Selasa, 16 Agustus 2011

Prefasi Tanah Airku I dan II
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Lay Theologian, Dosen Teologi pada FF-UNPAR Bdg. PhD Student at ICRS-Yogya

Salah satu ciri khas Tata Perayaan Ekaristi berbahasa Indonesia ialah, bahwa di sana tersedia dua Prefasi untuk Tanah Air (Buku TPE, hal.104-106). Ciri khas itu tampak jika kita melihat sejenak TPE berbahasa Inggris, maupun buku ulasan teologis prefasi yang standar dan terkenal dari Cutberth Johnson itu. Karena “Prefasi Tanah Airku” ini khas Indonesia, maka perlu dicermati baik-baik, entah itu menyangkut strukturnya maupun juga menyangkut isinya. Saya mulai dengan mencermati struktur dan isi Prefasi yang pertama.

Sebagaimana biasa dalam setiap Prefasi, pasti ada dialog pembuka yang sangat lazim dan kita hafal dengan sangat baik itu. Lalu disusul dengan protokol yang lazim, yaitu ungkapan keyakinan dasar kita bahwa kita ini senantiasa memuji dan mengucap syukur kepada Allah Bapa melalui pengantaraan Tuhan kita Yesus Kristus.

Lalu dalam bagian doktrina teologis diberikan paling tidak tiga alasan mengapa kita memuji dan memuliakan Allah Bapa. Pertama, kita mengungkapkan keyakinan dasar iman kita bahwa Allah Bapa-lah yang memungkinkan kita dapat hidup dan berdiam di negeri indah permai yang bernama Indonesia ini, berdiam di bumi nusantara yang teramat kaya ini. Yang teramat menarik bagi saya ialah pelukisan tentang negeri ini yang amat indah, yang kalau dibaca dengan baik akan terasa seperti pelukisan mengenai sebuah tanah terjanji saja (sebuah konsep alkitabiah), walau mungkin dengan metafor-metafor dan kosa-kata yang berlainan (sebab di sini tidak ada ungkapan “berlimpah susu dan madu” seperti yang ada dalam kitab Yosua itu ketika pengarang mencoba melukiskan Tanah Terjanji, Kanaan): “...di tengah pulau-pulau dan lautan biru, di antara gunung-gunung dan dataran subur, di negeri yang kaya akan sumber-sumber alam.” (p.104). Sekali lagi, kita yakin bahwa berkat penyelenggaraan ilahilah, kita dapat dan boleh tinggal di negeri “melati pujaan bangsa” ini, mengutip ungkapan metaforis dari Ismail Marzuki dalam lagunya yang terkenal itu: Rayuan pulau kelapa.

Kedua, kita juga mengungkapkan pandangan dan keyakinan teologis kita bahwa proses terbentuknya negara ini pun adalah sebentuk campur-tangan dan penyelenggaraan kasih setia ilahi bahkan hampir-hampir merupakan sebuah mukjizat juga. Kita yakin bahwa Allah Bapa-lah yang membimbing bangsa ini menjadi satu bangsa yang merdeka dan bertanggung-jawab (p.104). Pembentukan satu realitas politik negara itu tentu saja mempunyai tujuan tertentu yang teramat luhur; dengan terbentuknya kita sebagai satu bangsa atau lebih tepat satu negara, maka kita dapat mengolah bumi ini dengan baik dan secara bertanggung-jawab, seperti yang dikehendaki oleh sang Pencipta itu sendiri (bdk.Kej.1:26-28). Bahkan ada dimensi dan kesadaran ekologis juga di dalam Prefasi ini, ketika dikatakan bahwa kita dipanggil menjadi satu bangsa untuk “...mengelola alam tanpa merusak lingkungan, memanfaatkan laut yang kaya.” Kita juga dipanggil untuk membangun negeri ini demi menuju masa depan yang lebih baik, “...menyiapkan hari depan yang lebih adil dan makmur, aman dan sentosa.”

Ketiga, dan ini yang khas umat Kristiani di Indonesia, yang menurut idealisme sosio-politis Soegiyopranoto, 100% Katolik dan 100% Indonesia, kita juga mengucap syukur kepada Allah Bapa yang telah menyelenggarakan hidup iman bagi kita di negeri ini. Ini juga amat penting kita sadari dan kita tekankan. Kita yakin dan percaya bahwa Allah-lah yang telah menanamkan iman dan cinta Kristiani ke dalam hati kita di bumi Indonesia ini. Kiranya di sini sejenak kita terpikir akan semua para misionaris yang telah bekerja keras dan sungguh-sungguh atas dasar landasan kasih menebarkan benih sabda kehidupan di negeri ini, sehingga di negeri ini iman Kristiani ada dan muncul dan terutama juga hidup, walaupun dalam kondisi sebagai minoritas.

Atas dasar kesadaran itu semua, kita pun terdorong untuk memuji dan memuliakan Allah bersama seluruh isi surga, dalam lagu pujian merdu para malaekat di surga: Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, surga dan bumi penuh kemuliaanmu, terpujilah Engkau di surga, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, terpujilah Engkau di surga. Dengan ini berakhirlah sudah ulasan atas Prefasi Tanah Air yang pertama.

Prefasi yang kedua menjadi sangat menarik karena dalam alasan doktrinalnya dibuat satu paralelisme antara tindakan Allah yang dahulu telah membebaskan umat pilihan (yaitu bangsa Israel) dari penindasan dan penjajahan di Mesir, untuk dapat mulai hidup sebagai orang-orang yang bebas dan merdeka di Tanah Terjanji (hal.106). Kita juga yakin dan berpandangan bahwa Allah yang memberikan cinta dan perhatian yang sama kepada bangsa kita; Allah mencurahkan kasih sayang yang besar kepada bangsa ini.

Selanjutnya dengan singkat dan padat sekali disinggung mengenai proses terjadinya bangsa ini. Kiranya yang terpikirkan di sana ialah tentang para founding fathers kita dulu yang diyakini sebagai para bonae voluntatis, yaitu orang-orang yang berkehendak baik, yang karena berkehendak baik itulah, mereka mampu membangun negeri ini sebagai satu bangsa, juga atas perkenanan dan penyelenggaraan Allah juga.
Selanjutnya secara singkat juga disinggung mengenai upaya penegakan kemerdekaan. Tentu setelah merdeka, ada upaya untuk membela terus persatuan dan kebebasan. Itu semua amat penting untuk penegakan keadilan (promotio iustitiae) dan perwujudan perdamaian (pax). Kita yakin bahwa Allah membimbing kita untuk “membangun masyarakat yang sejahtera berdasarkan iman dan pengabdian kepada-Mu.”

Akhirnya, hal itu semua menjadi alasan bagi kita untuk bersukacita dan dalam sukacita itu kita turut serta dalam paduan suara merdu dan meriah para malaekat di surga yang senantiasa memuji dan memuliakan Allah dari kekal hingga kekal: Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu, Terpujilah Engkau di surga. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di surga.

Bandung, 07 Agustus 2010 (diketik kembali sambil diperluas, 21 Agustus 2010 di Pelemburan, Yogyakarta) Oleh: Fransiskus Borgias M.

Minggu, 14 Agustus 2011

PREFASI SP MARIA DIANGKAT KE SURGA

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Lay Theologian

Tanggal 15 Agustus juga merupakan salah satu tanggal yang sangat istimewa dalam lingkaran tahun liturgis gereja Katolik, karena pada tanggal itu ada Hari Raya SP Maria Diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Pesta ini didasarkan pada sebuah ketetapan dogmatis gereja pada abad keduapuluh, sesudah perang dunia II terjadi dan mencabik-cabik Eropa khususnya dan dunia pada umumnya. Dogma itu sendiri dilandaskan pada satu keyakinan tradisional gereja yang sudah sangat tua usianya. Bahkan dalam konteks Gereja Yunani Ortodoks, keyakinan ini sudah lama menjadi keyakinan iman dogmatis yang sangat lama dihayati dengan penuh iman, kasih, dan pengharapan. Kita tidak akan bisa menemukan dasar keyakinan ini secara biblis sebab keyakinan itu muncul dalam sejarah dan tradisi gereja yang juga kita yakini diilhami dan dituntun (dibimbing) oleh Roh Kudus sendiri.

Prefasi yang kita dengar pada perayaan ekaristi hari ini juga sangat indah dan mendalam. Seperti biasa ia dimulai dengan menyapa Bapa, Allah yang mahakuasa dan kekal. Jelas itu adalah sebuah ungkapan keyakinan iman yang seperti terkandung dalam Credo kita yang kita ucapkan setiap hari Minggu dan hari raya lainnya: Credo in unum Deum, Pater omnipotentem...ect. Atas dasar keyakinan itu kita pun menyatakan atau mengungkapkan pengakuan kita akan kesadaran bahwa kita selalu dan di mana-mana memuji dan memuliakan Allah Bapa. Hal itu kita lakukan dengan pengantaraan Yesus Kristus Tuhan kita. Memang doa pujian dan permohonan kita kepada Bapa selalu bercorak Kristologis (Kristosentris).

Selanjutnya kepada kita diberikan dan diuraikan alasan bagi pujian itu. Tentu di samping pujian itu adalah kewajiban fundamental dan eksistensial dari kita sebagai manusia beriman (makhluk ciptaan), pada hari ini ada sebuah alasan khusus, yaitu karena SP Maria Bunda Allah diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Begitulah ketetapan dalam rumusan dogmanya. Peristiwa pengangkatan itu mempunyai dua tujuan penting. Pertama, pengangkatan itu dimaksudkan untuk menjadi awal atau permulaan dan pola dari Gereja dalam kesempurnaannya. Memang Maria adalah typos gereja (sebuah istilah klasik dari teologi Mariologi para Bapa Gereja) dalam hal iman dan kesempurnaan hidup yang sepenuhnya terarah kepada Allah semata-mata dengan mengikuti model iman Maria sendiri: Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu. Ecce serva Dei, fiat mihi secundum verbum tuum.

Kedua, pengangkatan itu juga menjadi satu tanda pengharapan dan penghiburan bagi umat Allah dalam perjalanan ziarah mereka menuju ke surga. Gereja, dalam dan melalui Prefasi ini, memperlihatkan dan menegaskan keyakinan imannya bahwa Allah tidak sudi kehancuran karena maut menyentuh tubuhnya (Maria), karena tubuh itu adalah tubuh yang sangat mulia, karena tubuh itu sudah mengandung dan melahirkan sang Penebus, PuteraMu, Tuhan dan Penguasa segala sesuatu yang hidup. Dan hal itu terjadi di dalam kemuliaan peristiwa inkarnasi, sabda menjelma menjadi daging, sabda menjelma menjadi manusia, verbum caro factum est, dan membangun kemahnya di antara kita. Tradisi gereja yang kudus meyakini bahwa Maria tidak mati. Itu sebabnya dalam Kitab Suci tidak ada kisah tentang peristiwa wafat Santa Perawan Maria. Juga dalam tradisi suci selanjutnya, tidak ada kisah seperti itu. Jadi, keyakinan devosional marial itu sudah sangat tua usianya; boleh jadi sudah setua teks-teks Kitab Suci Perjanjian Baru itu sendiri. Jejak keyakinan itu antara lain dapat kita lihat jejaknya secara samar-samar dalam injil-injil, terutama dalam injil Lukas.

Keyakinan itu akhirnya mampu mendatangkan sukacita hidup yang besar bagi kita yang menghayatinya sekarang dan di sini; kita pun dalam sukacita kita, memadahkan kidung pujian kita untuk memuji dan memuliakan Allah, bersama dengan paduan suara para malaekat di surga. Dan kita pun bernyanyi dengan mengikuti seruan para malaekat di surga dalam liturgi abadi mereka: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, Surga dan bumi penuh kemuliaanMu, terpujilah Engkau di surga, terberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Terpujilah Engkau di surga.” Sesudah itu, dalam lanjutan perayaan ekaristi, kita hanyut dalam sujud yang khusyuk ketika peristiwa konsekrasi. Selamat Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.


Bandung, 06 Agustus 2010 (pagi hari).
Diketik sambil dikembangkan dan diperluas, 06 Agustus 2010 (malam hari)

Rabu, 03 Agustus 2011

LUKISAN TANPA WAJAH

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Kemarin, tanggal 06 Juli 2011, saya secara kebetulan mengunjungi Wall Face Book dari seorang teman saya ketika sedang studi teologi di negeri Belanda beberapa tahun silam; ia adalah seorang pastor dari Filipina, teman mahasiswa dulu waktu studi teologi di Fakultas Teologi Universitas Katolik Nijmegen Belanda. Nama pastor itu Dave Capucao. Beberapa tahun silam ia sudah mampu menyelesaikan Ph.D-nya di tempat yang sama. Di dalam koleksi album foto beliaulah saya temukan sebuah gambar atau lukisan yang sangat indah dan menarik. Tetapi ini bukan untuk pertama kalinya saya melihat gambar itu. Saya sudah pernah melihatnya sebelumnya, entah sudah beberapa kali. Tetapi terus terang saja, sampai saat ini saya belum pernah melihat aslinya lukisan itu; saya hanya melihat reproduksinya saja. Kalau tidak salah lukisan itu adalah hasil buah karya dari tangan seorang pelukis Belanda yang terkenal, Rembrandt. Nah, pertanyaannya, apa daya tarik dan keunikan lukisan dari Rembrandt ini, yang mendorong saya menulis artikel ringan ini?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebelumnya saya mencoba menggambarkan apa yang dilukiskan dalam lukisan itu. Kiranya adegan yang digambarkan dalam lukisan itu adalah mengenai peristiwa unik dalam malam perjamuan akhir menurut injil Yohanes (Yoh.13:1-20). Di sana dilukiskan bahwa Tuhan Yesus memberi sebuah perintah baru (novum mandatum) kepada para murid-Nya dan hal itu mau diteladankan dengan tindakan nyata dari sang Guru sendiri, yaitu upacara pembasuhan kaki para murid yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri; ini adalah sebuah upacara standar dalam perayaan hari Kamis Putih setiap tahun dalam Gereja Katolik; juga dilakukan dalam Perayaan Ekaristi Paus (sebagaimana dapat kita lihat dalam tayangan Televisi sejak paus Yohanes Paulus II dan Paus yang sekarang ini).

Tetapi kiranya lukisan itu mau difokuskan pada adegan pembasuhan kaki Petrus saja. Sebab di sana tidak tampak para murid yang lain. Di sana hanya tampak seorang murid (kiranya itu adalah Petrus) yang tampak seperti rada enggan bahwa kakinya dibasuh oleh sang guru. Bahkan dalam injil Yohanes kita tahu bahwa ia sempat menolaknya, tetapi kemudian ia mengalah setelah sang Guru memberi sebuah argumen yang membuat dia mati langkah dan tidak dapat menolak lagi. Dalam gambar itu Tuhan Yesus berpakaian putih sedangkan Petrus berpakaian coklat rada tua. Jadi busana mereka tampak kontras satu sama lain. Ruang di sekitar mereka juga tampak gelap, tidak tampak apa-apa dan siapa-siapa selain roti dan sebuah piala di atas meja (tentu juga dua sosok yang sudah disebutkan di atas tadi). Ruang yang gelap itu semakin membantu memfokuskan perhatian dan pandangan mata kita pada gambar dua sosok yang saling berinteraksi dalam lukisan itu.

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, Petrus tampak seperti rada enggan dengan perbuatan dari sang Guru itu, bahkan ia mau menolaknya dengan tegas: “Engkau tidak akan pernah membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” (Yoh.13:.7). Tetapi akhirnya ia mau dan menerima juga tindakan simbolis itu, setelah Yesus memberi sebuah argumen teologi kemuridan yang efektif: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh.13:8).

