Oleh: Fransiskus Borgias M.
Besok, tanggal 26 Juli (selalu berulang setiap tahun), penanggalan liturgi kita mempunyai satu peringatan wajib (memoria obligatoria) untuk dua orang kudus yaitu Santo Yoakim dan Santa Anna. Siapa mereka itu? Penanggalan liturgi secara singkat memberi jawaban sbb: mereka adalah orangtua SP Maria. Pertanyaan berikut yang perlu dijawab ialah: apa arti penting peringatan wajib ini bagi kita, khususnya bagi teologi biblis kita? Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu saya mau mengajukan satu pertanyaan lain yang kiranya masih jauh lebih mendasar lagi: dari mana kita mengenal dan mengetahui nama kedua orangtua SP Maria ini? Bahwa SP Maria mempunyai orangtua, itu kiranya jelas dengan sendirinya. Kita tidak usah mempersoalkannya. SP Maria tidak menyembul tiba-tiba begitu saja di muka bumi ini di atas panggung sejarah; pasti melewati proses alami manusia biasa yaitu melalui kedua orangtuanya. Tetapi siapa nama mereka itu soal lain. Kita tidak secara otomatis bisa mengenal dan mengetahui nama orangtuanya.
Yang jelas kita tidak mengenal nama kedua orangtua itu dari keempat injil kanonk. Sia-sia jika kita mencari informasi historis mengenai mereka di sana. Bahkan di sana pun tidak disebut sedikitpun tentang orangtua SP.Maria. Apalagi sampai menyebut nama. Kalau begitu, dari mana kita mengenal nama kedua orangtua itu? Mungkin jawaban atas pertanyaan ini akan mengejutkan beberapa pihak, tetapi saya akan mengemukakan jawaban itu di sini. Inilah jawabannya. Tradisi gereja (khususnya tradisi Liturgi) mengangkat kedua nama itu justru dari injil extra kanonik, bukan dari injil kanonik. Tepatnya tradisi gereja mengangkat kedua nama itu dari Injil Yakobus, the Gospel of James. Dari sanalah kita mengenal kedua nama ini yang diperingati setiap tahun pada 26 Juli.
Di mana kita dapat menemukan Injil ini? Kita tidak dapat menemukannya dalam injil kanonik yang diterbitkan berkat kerjasama LAI-LBI. Dalam koleksi perpustakaan pribadi saya di Bandung saya mempunyai buku tebal yang berjudul sangat menarik: The Other Bible. Di sanalah, dalam kumpulan itu kita dapat menemukan kitab tadi. Jika Bible yang kita pakai setiap hari adalah The Bible, maka kumpulan teks yang tidak lolos masuk ke dalam Bible itu disebut The Other Bible. Itu adalah kumpulan teks-teks injil (cukup banyak jumlahnya) yang tidak lolos masuk seleksi kanon.
Mungkin kita bertanya lagi lebih lanjut: teks-teks itu tidak lolos masuk seleksi kanon, tetapi malah diangkat ke dalam perayaan liturgi? Ini pertanyaan historis-teologis yang tidak mudah dijawab. Menurut saya, itulah keunikan liturgi. Itulah yang saya sebut dimensi keluasan dan keluwesan liturgi, yang mampu dan sudi menampung apa saja yang baik di luar kanon, walau secara keseluruhan teks itu tidak lolos masuk kanon. Bagi saya ini adalah pertanda mengenai betapa elastisnya ruang liturigs itu untuk dapat menampung apa saja yang tidak lolos kriteria dogmatik untuk masuk kanon. Contoh kasus keluwesan dan elastisitas liturgis ini ada banyak, selain contoh yang sudah disebutkan di atas.
Salah satu contoh lain yang secara spontan saya ingat ialah devosi 14 stasi jalan salib dalam liturgi masa Prapaskah. Dari keempat belas stasi itu ada beberapa stasi yang jelas tidak ada dalam kisah injil kanonik, tetapi justru berkembang dalam tradisi lalu diadopsi oleh liturgi. Misalnya: Stasi keenam di mana dilukiskan bahwa Veronika mengusap wajah Yesus. Atau stasi ketiga, ketujuh, dan kesembilan (masing-masing adalah Yesus jatuh pertama kali, kedua kali, dan ketiga kali) juga tidak ada dalam Kitab kanonik. Tetapi sangat wajar bahwa hal-hal ini muncul secara otomatis dan alami dalam imajinasi religius umat beriman yang kemudian dalam perkembangan sejarahnya mendapat tempat dalam ruang perayaan liturgis. Ajaibnya juga, hal itu pada gilirannya bisa menghidupkan liturgi itu dengan cara memperkayanya dari dalam.
Bagi saya ini adalah sebuah penegasan historis-teologis bahwa betapa tradisi itu amat penting dalam teologi katolik, selain dari kedua tonggak lain yaitu kitab suci dan magisterium. Itu adalah suatu hal penting dalam teologi dasar (fundamental theology). Hal itu sangat berbeda dengan prinsip tiga Sola dalam Protestantisme, yang sebenarnya tidak ada dalam Kitab Suci, melainkan lahir dari tradisi, tetapi tradisi itu justru malah dinisbikan dalam dan oleh Protestantisme.
Sebagai akhir kata saya mau mengucapkan selamat memperingati kedua orangtua SP Maria, Santo Yoakim dan Santa Anna. Terima kasih kepada tradisi yang luas dan luwes yang dalam keluasannya menjadi kolam abadi bagi kita yang dapat menghidupkan imajinasi religius kita yang pada gilirannya memperkaya dan memperdalam penghayatan hidup iman kita.
Yogyakarta, Lempong Lor, 25 Juli 2011.
Minggu, 24 Juli 2011
Senin, 18 Juli 2011
PETRUS MENANGIS
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dalam Perayaan Ekaristi Minggu Palma pagi kemarin, 17 April 2011, saya entah untuk ke berapa kalinya mendengar kisah sengsara menurut Mateus (tahun A). Tahun ini saya merayakan Ekaristi MingguPalma jauh dari keluargaku (isteri dan kedua anakku) di Bandung. Ini untuk ketiga kalinya saya merayakan Minggu Palma jauh dari keluargaku. Pertama dan kedua tahun 2001 dan 2002 ketika saya belajar teologi di Nijmegen negeri Belanda. Tahun ini saya mengikuti perayaan Ekaristi di Paroki Banteng, di Jalan Kaliurang (tetapi saya lupa kilo meternya),Yogyakarta. Ini adalah sebuah paroki yang dikelola oleh para pastor dari kongregasi MSF (Keluarga Kudus).
Ketika mendengarkan Passio Mateus kali ini saya sangat tertarik pada adegan Petrus menangis setelah ia menyangkal Tuhan Yesus sebanyak tiga kali. Hal itu terjadi setelah ia ditanyai oleh beberapa pihak yang menduga mengenalnya dekat dengan Yesus dari Nazaret. Seperti sudah diramalkan sebelumnya, setelah ia menyangkal Tuhan sebanyak tiga kali, lalu ayam pun berkokok. Ketika ia mendengar kokok ayam tersebut rontoklah sudah pertahanan diri (self-defence mechanism) Petrus. Dikatakan dalam injil itu bahwa Petrus menangis tersedu-sedu. Kiranya kita dapat membayangkan hal tersebut.
Adegan itu dapat kita baca juga dalam injil Markus dan Lukas (masing-masing Tahun B dan C dalam bentangan tahun liturgi kita). Itulah ketiga injil sinoptik. Nanti pada Hari Jum’at Agung kita akan membaca (dan itu selalu berulang setiap tahun) kisah sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus menurut Yohanes.
Jika kita membandingkan ketiga injil sinoptik ini dengan injil Yohanes, maka kita akan segera menemukan sesuatu hal yang sangat menarik perhatian kita. Yang menarik ialah bahwa dalam Yohanes ada juga kisah penyangkalan oleh Petrus itu, yang mengaku sama sekali tidak mengenal Yesus. Sama-sama juga ketika selesai peristiwa penyangkalan itu terjadi juga ayam berkokok. Tetapi dalam injil Yohanes, dan inilah yang menjadi sesuatu yang sangat khas dalam injil Yohanes, Petrus tidak menangis. Muncul kesan dalam diri kita sebagai pembaca bahwa bagi Yohanes, perkara penyangkalan itu adalah sebuah perkara yang enteng saja, sebuah perkara yang sepele,yang tidak perlu disesali apalagi sampai ditangisi dengan tersedu-sedu.
