Rabu, 03 Agustus 2011

LUKISAN TANPA WAJAH

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Kemarin, tanggal 06 Juli 2011, saya secara kebetulan mengunjungi Wall Face Book dari seorang teman saya ketika sedang studi teologi di negeri Belanda beberapa tahun silam; ia adalah seorang pastor dari Filipina, teman mahasiswa dulu waktu studi teologi di Fakultas Teologi Universitas Katolik Nijmegen Belanda. Nama pastor itu Dave Capucao. Beberapa tahun silam ia sudah mampu menyelesaikan Ph.D-nya di tempat yang sama. Di dalam koleksi album foto beliaulah saya temukan sebuah gambar atau lukisan yang sangat indah dan menarik. Tetapi ini bukan untuk pertama kalinya saya melihat gambar itu. Saya sudah pernah melihatnya sebelumnya, entah sudah beberapa kali. Tetapi terus terang saja, sampai saat ini saya belum pernah melihat aslinya lukisan itu; saya hanya melihat reproduksinya saja. Kalau tidak salah lukisan itu adalah hasil buah karya dari tangan seorang pelukis Belanda yang terkenal, Rembrandt. Nah, pertanyaannya, apa daya tarik dan keunikan lukisan dari Rembrandt ini, yang mendorong saya menulis artikel ringan ini?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebelumnya saya mencoba menggambarkan apa yang dilukiskan dalam lukisan itu. Kiranya adegan yang digambarkan dalam lukisan itu adalah mengenai peristiwa unik dalam malam perjamuan akhir menurut injil Yohanes (Yoh.13:1-20). Di sana dilukiskan bahwa Tuhan Yesus memberi sebuah perintah baru (novum mandatum) kepada para murid-Nya dan hal itu mau diteladankan dengan tindakan nyata dari sang Guru sendiri, yaitu upacara pembasuhan kaki para murid yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri; ini adalah sebuah upacara standar dalam perayaan hari Kamis Putih setiap tahun dalam Gereja Katolik; juga dilakukan dalam Perayaan Ekaristi Paus (sebagaimana dapat kita lihat dalam tayangan Televisi sejak paus Yohanes Paulus II dan Paus yang sekarang ini).

Tetapi kiranya lukisan itu mau difokuskan pada adegan pembasuhan kaki Petrus saja. Sebab di sana tidak tampak para murid yang lain. Di sana hanya tampak seorang murid (kiranya itu adalah Petrus) yang tampak seperti rada enggan bahwa kakinya dibasuh oleh sang guru. Bahkan dalam injil Yohanes kita tahu bahwa ia sempat menolaknya, tetapi kemudian ia mengalah setelah sang Guru memberi sebuah argumen yang membuat dia mati langkah dan tidak dapat menolak lagi. Dalam gambar itu Tuhan Yesus berpakaian putih sedangkan Petrus berpakaian coklat rada tua. Jadi busana mereka tampak kontras satu sama lain. Ruang di sekitar mereka juga tampak gelap, tidak tampak apa-apa dan siapa-siapa selain roti dan sebuah piala di atas meja (tentu juga dua sosok yang sudah disebutkan di atas tadi). Ruang yang gelap itu semakin membantu memfokuskan perhatian dan pandangan mata kita pada gambar dua sosok yang saling berinteraksi dalam lukisan itu.

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, Petrus tampak seperti rada enggan dengan perbuatan dari sang Guru itu, bahkan ia mau menolaknya dengan tegas: “Engkau tidak akan pernah membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” (Yoh.13:.7). Tetapi akhirnya ia mau dan menerima juga tindakan simbolis itu, setelah Yesus memberi sebuah argumen teologi kemuridan yang efektif: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh.13:8).

Ya, sebagaimana dapat kita lihat dengan mudah dalam lukisan itu, kaki Petrus sudah masuk dalam baskom pembasuhan. Kaki itu tenggelam dalam air dalam baskom pembasuhan. Itu wajar saja. Adapun hal yang jauh lebih menarik lagi dari lukisan itu ialah bahwa kepala Tuhan Yesus tertutup kain putih, sesuatu yang sangat biasa bagi gaya berpakaian kaum pria Timur Tengah pada masa itu dan juga masa sekarang. Selain itu wajah Tuhan Yesus pun juga tidak dapat terlibat, karena memang Ia membelakangi kita sebagai para penikmat lukisan. Wajah Tuhan juga tidak dapat terlihat karena Tuhan sedang membungkuk dalam rangka akan membasuh kaki, atau karena sedang menatap ke bawah, yaitu ke dalam ember pembasuhan. Dan ajaib sekali. Wajah Tuhan Yesus tampak terpantul di bawah, di dalam sana, yaitu dalam air di ember itu bersama dengan kaki Petrus yang akan dibasuh-Nya. Perhatikan baik-baik, dan ini inti pesan teologisnya, dalam pengamatan dan tafsir saya: Tangan Tuhan sama sekali belum mulai membasuh, karena tangan itu masih berada di luar baskom pembasuhan. Tetapi wajah-Nya justru sudah mulai menyatu, melebur duluan dengan kaki salah satu dari para murid-Nya, di dalam ember pembasuhan, di dalam air pembasuhan.

Oleh karena itu, menurut hemat saya, si Pelukis ini (Rembrandt) sesungguhnya sedang berteologi, yaitu berteologi tentang rahasia kenosis, atau tentang penghampaan diri dari sang Firman yang menjadi manusia dan membangun kemahnya di antara kita (Yoh.1:14). Tentang kenosis itu surat Paulus kepada jemaat di Filipi 2 mengatakannya dengan sangat jelas dan kuat: “...walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,melainkan telah mengosongkan diri-Nya senddiri, dan mengambilrupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil.2:6-9). Menurut hemat saya, teologi kenosis itu dipentaskan dengan sangat baik dan dengan sangat radikal dalam lukisan Rembrandt ini: wajah Tuhan menyatu dan melebur dengan kaki sang murid di dalam ember pembasuhan.

Luar biasa. Sebuah teologi dalam gambar tentang kenosis, sebuah teologi tentang fakta historis inkarnasi, sebuah teologi tentang fakta bahwa verbum caro factum est, sabda telah menjadi manusia. Sebuah theology in colors, jika saya boleh meminjam istilah dari Rublev, seorang teolog dan pelukis ikon yang terkenal dari tradisi Ortodoks Russia. Di tempat lain kita menemukan pernyataan dari para teolog lain yang kurang lebih mengatakan bahwa perayaan liturgi kita adalah sebentuk theology in actions, teologi dalam tindakan, teologi dalam tindakan, dalam perbuatan nyata. Salah satu bentuk dari theology in actions dalam liturgi itu ialah apa yang disebut Hans Urs von Balthasar dengan sebutan kneeling theology, teologi berlutut, sebuah teologi tentang doa.

Saya berharap agar dengan ini semoga kita semakin sadar bahwa sesungguhnya ada banyak cara orang berteologi, mengungkapkan pandangan dan keyakinan teologisnya. Ada teolog yang melakukan hal itu dengan cara memakai dan mengolah kata, ada juga teologi yang melakukan hal itu dengan memakai dan mengolah nada, dan ada juga teolog yang melakukan hal itu dengan memakai dan mengolah gerak. Nah di sini kita menemukan sebuah model yang lain, yaitu suatu cara berteologi dengan memakai dan mengolah warna, berteologi dengan warna, berteologi dengan gambar. Dan menurut saya, teologi dengan warna, dengan gambar ini pun sangat efektif. Bahkan jauh lebih efektif dalam berbicara dan berkomunikasi dengan kaum beriman, jika dibandingkan dengan teknik-teknik berteologi dengan cara memakai dan mengolah kata. Tradisi gereja katolik sangat kental dan kuat menghargai hal itu; hal itu terbukti dari dinding-dinding gereja yang banyak dihiasi dengan banyak lukisan yang indah-indah yang ilham dasarnya diangkat dan digali dari berbagai sumber (kitab suci dan tradisi sakramental dan devosional) yang pada gilirannnya dapat berfungsi sebagai biblia pauperum dan biblia fidelium. (Di tempat dan kesempatan lain saya sudah menulis sedikit tentang kedua istilah yang terakhir ini).

Yogyakarta, 07 Juli 2011.
Ditulis dan diolah kembali 04 Agustus 2011.
Fransiskus Borgias M.

Tidak ada komentar: