih makan lagi. Urutan itu terus berulang-ulang menjadi sebuah rutinitas kewajiban moral-pastoral. Tentu saja domba-domba itu dipelihara dengan cara dikasih makan.
Keempat, tugas penggembalaan adalah tugas sang gembala agung, sang gembala utama, yaitu Yesus Kristus sendiri, sang pastor bonus (Yoh.10:10). Tetapi sekarang ini, semua tugas itu dipercayakan kepada Petrus. Jelas ini adalah sebuah tugas dan tanggung jawab yang mulia dan tidak mudah. Ini tugas yang sangat berat. Kalau dalam Matius 16:18-19 ada penyerahan kunci kerajaan surga kepada Petrus, maka di sini, tugas dan tanggung-jawab itu diberi dalam wujud sebuah metafor yang lain: Petrus diangkat atau ditunjuk menjadi seorang gembala. Tetapi substansinya satu dan sama saja yaitu menjadi landasan dan pemimpin jemaat. Kalau dalam Matius 16:18-19 itu Petrus diangkat menjadi Batu Karang yang diyakini (mudah-mudahan) kokoh, maka dalam Injil Lukas kita menemukan sesuatu yang lain yang juga sangat indah dan menarik. Mari kita lihat Lukas 22:32. Di sana dilukiskan bahwa Yesus berdoa untuk Simon Petrus: “...tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” Luar biasa. Doa ini sangat menyentuh perasaan. Yesus berdoa bagi keteguhan iman Petrus. Bagi saya doa Yesus ini bagi Petrus sangat penting. Yesus berdoa agar iman Petrus tetap kokoh walaupun mungkin ada banyak cobaan dan godaan (yang juga sudah diramalkan oleh Yesus sendiri, Luk.22:34). Ini sangat penting, sebab Petrus diharapkan akan menjadi tokoh yang bisa menguatkan iman saudara-saudara yang lain. Jelas ini adalah peran seorang pemimpin juga. Peran untuk menjadi teladan, menjadi model dalam hal kekuatan dan kekokohan iman.
Bandung, 23 Mei 2008 (Diketik dan diperluas lagi, 4 November 2011).
Fransiskus Borgias M.
Selasa, 20 September 2011
MATIUS DAN ORANG-ORANG PINGGIRAN
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Ada satu hal yang sangat mencolok sekaligus juga sangat menarik ketika saya membaca bagian-bagian awal dari injil Mateus. Mencolok karena di sana kita temukan sebuah silsilah Yesus. Silsilah adalah penelusuran sejarah, penetapan identitas, pengenalan diri. Tetapi hal itu sudah biasa. Semua orang mempunyai sejarah dan identitasnya sendiri.
Lalu, apanya yang luar biasa dari silsilah itu? Hal yang luar biasa ialah bahwa di sana kita temukan nama-nama beberapa perempuan sebagai leluhur Yesus. Luar biasa, karena biasanya yang didaftarkan dalam silsilah ialah nama-nama kaum lelaki; paling-paling perempuan dihadirkan sebagai keterangan pada laki-laki itu. Ya, begitulah watak dasar sebuah masyarakat patriarkis. Nah dalam silsilah Yesus versi Mateus ini, kaum perempuan ikut didaftarkan juga, sebagai garis penentu dan penyambung kesinambungan historis sebuah eksistensi silsilah. Ini bagi saya adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Dan yang lebih mencolok lagi ialah bahwa, nama-nama kaum perempuan itu tidak seluruhnya mempunyai reputasi yang baik. Ada yang dikenal mempunyai reputasi yang tidak begitu baik. Misalnya, di situ kita temukan nama Tamar, seorang perempuan janda muda yang memperdaya si mertua, Yehuda, dengan menyamar sebagai sundal. Di sana kita temukan juga Rahab dari Yeriko, perempuan sundal yang menyelamatkan dua mata-mata Israel yang mencoba menyelidiki tanah terjanji yang ternyata hasilnya mereka memberi kesaksian penuh pengharapan karena penuh berlimpah dengan susu dan madu. Ada juga isteri Uria yang melahirkan raja Salomo itu; dan kita semua tahu bagaimana Daud telah mencuri isteri Uria itu, yaitu melalui kekejaman pembunuhan berencana.
Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa Mateus berani mendaftarkan nama-nama ini dalam daftar silsilah Yesus? Bukankah hal itu bisa saja mencemari Yesus? Misalnya dengan mengatakan: “Ah leluhur Yesus itu ada yang pelacur lho!” Tidak. Matius sama sekali tidak takut. Ada apa dan mengapa? Tentu ada alasannya yang kuat dan mendasar.
Menurut hemat saya, alasan paling kuat ialah bahwa karena memang ada sebuah teologi di balik silsilah ini. Apa itu? Mari kita lihat satu persatu butir-butir teologis itu. Pertama, Mateus mau bersikap jujur dan apa adanya saja dalam sejarah dan terhadap sejarah. Sejarah tidak boleh dimanipulasi oleh yang menulis sejarah. Sejarah harus ditampilkan apa adanya. Itulah kiranya obsesi Matius. Jadi, biarpun ada nama perempuan yang “bereputasi” buruk, ia tidak memolesnya misalnya dengan menghilangkannya. Kedua, Mateus sekaligus juga mau berteologi dengan silsilah seperti itu. Ia mau menampilkan sebuah sisi dari Yesus sebagai orang yang serba merangkul, serba inklusif. Di dalam diri Dialah segala sesuatu mendapat tempat. Atau menurut istilah Paulus, dalam diri Dialah segala sesuatu didamaikan dengan Allah. Saya kira itulah arti penting yang dapat secara spontan saya kisahkan dalam percikan sekilas renungan ini.
Masih ada hal lain lagi yang ingin saya kemukakan di sini. Saya tiba-tiba baru sadar bahwa injil Mateus ini dibingkai dengan Immanuel. Apa arti dari Immaneul ini? Immanuel berarti Allah beserta kita, Allah menyertai kita. Dan janji Immanuel itu ada pada bagian awal Injil Mateus dan juga ada pada bagian akhir. Juga ada di bagian tengah. Jadi, seluruh injil ini dibingkai di dalam kesadaran akan Immanuel itu.
Mana Immanuel pada awal itu? Immanuel pada awal terletak dalam Mat.1:23. Mana Immanuel pada akhir itu? Immanuel pada akhir terletak dalam Mat.28:20. Mana Immanuel pada bagian tengah Injil? Immanuel pada bagian tengah itu ada dalam Mat.18:20. Nah jika dilihat dengan cara seperti itu tampak jelas kiranya bahwa seluruh injil Mateus dibingkai dalam bingkai kesadaran akan kehadiran sang Immanuel itu. Pada awal, Immanuel itu menjadi nama Yesus, sebuah nama diri; sedangkan pada bagian tengah dan pada bagian akhir, Immanuel itu adalah sebuah janji penyertaan, sebuah janji tindakan: Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku Aku hadir di sana (18:20), dan Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai akhir jaman (28:20).
Lalu apa yang ada di tengah-tengah bingkai itu? Sesungguhnya ada banyak hal. Tetapi saya hanya mau menonjolkan satu hal penting yaitu bahwa di sana Yesus yang adalah sang Immanuel itu mengajarkan kepada kita mengenai hidup di dalam kasih, di dalam keadilan dan di dalam pengharapan. Dan hal ini tidaklah terlalu berlebih-lebihan sebab kita semua bakal mampu karena kita sudah disertai Allah baik pada awal maupun pada akhir dan juga bagian tengah dari obsesi kehidupan kita. Itulah beberapa hal penting yang muncul secara spontan kalau saya membaca Injil Mateus.
Bandung, Mei 2008
Ada satu hal yang sangat mencolok sekaligus juga sangat menarik ketika saya membaca bagian-bagian awal dari injil Mateus. Mencolok karena di sana kita temukan sebuah silsilah Yesus. Silsilah adalah penelusuran sejarah, penetapan identitas, pengenalan diri. Tetapi hal itu sudah biasa. Semua orang mempunyai sejarah dan identitasnya sendiri.
Lalu, apanya yang luar biasa dari silsilah itu? Hal yang luar biasa ialah bahwa di sana kita temukan nama-nama beberapa perempuan sebagai leluhur Yesus. Luar biasa, karena biasanya yang didaftarkan dalam silsilah ialah nama-nama kaum lelaki; paling-paling perempuan dihadirkan sebagai keterangan pada laki-laki itu. Ya, begitulah watak dasar sebuah masyarakat patriarkis. Nah dalam silsilah Yesus versi Mateus ini, kaum perempuan ikut didaftarkan juga, sebagai garis penentu dan penyambung kesinambungan historis sebuah eksistensi silsilah. Ini bagi saya adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Dan yang lebih mencolok lagi ialah bahwa, nama-nama kaum perempuan itu tidak seluruhnya mempunyai reputasi yang baik. Ada yang dikenal mempunyai reputasi yang tidak begitu baik. Misalnya, di situ kita temukan nama Tamar, seorang perempuan janda muda yang memperdaya si mertua, Yehuda, dengan menyamar sebagai sundal. Di sana kita temukan juga Rahab dari Yeriko, perempuan sundal yang menyelamatkan dua mata-mata Israel yang mencoba menyelidiki tanah terjanji yang ternyata hasilnya mereka memberi kesaksian penuh pengharapan karena penuh berlimpah dengan susu dan madu. Ada juga isteri Uria yang melahirkan raja Salomo itu; dan kita semua tahu bagaimana Daud telah mencuri isteri Uria itu, yaitu melalui kekejaman pembunuhan berencana.
Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa Mateus berani mendaftarkan nama-nama ini dalam daftar silsilah Yesus? Bukankah hal itu bisa saja mencemari Yesus? Misalnya dengan mengatakan: “Ah leluhur Yesus itu ada yang pelacur lho!” Tidak. Matius sama sekali tidak takut. Ada apa dan mengapa? Tentu ada alasannya yang kuat dan mendasar.
Menurut hemat saya, alasan paling kuat ialah bahwa karena memang ada sebuah teologi di balik silsilah ini. Apa itu? Mari kita lihat satu persatu butir-butir teologis itu. Pertama, Mateus mau bersikap jujur dan apa adanya saja dalam sejarah dan terhadap sejarah. Sejarah tidak boleh dimanipulasi oleh yang menulis sejarah. Sejarah harus ditampilkan apa adanya. Itulah kiranya obsesi Matius. Jadi, biarpun ada nama perempuan yang “bereputasi” buruk, ia tidak memolesnya misalnya dengan menghilangkannya. Kedua, Mateus sekaligus juga mau berteologi dengan silsilah seperti itu. Ia mau menampilkan sebuah sisi dari Yesus sebagai orang yang serba merangkul, serba inklusif. Di dalam diri Dialah segala sesuatu mendapat tempat. Atau menurut istilah Paulus, dalam diri Dialah segala sesuatu didamaikan dengan Allah. Saya kira itulah arti penting yang dapat secara spontan saya kisahkan dalam percikan sekilas renungan ini.
Masih ada hal lain lagi yang ingin saya kemukakan di sini. Saya tiba-tiba baru sadar bahwa injil Mateus ini dibingkai dengan Immanuel. Apa arti dari Immaneul ini? Immanuel berarti Allah beserta kita, Allah menyertai kita. Dan janji Immanuel itu ada pada bagian awal Injil Mateus dan juga ada pada bagian akhir. Juga ada di bagian tengah. Jadi, seluruh injil ini dibingkai di dalam kesadaran akan Immanuel itu.
Mana Immanuel pada awal itu? Immanuel pada awal terletak dalam Mat.1:23. Mana Immanuel pada akhir itu? Immanuel pada akhir terletak dalam Mat.28:20. Mana Immanuel pada bagian tengah Injil? Immanuel pada bagian tengah itu ada dalam Mat.18:20. Nah jika dilihat dengan cara seperti itu tampak jelas kiranya bahwa seluruh injil Mateus dibingkai dalam bingkai kesadaran akan kehadiran sang Immanuel itu. Pada awal, Immanuel itu menjadi nama Yesus, sebuah nama diri; sedangkan pada bagian tengah dan pada bagian akhir, Immanuel itu adalah sebuah janji penyertaan, sebuah janji tindakan: Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku Aku hadir di sana (18:20), dan Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai akhir jaman (28:20).
Lalu apa yang ada di tengah-tengah bingkai itu? Sesungguhnya ada banyak hal. Tetapi saya hanya mau menonjolkan satu hal penting yaitu bahwa di sana Yesus yang adalah sang Immanuel itu mengajarkan kepada kita mengenai hidup di dalam kasih, di dalam keadilan dan di dalam pengharapan. Dan hal ini tidaklah terlalu berlebih-lebihan sebab kita semua bakal mampu karena kita sudah disertai Allah baik pada awal maupun pada akhir dan juga bagian tengah dari obsesi kehidupan kita. Itulah beberapa hal penting yang muncul secara spontan kalau saya membaca Injil Mateus.
Bandung, Mei 2008
Jumat, 09 September 2011
TAFSIR KITAB SUCI: MENGEMBANGKAN CINTA KASIH
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Beberapa hari lalu seorang mantan mahasiswa saya muncul di wall facebook dan bertukar pikiran dengan saya mengenai beberapa hal yang terkait dengan aksi teroris yang belakang ini muncul kembali dan membuat kita waspada dan bahkan saling curiga. Ia muncul dengan pernyataan: terorisme yang terkait dengan agama biasanya diilhami teks-teks yang juga keras di dalam kitab suci agama-agama terkait. Ia mau mengatakan bahwa kitab suci mengajarkan teror dan membenarkannya kalau teror itu sudah terjadi. Karena itu, ia mengusulkan agar perlu ada gerakan bersama untuk menulis kembali semua kitab suci agama-agama dan dalam proses penulisan ulang itu, unsur yang penuh kekerasan, yang mengandung teror dibuang saja. Kita cukup menyimpan hal-hal yang baik. Benih teror dan kebencian harus dibuang. Citra Allah pembenci dan pendendam harus dikikis. Tentu ia mengusulkan hal itu dengan harapan bahwa perjalanan ke masa depan manusia akan menjadi lebih baik dan lebih ramah: orang tidak lagi menempa mata pedang dan tombak, melainkan pedang dan tombak yang ada ditempa menjadi bajak untuk mengolah ladang atau sawah. Terhadap usul itu, ia meminta tanggapan.
Tulisan ini merupakan upaya pengembangan lebih lanjut dari argumen yang saya ajukan di wall facebook itu, ditambah dengan beberapa insight dari buku Karen Armstrong yang tahun lalu saya terjemahkan untuk Mizan: Bible, A Biography. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk meramaikan Bulan Kitab Suci Nasional, yang tahun ini kita rayakan dengan merenungkan kisah Yakub. Kalau kita baca kisah Yakub dengan baik dan penuh perhatian, akan tampak bahwa kisah itu memang penuh intrik, tipu muslihat, dan kekerasan, tetapi akhirnya semuanya bermuara ke rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu bisa terjadi setelah ada campur tangan Tuhan dalam seluruh proses itu.
Inilah beberapa tanggapan spontan saya saat itu. Pertama, usul itu tidak mungkin dilakukan karena Teks Kitab Suci adalah kisah-kisah manusiawi. Karena itu, isinya bisa sangat realistik dan vulgar tentang fakta kemanusiaan, baik menyangkut segi positifnya, maupun negatifnya. Kedua, dalam tradisi Katolik, dikenal tiga tonggak penting yang harus berimbang dan dijaga keseimbangannya: Kitab Suci, Tradisi, Magisterium. Segala tendensi untuk menekankan sudut yang satu akan diimbangi sudut lain. Maksudnya, kalau orang cenderung menjadi kaku dengan prinsip “sola scriptura,” perlu disadarkan bahwa kita punya tradisi. Magisterium memainkan peranan penting di sini. Tentu Kitab Suci di atas segala-galanya. Tetapi karena ia lahir dari tradisi maka tradisi memainkan peranan yang tidak kecil. Tafsir kitab suci selalu memerlukan otoritas baik itu intelektual, maupun rohani dan organisatoris. Itulah Magisterium. Ketiga, sama sekali tidak ada jaminan bahwa setelah kitab suci ditulis kembali dengan mempercantik isinya, manusia akan menjadi semakin ramah terhadap satu sama lain. Sebab tendensi homo homini lupus manusia adalah kecenderungan kodrati. Ia sudah ada dalam diri manusia, jauh sebelum ada agama yang mencekokinya dengan pelbagai ajaran, positif maupun negatif. Jadi, tidak terjamin dengan pasti bahwa teror akan hilang kalau kitab suci ditulis ulang.
Karena itu, kita harus mencari cara pemahaman dan penjelasan lain. Itulah yang saya angkat dari beberapa butir ilham pemikiran Karen Armstrong. Salah satu pokok yang mau didalami Armstrong dalam bukunya ialah bagaimana cara menafsirkan kitab suci. Sebab kitab suci itu harus ditafsirkan agar bisa bermakna dalam hidup manusia. Berikut beberapa prinsip yang dapat dikemukakan di sini.
Pertama, tafsir kitab suci harus praxis-oriented, terarah kepada praksis. Tafsir kitab suci harus bermuara pada perbuatan, pada tingkah laku. Tafsir Kitab Suci yang baik, harus mampu mengubah hidup orang ke arah yang lebih baik secara sosial-etis. Tafsir jangan sampai hanya sebatas olah-rasional-intelektual-spekulatif belaka. Tafsir seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya aktifitas melayang-layang saja. Kedua, tafsir kitab suci harus dilandasi oleh semangat kerendahan-hati, tidak sombong. Sikap rendah hati inilah yang merupakan salah satu sisi dari praxis-oriented. Praksis yang ditekankan di sini ialah sikap rendah hati. Studi yang kuat dan mendalam akan kitab suci harus bisa mengubah orang menjadi lebih rendah hati; kalau orang semakin rendah hati, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Sebaliknya, kalau ia sombong, ia akan semakin dekat dengan setan dan konco-konconya.
Ketiga, erat terkait dengan poin yang kedua tadi, tafsir kitab suci juga harus bisa menyuburkan cinta kasih. Poin ketiga inilah yang ingin saya tekankan di sini, terutama dalam situasi cekaman dan ancaman teror sekarang ini. Sudah lama para ahli kitab mengatakan bahwa jangan sampai tafsir menjadi ajang atau medan untuk menabur dan menebar kebencian. Melainkan harus dibaktikan kepada upaya penyuburan cinta kasih, sebab cinta kasih itulah yang dapat menjadi prinsip hidup. Hidup tidak mungkin ada tanpa cinta kasih. Hidup selalu mengandaikan cinta kasih sebagai dasar dan prasyaratnya. Cinta kasih adalah conditio sine-qua-non bagi hidup manusia.
Keempat, sejarah ilmu tafsir mempunyai sikap rendah hati, yaitu rela mengakui bahwa tidak ada tafsir tunggal. Karena itu, orang tidak dapat mengklaim kebenaran mutlak dalam ilmu tafsir (hermeneutik). Sekali lagi, perlu dikatakan bahwa orang tidak dapat memonopoli tafsir itu. Sebab di antara para penafsir ada satu keyakinan abadi bahwa setiap penafsir yang siap dan kritis akan selalu bisa menggali satu segi atau dimensi baru. Sebab sungguh diyakini bahwa “Reading is a process of reproducing meaning; reading is a process of reconstructing meaning.” Itu tidak lain karena membaca selalu berarti menafsirkan dan membangun makna.
Maka marilah kita membaca dan membaca. Sehubungan dengan bulan Kitab Suci ini ada baiknya kita dengar Agustinus yang suatu saat mendengar kata-kata: Tolle, Lege. Ambillah dan Bacalah. Agustinus membaca Kitab Suci, dan di sana ia berjumpa dengan Kristus, persis seperti yang dikatakan temannya, Hieronimus, siapa yang tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Kristus. Marilah kita isi bulan ini dengan aktifitas membaca kitab suci dalam rangka semakin mengenal dan mencintai Yesus Kristus.
Beberapa hari lalu seorang mantan mahasiswa saya muncul di wall facebook dan bertukar pikiran dengan saya mengenai beberapa hal yang terkait dengan aksi teroris yang belakang ini muncul kembali dan membuat kita waspada dan bahkan saling curiga. Ia muncul dengan pernyataan: terorisme yang terkait dengan agama biasanya diilhami teks-teks yang juga keras di dalam kitab suci agama-agama terkait. Ia mau mengatakan bahwa kitab suci mengajarkan teror dan membenarkannya kalau teror itu sudah terjadi. Karena itu, ia mengusulkan agar perlu ada gerakan bersama untuk menulis kembali semua kitab suci agama-agama dan dalam proses penulisan ulang itu, unsur yang penuh kekerasan, yang mengandung teror dibuang saja. Kita cukup menyimpan hal-hal yang baik. Benih teror dan kebencian harus dibuang. Citra Allah pembenci dan pendendam harus dikikis. Tentu ia mengusulkan hal itu dengan harapan bahwa perjalanan ke masa depan manusia akan menjadi lebih baik dan lebih ramah: orang tidak lagi menempa mata pedang dan tombak, melainkan pedang dan tombak yang ada ditempa menjadi bajak untuk mengolah ladang atau sawah. Terhadap usul itu, ia meminta tanggapan.
Tulisan ini merupakan upaya pengembangan lebih lanjut dari argumen yang saya ajukan di wall facebook itu, ditambah dengan beberapa insight dari buku Karen Armstrong yang tahun lalu saya terjemahkan untuk Mizan: Bible, A Biography. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk meramaikan Bulan Kitab Suci Nasional, yang tahun ini kita rayakan dengan merenungkan kisah Yakub. Kalau kita baca kisah Yakub dengan baik dan penuh perhatian, akan tampak bahwa kisah itu memang penuh intrik, tipu muslihat, dan kekerasan, tetapi akhirnya semuanya bermuara ke rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu bisa terjadi setelah ada campur tangan Tuhan dalam seluruh proses itu.
Inilah beberapa tanggapan spontan saya saat itu. Pertama, usul itu tidak mungkin dilakukan karena Teks Kitab Suci adalah kisah-kisah manusiawi. Karena itu, isinya bisa sangat realistik dan vulgar tentang fakta kemanusiaan, baik menyangkut segi positifnya, maupun negatifnya. Kedua, dalam tradisi Katolik, dikenal tiga tonggak penting yang harus berimbang dan dijaga keseimbangannya: Kitab Suci, Tradisi, Magisterium. Segala tendensi untuk menekankan sudut yang satu akan diimbangi sudut lain. Maksudnya, kalau orang cenderung menjadi kaku dengan prinsip “sola scriptura,” perlu disadarkan bahwa kita punya tradisi. Magisterium memainkan peranan penting di sini. Tentu Kitab Suci di atas segala-galanya. Tetapi karena ia lahir dari tradisi maka tradisi memainkan peranan yang tidak kecil. Tafsir kitab suci selalu memerlukan otoritas baik itu intelektual, maupun rohani dan organisatoris. Itulah Magisterium. Ketiga, sama sekali tidak ada jaminan bahwa setelah kitab suci ditulis kembali dengan mempercantik isinya, manusia akan menjadi semakin ramah terhadap satu sama lain. Sebab tendensi homo homini lupus manusia adalah kecenderungan kodrati. Ia sudah ada dalam diri manusia, jauh sebelum ada agama yang mencekokinya dengan pelbagai ajaran, positif maupun negatif. Jadi, tidak terjamin dengan pasti bahwa teror akan hilang kalau kitab suci ditulis ulang.
Karena itu, kita harus mencari cara pemahaman dan penjelasan lain. Itulah yang saya angkat dari beberapa butir ilham pemikiran Karen Armstrong. Salah satu pokok yang mau didalami Armstrong dalam bukunya ialah bagaimana cara menafsirkan kitab suci. Sebab kitab suci itu harus ditafsirkan agar bisa bermakna dalam hidup manusia. Berikut beberapa prinsip yang dapat dikemukakan di sini.
Pertama, tafsir kitab suci harus praxis-oriented, terarah kepada praksis. Tafsir kitab suci harus bermuara pada perbuatan, pada tingkah laku. Tafsir Kitab Suci yang baik, harus mampu mengubah hidup orang ke arah yang lebih baik secara sosial-etis. Tafsir jangan sampai hanya sebatas olah-rasional-intelektual-spekulatif belaka. Tafsir seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya aktifitas melayang-layang saja. Kedua, tafsir kitab suci harus dilandasi oleh semangat kerendahan-hati, tidak sombong. Sikap rendah hati inilah yang merupakan salah satu sisi dari praxis-oriented. Praksis yang ditekankan di sini ialah sikap rendah hati. Studi yang kuat dan mendalam akan kitab suci harus bisa mengubah orang menjadi lebih rendah hati; kalau orang semakin rendah hati, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Sebaliknya, kalau ia sombong, ia akan semakin dekat dengan setan dan konco-konconya.
Ketiga, erat terkait dengan poin yang kedua tadi, tafsir kitab suci juga harus bisa menyuburkan cinta kasih. Poin ketiga inilah yang ingin saya tekankan di sini, terutama dalam situasi cekaman dan ancaman teror sekarang ini. Sudah lama para ahli kitab mengatakan bahwa jangan sampai tafsir menjadi ajang atau medan untuk menabur dan menebar kebencian. Melainkan harus dibaktikan kepada upaya penyuburan cinta kasih, sebab cinta kasih itulah yang dapat menjadi prinsip hidup. Hidup tidak mungkin ada tanpa cinta kasih. Hidup selalu mengandaikan cinta kasih sebagai dasar dan prasyaratnya. Cinta kasih adalah conditio sine-qua-non bagi hidup manusia.
Keempat, sejarah ilmu tafsir mempunyai sikap rendah hati, yaitu rela mengakui bahwa tidak ada tafsir tunggal. Karena itu, orang tidak dapat mengklaim kebenaran mutlak dalam ilmu tafsir (hermeneutik). Sekali lagi, perlu dikatakan bahwa orang tidak dapat memonopoli tafsir itu. Sebab di antara para penafsir ada satu keyakinan abadi bahwa setiap penafsir yang siap dan kritis akan selalu bisa menggali satu segi atau dimensi baru. Sebab sungguh diyakini bahwa “Reading is a process of reproducing meaning; reading is a process of reconstructing meaning.” Itu tidak lain karena membaca selalu berarti menafsirkan dan membangun makna.
Maka marilah kita membaca dan membaca. Sehubungan dengan bulan Kitab Suci ini ada baiknya kita dengar Agustinus yang suatu saat mendengar kata-kata: Tolle, Lege. Ambillah dan Bacalah. Agustinus membaca Kitab Suci, dan di sana ia berjumpa dengan Kristus, persis seperti yang dikatakan temannya, Hieronimus, siapa yang tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Kristus. Marilah kita isi bulan ini dengan aktifitas membaca kitab suci dalam rangka semakin mengenal dan mencintai Yesus Kristus.
Langganan:
Postingan (Atom)