Tetapi tunggu dulu. Ternyata dalam injil Yohanes ada juga adegan Petrus menangis. Tetapi alasan dan momennya yang sangat berbeda. Dalam alur kisah sengsara injil Yohanes, nanti Petrus menangis justru setelah peristiwa kebangkitan. Ini juga paradoksal yang sangat menarik dalam injil Yohanes. Petrus menangis setelah peristiwa kebangkitan yaitu dalam dialog penugasan Petrus sebagai seorang gembala yang rupanya secara mutlak menuntut mutu hidup dalam kasih yang jelas dan kuat.
Ada macam-macam alasan bagi manusia untuk menangis dalam hidup ini. Tetapi dalam injil kita menemukan paling tidak dua alasan. Dalam injil-injil sinoptik alasan Petrus menangis ialah karena ia telah berdosa yaitu berani menyangkal Yesus di depan publik. Dalam Yohanes asalan Petrus menangis ialah karena ia ditanyai Yesus sampai tiga kali tentang mutu cintanya terhadap Yesus sendiri. Menurut hemat saya, mutu tangis Petrus dalam injil Yohanes terasa jauh lebih tinggi, dan mendalam. Bagi Yohanes gaya dan alur penuturan kisah ini adalah mutlak perlu. Karena dengan ini ia memulihkan peristiwa kejatuhan Petrus yang terjadi di depan, sesuatu yang tidak ada dalam injil-injil Sinoptik. Bagi Yohanes pemulihan ini perlu sebab Petrus nanti bakal dijadikan seorang gembala bagi kawanan Tuhan Yesus sendiri.
Tetapi tradisi tahun liturgi gereja Katolik mengajak kita untuk melihat kisah ini secara komplementer, sebagai sesuatu yang saling mengisi dan melengkapi. Tradisi tahun liturgi Katolik mengajak kita untuk membaca teks itu sebagai satu keseluruhan. Dan jika dibaca secara keseluruhan, maka Lukas dapat berperan besar juga di sini. Sebab sebelum peristiwa sengsara, Yesus sudah berdoa secara khusus bagi Petrus (Luk.22:32). Intensinya jelas juga dilukiskan di sana: agar imanmu tidak gugur. Agar nanti setelah kau insaf engkau menjadi daya kekuatan bagi yang lain-lain. Peran itulah yang sekarang ini, dalam adegan pemulihan Petrus di tepi danau, yang kini dipentaskan dengan exsplisit dalam injil Yohanes.
(Disarikan dari naskah buku saya yang akan terbit).
Dalam Perayaan Ekaristi Minggu Palma pagi kemarin, 17 April 2011, saya entah untuk ke berapa kalinya mendengar kisah sengsara menurut Mateus (tahun A). Tahun ini saya merayakan Ekaristi MingguPalma jauh dari keluargaku (isteri dan kedua anakku) di Bandung. Ini untuk ketiga kalinya saya merayakan Minggu Palma jauh dari keluargaku. Pertama dan kedua tahun 2001 dan 2002 ketika saya belajar teologi di Nijmegen negeri Belanda. Tahun ini saya mengikuti perayaan Ekaristi di Paroki Banteng, di Jalan Kaliurang (tetapi saya lupa kilo meternya),Yogyakarta. Ini adalah sebuah paroki yang dikelola oleh para pastor dari kongregasi MSF (Keluarga Kudus).
Ketika mendengarkan Passio Mateus kali ini saya sangat tertarik pada adegan Petrus menangis setelah ia menyangkal Tuhan Yesus sebanyak tiga kali. Hal itu terjadi setelah ia ditanyai oleh beberapa pihak yang menduga mengenalnya dekat dengan Yesus dari Nazaret. Seperti sudah diramalkan sebelumnya, setelah ia menyangkal Tuhan sebanyak tiga kali, lalu ayam pun berkokok. Ketika ia mendengar kokok ayam tersebut rontoklah sudah pertahanan diri (self-defence mechanism) Petrus. Dikatakan dalam injil itu bahwa Petrus menangis tersedu-sedu. Kiranya kita dapat membayangkan hal tersebut.
Adegan itu dapat kita baca juga dalam injil Markus dan Lukas (masing-masing Tahun B dan C dalam bentangan tahun liturgi kita). Itulah ketiga injil sinoptik. Nanti pada Hari Jum’at Agung kita akan membaca (dan itu selalu berulang setiap tahun) kisah sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus menurut Yohanes.
Jika kita membandingkan ketiga injil sinoptik ini dengan injil Yohanes, maka kita akan segera menemukan sesuatu hal yang sangat menarik perhatian kita. Yang menarik ialah bahwa dalam Yohanes ada juga kisah penyangkalan oleh Petrus itu, yang mengaku sama sekali tidak mengenal Yesus. Sama-sama juga ketika selesai peristiwa penyangkalan itu terjadi juga ayam berkokok. Tetapi dalam injil Yohanes, dan inilah yang menjadi sesuatu yang sangat khas dalam injil Yohanes, Petrus tidak menangis. Muncul kesan dalam diri kita sebagai pembaca bahwa bagi Yohanes, perkara penyangkalan itu adalah sebuah perkara yang enteng saja, sebuah perkara yang sepele,yang tidak perlu disesali apalagi sampai ditangisi dengan tersedu-sedu.
Tetapi tunggu dulu. Ternyata dalam injil Yohanes ada juga adegan Petrus menangis. Tetapi alasan dan momennya yang sangat berbeda. Dalam alur kisah sengsara injil Yohanes, nanti Petrus menangis justru setelah peristiwa kebangkitan. Ini juga paradoksal yang sangat menarik dalam injil Yohanes. Petrus menangis setelah peristiwa kebangkitan yaitu dalam dialog penugasan Petrus sebagai seorang gembala yang rupanya secara mutlak menuntut mutu hidup dalam kasih yang jelas dan kuat.
Ada macam-macam alasan bagi manusia untuk menangis dalam hidup ini. Tetapi dalam injil kita menemukan paling tidak dua alasan. Dalam injil-injil sinoptik alasan Petrus menangis ialah karena ia telah berdosa yaitu berani menyangkal Yesus di depan publik. Dalam Yohanes asalan Petrus menangis ialah karena ia ditanyai Yesus sampai tiga kali tentang mutu cintanya terhadap Yesus sendiri. Menurut hemat saya, mutu tangis Petrus dalam injil Yohanes terasa jauh lebih tinggi, dan mendalam. Bagi Yohanes gaya dan alur penuturan kisah ini adalah mutlak perlu. Karena dengan ini ia memulihkan peristiwa kejatuhan Petrus yang terjadi di depan, sesuatu yang tidak ada dalam injil-injil Sinoptik. Bagi Yohanes pemulihan ini perlu sebab Petrus nanti bakal dijadikan seorang gembala bagi kawanan Tuhan Yesus sendiri.
Tetapi tradisi tahun liturgi gereja Katolik mengajak kita untuk melihat kisah ini secara komplementer, sebagai sesuatu yang saling mengisi dan melengkapi. Tradisi tahun liturgi Katolik mengajak kita untuk membaca teks itu sebagai satu keseluruhan. Dan jika dibaca secara keseluruhan, maka Lukas dapat berperan besar juga di sini. Sebab sebelum peristiwa sengsara, Yesus sudah berdoa secara khusus bagi Petrus (Luk.22:32). Intensinya jelas juga dilukiskan di sana: agar imanmu tidak gugur. Agar nanti setelah kau insaf engkau menjadi daya kekuatan bagi yang lain-lain. Peran itulah yang sekarang ini, dalam adegan pemulihan Petrus di tepi danau, yang kini dipentaskan dengan exsplisit dalam injil Yohanes.
(Disarikan dari naskah buku saya yang akan terbit).
Langganan:
Postingan (Atom)