Ya, sebagaimana dapat kita lihat dengan mudah dalam lukisan itu, kaki Petrus sudah masuk dalam baskom pembasuhan. Kaki itu tenggelam dalam air dalam baskom pembasuhan. Itu wajar saja. Adapun hal yang jauh lebih menarik lagi dari lukisan itu ialah bahwa kepala Tuhan Yesus tertutup kain putih, sesuatu yang sangat biasa bagi gaya berpakaian kaum pria Timur Tengah pada masa itu dan juga masa sekarang. Selain itu wajah Tuhan Yesus pun juga tidak dapat terlibat, karena memang Ia membelakangi kita sebagai para penikmat lukisan. Wajah Tuhan juga tidak dapat terlihat karena Tuhan sedang membungkuk dalam rangka akan membasuh kaki, atau karena sedang menatap ke bawah, yaitu ke dalam ember pembasuhan. Dan ajaib sekali. Wajah Tuhan Yesus tampak terpantul di bawah, di dalam sana, yaitu dalam air di ember itu bersama dengan kaki Petrus yang akan dibasuh-Nya. Perhatikan baik-baik, dan ini inti pesan teologisnya, dalam pengamatan dan tafsir saya: Tangan Tuhan sama sekali belum mulai membasuh, karena tangan itu masih berada di luar baskom pembasuhan. Tetapi wajah-Nya justru sudah mulai menyatu, melebur duluan dengan kaki salah satu dari para murid-Nya, di dalam ember pembasuhan, di dalam air pembasuhan.

Oleh karena itu, menurut hemat saya, si Pelukis ini (Rembrandt) sesungguhnya sedang berteologi, yaitu berteologi tentang rahasia kenosis, atau tentang penghampaan diri dari sang Firman yang menjadi manusia dan membangun kemahnya di antara kita (Yoh.1:14). Tentang kenosis itu surat Paulus kepada jemaat di Filipi 2 mengatakannya dengan sangat jelas dan kuat: “...walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,melainkan telah mengosongkan diri-Nya senddiri, dan mengambilrupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil.2:6-9). Menurut hemat saya, teologi kenosis itu dipentaskan dengan sangat baik dan dengan sangat radikal dalam lukisan Rembrandt ini: wajah Tuhan menyatu dan melebur dengan kaki sang murid di dalam ember pembasuhan.

Luar biasa. Sebuah teologi dalam gambar tentang kenosis, sebuah teologi tentang fakta historis inkarnasi, sebuah teologi tentang fakta bahwa verbum caro factum est, sabda telah menjadi manusia. Sebuah theology in colors, jika saya boleh meminjam istilah dari Rublev, seorang teolog dan pelukis ikon yang terkenal dari tradisi Ortodoks Russia. Di tempat lain kita menemukan pernyataan dari para teolog lain yang kurang lebih mengatakan bahwa perayaan liturgi kita adalah sebentuk theology in actions, teologi dalam tindakan, teologi dalam tindakan, dalam perbuatan nyata. Salah satu bentuk dari theology in actions dalam liturgi itu ialah apa yang disebut Hans Urs von Balthasar dengan sebutan kneeling theology, teologi berlutut, sebuah teologi tentang doa.

Saya berharap agar dengan ini semoga kita semakin sadar bahwa sesungguhnya ada banyak cara orang berteologi, mengungkapkan pandangan dan keyakinan teologisnya. Ada teolog yang melakukan hal itu dengan cara memakai dan mengolah kata, ada juga teologi yang melakukan hal itu dengan memakai dan mengolah nada, dan ada juga teolog yang melakukan hal itu dengan memakai dan mengolah gerak. Nah di sini kita menemukan sebuah model yang lain, yaitu suatu cara berteologi dengan memakai dan mengolah warna, berteologi dengan warna, berteologi dengan gambar. Dan menurut saya, teologi dengan warna, dengan gambar ini pun sangat efektif. Bahkan jauh lebih efektif dalam berbicara dan berkomunikasi dengan kaum beriman, jika dibandingkan dengan teknik-teknik berteologi dengan cara memakai dan mengolah kata. Tradisi gereja katolik sangat kental dan kuat menghargai hal itu; hal itu terbukti dari dinding-dinding gereja yang banyak dihiasi dengan banyak lukisan yang indah-indah yang ilham dasarnya diangkat dan digali dari berbagai sumber (kitab suci dan tradisi sakramental dan devosional) yang pada gilirannnya dapat berfungsi sebagai biblia pauperum dan biblia fidelium. (Di tempat dan kesempatan lain saya sudah menulis sedikit tentang kedua istilah yang terakhir ini).

Yogyakarta, 07 Juli 2011.
Ditulis dan diolah kembali 04 Agustus 2011.
Fransiskus Borgias M.