Kamis, 15 Januari 2009

RABU, 25 FEBRUARI 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Yl.2:12-18; 2Kor.5:20-6:2; Mat.6:1-6,16-18.

Hari ini Rabu Abu. Ini tradisi khas Gereja Katolik; tidak ada di Gereja lain. Ini adalah awal masa Prapaskah, masa pantang dan puasa. Ada pengolesan abu pada kening kita. Itu pengakuan bahwa kita berasal dari debu dan akan kembali ke debu dan abu. Kita dituntut menjadi rendah hati, menundukkan badan sampai ke tanah, ke humus, dari mana kata Humilitas berasal. Jidat disungkurkan ke tanah agar kita menjadi rendah hati. Injil membentangkan tiga tiang praksis kesalehan: Sedekah, doa, puasa. Tetapi ketiganya harus dilakukan diam-diam. Jangan ditonjolkan; tidak diumumkan dengan toa; tidak dipublikasi seperti selebriti dan pejabat publik dan penggede partai politik. Puasa kita harus dilakukan diam-diam, dalam hati. Puasa ialah menahan diri dari apa yang wajib untuk hidup. Pantang ialah menahan diri dari kesenangan, walau tidak sungguh perlu. Seluruh masa ini ditandai Aksi Puasa Pembangunan, APP. Kita memberi bukan dari kelebihan, melainkan memberi dari hasil upaya kita menahan dan mengendalikan diri dalam nafsu dan keinginan kita (terutama yang konsumtif). Kita diharapkan terlibat dalam Aksi Pembangunan, dengan askese, dengan puasa-pantang, jadi dengan menahan diri. Mari kita tekuni ketiga hal itu. Hanya dengan itu puasa kita akan berdaya transformatif, tidak hanya secara personal, tetapi juga sosial. Ini hanya mungkin kalau kita melakukan tobat hati dan bukan sekadar tobat badan (BacI). Kalau kita melakukan tobat hati, maka seluruh masa Prapaskah ini bisa menjadi waktu perkenanan, hari penyelamatan, hari di mana Allah bertindak menyelamatkan kita (Bac.II). Semoga demikian.

Tidak ada komentar: