JUDUL BUKU : YERUSALEM 33, IMPERIUM ROMANUM, KOTA PARA NABI, DAN TRAGEDI TANAH
SUCI.
PENGARANG : TRIAS KUNCAHYONO
PENERBIT : BUKU KOMPAS, APRIL 2011
HALAMAN : XXXVLL+ 330.
PENINJAU : FRANSISKUS BORGIAS M.
Berbicara tentang Yerusalem, tidak akan habis. Ada banyak buku yang ditulis tentang kota itu. Ada Karen Armstrong, Amy Dockserr Marcus, dan Trias Kuncahono yang menulis dua buku. Inilah bukunya yang kedua setelah yang pertama menjadi best-seller, Jerusalem. Berbicara tentang Yerusalem, saya teringat akan P.C.Groenen OFM, pakar Kitab Suci. Suatu saat dalam kuliah Kitab Suci Perjanjian Lama di Biara St.Bonaventura Papringan, ia mengatakan, “dunia tidak akan damai selama Jerusalem tidak damai,” selama Yerusalem tercabik-cabik. Groenen mendasarkan pernyataannya pada sejarah, di mana Yerusalem selalu menjadi sign of contradiction, dari dulu hingga kini, dan nanti. Kota itu dipenggal dalam beberapa bagian dengan penguasa yang berasal dari tradisi agama. Islam punya bagiannya, Yahudi punya bagiannya, Kristiani juga punya bagiannya. Penggal Kristiani juga terbagi dalam beberapa bagian.
Buku ini berbicara secara historis tentang Yerusalem. Buku ini terdiri atas 8 Bab, dilengkapi dua prolog dan satu epilog. Buku ini membahas substansi eksistensi Jerusalem dari jaman ke jaman. Yang paling besar pengaruhnya ialah fakta bahwa Jerusalem ialah tanah para nabi (bab 1); ada banyak nabi menyinggung, atau menziarahinya. Setelah cukup panjang membeberkan biologi dan geografi Palestina, penulis membahas secara khusus paradoks para nabi (h.50): Mereka hadir di Yerusalem, tetapi kota itu menjadi kota penuh konflik. Kota itu terletak di Timur Tengah, menjadi bagian utuh dari Kanaan dan Palestina (Bab 2), sebuah urutan yang tepat. Negeri itu dilanda peperangan dari dulu hingga kini. Selalu ada kelompok yang memperebutkannya dari waktu ke waktu. Yang menarik ialah bahwa secara tradisional nama negeri itu, Kanaan. Ada penelusuran etimologis kata Kanaan dan sejarah nama itu (h.80). Ketika Roma berkuasa ada kebijakan membuat “politik pengubahan nama” dari Kanaan menjadi Palestina (hal.92). Roma bermaksud menghapus kenangan akan Israel dari sejarah, sesuatu yang kini bergema kembali dalam diri presiden Iran yang mau melenyapkan Israel dari Peta bumi.
Salah satu episode sejarah yang penting bagi Yerusalem ialah ia pernah dikuasai Roma (bab 3). Tentu ini tidak lengkap jika tidak menyebut Helenisme, Persia, Babel, dan Asyur. Alur sejarah itu dimulai dengan pelukisan sejarah kerajaan di Israel (Hakim-hakim tidak dibahas, h.109). Setelah masa jaya yang hanya sebentar, Israel dikuasai Asyur dan Babel (h.112.113). Kemudian terjadi Helenisasi (h.113-17), dan dikuasai Roma (h.117-144). Hal yang membedakan Roma dari penguasa lain ialah Roma memberi perlakuan khusus terhadap Yahudi sebagai umat berkitab (p.127). Alur perjalanan peziarah Eropa Abad Pertengahan ialah dari Kaisarea ke Yerusalem (Bab 4). Judul itu menyiratkan ada pergeseran dari kota Helenis Kaisaria ke kota Zionis, Yerusalem. Secara cukup panjang pengarang membahas sejarah Kaisarea. Lalu dibahas sejarah Yerusalem, walau yang lebih mencolok ialah pelukisan mengenai beberapa kelompok aliran politik dan teologi jaman itu. Seluruh hidup dan pergolakan bangsa Yahudi terfokus di Jerusalem.
Jerusalem tidak selalu cemerlang sepanjang jaman. Pernah ia ditinggalkan, dan menjadi sarang penyamun (Bab 5). Itu sebabnya kota itu penuh paradoks (h.182). Ada yang memujinya sebagai metropolis, tetapi ada juga yang mencemoohnya hanya sebagai lobang di pojokan (h.183). Hal itu benar sehubungan dengan masa kegelapan pasca penghancuran oleh Babel dan penghancuran oleh Roma tahun 70-an. Itulah zaman gelap Jerusalem (bab 6). Setelah secara singkat menyinggung penghancuran Yerusalem oleh Roma di awal bab, seluruh sisa bab membahas hukuman salib sebagai hukuman keji, tidak manusiawi. Disinggung juga mengenai bentuk salib (h.220-21). Ini jaman kekelaman bagi kemanusiaan; salah satu korbannya ialah Yesus Kristus yang mati di salib.
Fokus Bab 7 ialah peristiwa dramatis, sengsara dan wafat Tuhan. Beberapa pertanyaan besar coba dijawab: Mengapa Yesus dihukum mati, kapan itu terjadi, siapa yang memutuskan hukuman itu? Seluruh uraian difokuskan pada satu tesis bahwa Yesus dibunuh atas dasar konspirasi politis-keagamaan, antara penguasa negara, penguasa agama, dan rakyat kebanyakan. Ada triumvirat jahat yang menyebabkan Yesus dihukum mati, yaitu wali negeri, raja, dan Imam Agung (h.261). Tadinya saya mengira buku ini adalah buku sejarah. Tetapi setelah membacanya sampai bab 8 saya sadar bahwa penulis menulis buku ini sebagai orang Kristiani, yang memuncaki bukunya dengan pelukisan mengenai hari dramatis yang ditandai bulan memerah ketika Yesus wafat (h.310). Ini sebuah apologia iman. Hal itu tampak di bagian akhir bab 8 ini: Yerusalem adalah tempat Yesus dikorbankan, tempat Yesus menyerahkan hidup-Nya di kayu salib bagi keselamatan umat manusia. Karena itu, menyusuri Jalan Salib,Via Dolorosa, di Yerusalem adalah menyusuri jalan iman. Salib mengubah kebinasaanmenjadi keselamatan (h.312).
Ya, berbicara tentang Yerusalem tidak akan selesai. Kita bisa belajar banyak dari Yerusalem seperti dikatakan Zuhairi Misrawi dalam epilog. Ada anakronisme di sana. Dikatakan bahwa pada jaman Muhammad, umat berkiblat ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem (h.314). Saat itu, mesjid itu belum ada; baru ada setelah Yerusalem dikuasai Islam. Qiblat pertama ialah situs bait Allah di Yerusalem. Qiblat itu diubah setelah terjadi konflik tajam antara Islam dan orang Yahudi.
Bahasa buku ini lancar dan ringan. Tetapi secara pribadi saya terganggu dengan ungkapan yang tidak lazim yang dipakai Trias: Kakek moyang (mis:h.9,29, 67, 96, dll). Beberapa pihak mengatakan itu aneh. Yang biasa ialah ungkapan nenek-moyang. Entah apa pertimbangan Trias menggantinya. Ada bagian yang seperti copy-paste. Misalnya info mengenai beberapa nabi dan aktifitas mereka yang diulang di beberapa tempat. Juga informasi mengenai nama beberapa faksi politik dan agama dalam masyarakat Yahudi yang diulang hampir sama di beberapa tempat. Contoh: uraian tentang Farisi yang ada di pendahuluan (h.13-14) sama dengan yang ada pada Bab 4 (h.161). Hal itu bisa diatasi dengan parafrase, tetapi itu tidak dilakukan.
Secara keseluruhan penulis ini lancar memberi banyak informasi populer, penting dan menarik tentang sejarah perjanjian lama dan baru, gereja awal, kekaisaran roma, kekuatan besar dunia yang mengobok-obok Timur Tengah kuno, termasuk Kanaan. Buku ini mengandung “campuran” antara informasi serius yang digali dari resources dan pengalaman pribadi akan Jerusalem dan sekitarnya. Buku ini berguna bagi pemula yang mendalami sejarah timur tengah kuno, sejarah Kaisarea (h.151-162), Yerusalem, Kekaisaran Romawi. Misalnya informasi tentang teori migrasi Abraham (h.70), atau sejarah kemunculan Sabat (h.161-163). Tetapi bagi orang yang sudah mendalami dunia perjanjian lama dan baru, dan sejarah gereja awal, informasi yang ada di sini sama sekali tidak baru; paling-paling ini hanya berfungsi sebagai penyegaran.
Jumat, 09 Desember 2011
KETIKA AKU.... (bdk.Mat.25:31-46)
By: Fransiskus Borgias M.
....LAPAR
Nakam ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi aku makan
....HAUS
Munim ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku minum
....SEORANG ASING
Nangapmut ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku tumpangan
....TELANJANG
Naiakap ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku pakaian
....SAKIT
ukA kugnejnem KADIT umak --- Kamu menjenguk Aku
....DI DALAM PENJARA
ukA ignujnugnem KADIT umak --- Kamu mengunjungi Aku
Belajarlah dari sisi
yang mudah dibaca
Walau idealisme itu tidak mudah.
Hidup
adalah perjuangan.
Yogya, 22 Mei 2011
....LAPAR
Nakam ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi aku makan
....HAUS
Munim ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku minum
....SEORANG ASING
Nangapmut ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku tumpangan
....TELANJANG
Naiakap ukA irebmem KADIT umak --- Kamu memberi Aku pakaian
....SAKIT
ukA kugnejnem KADIT umak --- Kamu menjenguk Aku
....DI DALAM PENJARA
ukA ignujnugnem KADIT umak --- Kamu mengunjungi Aku
Belajarlah dari sisi
yang mudah dibaca
Walau idealisme itu tidak mudah.
Hidup
adalah perjuangan.
Yogya, 22 Mei 2011
BOSKE TA ARNIA/TA PROBATA MOU
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Pagi ini (25 Mei 2008), saya membaca Mazmur 23 yang berjudul Tuhanlah gembalaku. Sebuah mazmur yang sangat terkenal dan sangat akrab di telinga kita karena menjadi sumber ilham bagi karya seni Kristiani, baik itu berupa lagu, maupun berupa seni lukis dan seni ukir. Mazmur itu, walau pun pendek, tetapi isinya padat dan indah. Mungkin karena ia mengalir keluar dari pengalaman hidup sang penulis mazmur itu sendiri. Tetapi di sini saya tidak bermaksud untuk mengulas tentang mazmur 23 tersebut. Saya mau menulis tentang sesuatu yang lain. Apa itu?
Tatkala pagi ini saya sedang membaca mazmur ini saya tiba-tiba teringat akan percakapan pemulihan Petrus oleh Yesus dalam adegan di tepi pantai pada saat peristiwa kebangkitan itu. Percakapan itu dapat kita baca dalam Yoh.21:15-19. Sebuah percakapan yang indah dan benar-benar sangat mengharukan dan sangat menyentuh perasaan. Perasaan kita serasa diaduk-aduk dan menjadi haru-biru karenanya. Di tempat dan kesempatan lain sesungguhnya saya pernah memberi uraian rinci tentang hal ini. Ada segi-segi lain yang sudah saya uraikan dalam tempat dan kesempatan itu. Tetapi pada hari ini saya tiba-tiba sadar dan menemukan sesuatu yang baru dan lain tatkala saya mencoba membaca teks ini dalam teks aslinya yaitu bahasa Yunani dan dibandingkan dengan teks Vulgata (Latin).
Hasil dari pembacaan dan pembandingan ini ialah beberapa pengamatan penting dan sederhana berikut ini. Pertama, ternyata pertanyaan Yesus kepada Simon ada gradasinya, sesuatu yang kurang begitu terasa lagi dalam teks terjemahan kita (bahasa Indonesia). Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang kasih dalam perbandingan dengan yang lain-lain (para murid): “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” (Tentu saja teks ini bisa dibaca dengan dua cara: apakah kasih Simon kepada Yesus itu lebih daripada kasih-kasih para murid yang lain juga terhadap Yesus? Atau bisa juga dibaca: apakah Simon mengasihi Yesus lebih daripada mengasihi para murid yang lain itu mengasihi Yesus? Sebab ini adalah perkara komunitas walau dalam communitas itu ada primus interpares juga). Jadi, yang ditanyakan ialah mengenai mutu kasih Petrus dalam perbandingan dengan mutu kasih para murid yang lain, tentu saja dalam konteks relasi yang hidup dengan Tuhan Yesus sendiri. Pertanyaan kedua dan ketiga adalah pertanyaan personal yang langsung hanya menyangkut diri Yesus sendiri saja: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Dalam pertanyaan kedua dan ketiga ini tidak ada lagi perbandingan dengan para murid yang lain. Ini hanya benar-benar menyangkut relasi kasih antara Yesus dan Petrus saja. Jadi, ini perkara relasi personal dengan Yesus. Menarik juga fakta bahwa Yesus tidak menyapa Simon dengan gelarnya, yaitu Petrus, melainkan dengan nama aslinya sebagai seorang pribadi. (Pada tempat dan kesempatan lain itulah saya sudah menguraikan persoalan ini dengan rinci).
Kedua, ternyata terjemahan kita (Terjemahan Baru 1, disingkat TB1; dari tahun 70-an) hanya memakai satu frase yang sama saja untuk perintah Yesus kepada Simon setelah pertanyaan Yesus dijawab Petrus dengan jawaban positif, dan penuh percaya diri (tentu saja, kecuali yang ketiga). Bunyinya ialah sbb: Gembalakanlah domba-dombaku (Yoh.21:15,16,17). Dalam pengamatan saya, terjemahan ini ternyata sedikit banyak dipengaruhi oleh Vulgata yang juga hanya memakai satu ungkapan saja: Pasce oves meas. Ketika saya membaca terjemahan yang ada dalam The New Jerusalem Bible, terjemahan itu menurut saya lebih dekat dengan teks Yunani. Sadar akan “kekurangan” ini maka revisi terjemahan kita (yang sekarang disebut TB2, walau belum dipromulgasikan secara resmi; TB2: Terjemahan Baru 2 dari tahun 1997) mencoba memperbaikinya. Jika kita membaca TB2 maka di sana sudah ada distingsi yang sangat jelas antara ketiga perintah itu. Pembedaan itu diperjelas dengan pemakaian ungkapan berikut ini. Teks Yunani Boske ta arnia mou diterjemahkan menjadi “Peliharalah Domba-dombaKu.” Sedangkan yang di tengah, poimaine ta probata mou, diterjemahkan dengan “Gembalakanlah domba-dombaKu.” Lalu yang di akhir (ketiga), “Boske ta probata mou,” lagi-lagi diterjemahkan dengan “Peliharalah domba-dombaKu.” Jadi, menurut hemat saya, terjemahan ini lebih dekat dengan teks Yunani. Memelihara tentu saja dengan memberi makan. Tetapi, memberi makan saja tidak cukup. Harus diberi perhatian yang lebih khusus, yang lebih spesifik, mencakup kenyamanan dan keamanan jasmani kawanan domba. Perhatian khusus dan spesifik itulah yang terkandung dalam kata poimaine, kata memelihara (pelihara).
Ketiga, setelah membaca teks Yunani, saya tiba-tiba sadar bahwa ada struktur inklusi (pembingkai) dalam pemilihan dan pemakaian ungkapan. Dalam ayat 15 kata yang dipakai ialah Boske, yang artinya ialah memberi makan. Kata ini kemudian muncul lagi dalam ayat 17: Boske, to feed. Di tengahnya, dipakai kata Poimaine, yang artinya, menjaga, memelihara, to look after. Jadi, boleh dikatakan bahwa kata Boske membingkai atau mengapiti kata poimaine. Bagi saya hal itu mengandung makna yang sangat penting dan mendalam. Seakan-akan dengan struktur bingkai seperti itu, mau dikatakan bahwa setelah domba-domba itu diberi makan (poimaine), domba-domba itu jangan lalu ditelantarkan begitu saja, dibiarkan mengikuti kemauan dan perilaku mereka sendiri, melainkan domba-domba itu tetap harus dijaga baik-baik, dan akhirnya lalu dikasih makan lagi. Urutan itu terus berulang-ulang menjadi sebuah rutinitas kewajiban moral-pastoral. Tentu saja domba-domba itu dipelihara dengan cara dikasih makan.
Keempat, tugas penggembalaan adalah tugas sang gembala agung, sang gembala utama, yaitu Yesus Kristus sendiri, sang pastor bonus (Yoh.10:10). Tetapi sekarang ini, semua tugas itu dipercayakan kepada Petrus. Jelas ini adalah sebuah tugas dan tanggung jawab yang mulia dan tidak mudah. Ini tugas yang sangat berat. Kalau dalam Matius 16:18-19 ada penyerahan kunci kerajaan surga kepada Petrus, maka di sini, tugas dan tanggung-jawab itu diberi dalam wujud sebuah metafor yang lain: Petrus diangkat atau ditunjuk menjadi seorang gembala. Tetapi substansinya satu dan sama saja yaitu menjadi landasan dan pemimpin jemaat. Kalau dalam Matius 16:18-19 itu Petrus diangkat menjadi Batu Karang yang diyakini (mudah-mudahan) kokoh, maka dalam Injil Lukas kita menemukan sesuatu yang lain yang juga sangat indah dan menarik. Mari kita lihat Lukas 22:32. Di sana dilukiskan bahwa Yesus berdoa untuk Simon Petrus: “...tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” Luar biasa. Doa ini sangat menyentuh perasaan. Yesus berdoa bagi keteguhan iman Petrus. Bagi saya doa Yesus ini bagi Petrus sangat penting. Yesus berdoa agar iman Petrus tetap kokoh walaupun mungkin ada banyak cobaan dan godaan (yang juga sudah diramalkan oleh Yesus sendiri, Luk.22:34). Ini sangat penting, sebab Petrus diharapkan akan menjadi tokoh yang bisa menguatkan iman saudara-saudara yang lain. Jelas ini adalah peran seorang pemimpin juga. Peran untuk menjadi teladan, menjadi model dalam hal kekuatan dan kekokohan iman.
Bandung, 23 Mei 2008 (Diketik dan diperluas lagi, 4 November 2011).
Fransiskus Borgias M.
Pagi ini (25 Mei 2008), saya membaca Mazmur 23 yang berjudul Tuhanlah gembalaku. Sebuah mazmur yang sangat terkenal dan sangat akrab di telinga kita karena menjadi sumber ilham bagi karya seni Kristiani, baik itu berupa lagu, maupun berupa seni lukis dan seni ukir. Mazmur itu, walau pun pendek, tetapi isinya padat dan indah. Mungkin karena ia mengalir keluar dari pengalaman hidup sang penulis mazmur itu sendiri. Tetapi di sini saya tidak bermaksud untuk mengulas tentang mazmur 23 tersebut. Saya mau menulis tentang sesuatu yang lain. Apa itu?
Tatkala pagi ini saya sedang membaca mazmur ini saya tiba-tiba teringat akan percakapan pemulihan Petrus oleh Yesus dalam adegan di tepi pantai pada saat peristiwa kebangkitan itu. Percakapan itu dapat kita baca dalam Yoh.21:15-19. Sebuah percakapan yang indah dan benar-benar sangat mengharukan dan sangat menyentuh perasaan. Perasaan kita serasa diaduk-aduk dan menjadi haru-biru karenanya. Di tempat dan kesempatan lain sesungguhnya saya pernah memberi uraian rinci tentang hal ini. Ada segi-segi lain yang sudah saya uraikan dalam tempat dan kesempatan itu. Tetapi pada hari ini saya tiba-tiba sadar dan menemukan sesuatu yang baru dan lain tatkala saya mencoba membaca teks ini dalam teks aslinya yaitu bahasa Yunani dan dibandingkan dengan teks Vulgata (Latin).
Hasil dari pembacaan dan pembandingan ini ialah beberapa pengamatan penting dan sederhana berikut ini. Pertama, ternyata pertanyaan Yesus kepada Simon ada gradasinya, sesuatu yang kurang begitu terasa lagi dalam teks terjemahan kita (bahasa Indonesia). Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang kasih dalam perbandingan dengan yang lain-lain (para murid): “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” (Tentu saja teks ini bisa dibaca dengan dua cara: apakah kasih Simon kepada Yesus itu lebih daripada kasih-kasih para murid yang lain juga terhadap Yesus? Atau bisa juga dibaca: apakah Simon mengasihi Yesus lebih daripada mengasihi para murid yang lain itu mengasihi Yesus? Sebab ini adalah perkara komunitas walau dalam communitas itu ada primus interpares juga). Jadi, yang ditanyakan ialah mengenai mutu kasih Petrus dalam perbandingan dengan mutu kasih para murid yang lain, tentu saja dalam konteks relasi yang hidup dengan Tuhan Yesus sendiri. Pertanyaan kedua dan ketiga adalah pertanyaan personal yang langsung hanya menyangkut diri Yesus sendiri saja: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Dalam pertanyaan kedua dan ketiga ini tidak ada lagi perbandingan dengan para murid yang lain. Ini hanya benar-benar menyangkut relasi kasih antara Yesus dan Petrus saja. Jadi, ini perkara relasi personal dengan Yesus. Menarik juga fakta bahwa Yesus tidak menyapa Simon dengan gelarnya, yaitu Petrus, melainkan dengan nama aslinya sebagai seorang pribadi. (Pada tempat dan kesempatan lain itulah saya sudah menguraikan persoalan ini dengan rinci).
Kedua, ternyata terjemahan kita (Terjemahan Baru 1, disingkat TB1; dari tahun 70-an) hanya memakai satu frase yang sama saja untuk perintah Yesus kepada Simon setelah pertanyaan Yesus dijawab Petrus dengan jawaban positif, dan penuh percaya diri (tentu saja, kecuali yang ketiga). Bunyinya ialah sbb: Gembalakanlah domba-dombaku (Yoh.21:15,16,17). Dalam pengamatan saya, terjemahan ini ternyata sedikit banyak dipengaruhi oleh Vulgata yang juga hanya memakai satu ungkapan saja: Pasce oves meas. Ketika saya membaca terjemahan yang ada dalam The New Jerusalem Bible, terjemahan itu menurut saya lebih dekat dengan teks Yunani. Sadar akan “kekurangan” ini maka revisi terjemahan kita (yang sekarang disebut TB2, walau belum dipromulgasikan secara resmi; TB2: Terjemahan Baru 2 dari tahun 1997) mencoba memperbaikinya. Jika kita membaca TB2 maka di sana sudah ada distingsi yang sangat jelas antara ketiga perintah itu. Pembedaan itu diperjelas dengan pemakaian ungkapan berikut ini. Teks Yunani Boske ta arnia mou diterjemahkan menjadi “Peliharalah Domba-dombaKu.” Sedangkan yang di tengah, poimaine ta probata mou, diterjemahkan dengan “Gembalakanlah domba-dombaKu.” Lalu yang di akhir (ketiga), “Boske ta probata mou,” lagi-lagi diterjemahkan dengan “Peliharalah domba-dombaKu.” Jadi, menurut hemat saya, terjemahan ini lebih dekat dengan teks Yunani. Memelihara tentu saja dengan memberi makan. Tetapi, memberi makan saja tidak cukup. Harus diberi perhatian yang lebih khusus, yang lebih spesifik, mencakup kenyamanan dan keamanan jasmani kawanan domba. Perhatian khusus dan spesifik itulah yang terkandung dalam kata poimaine, kata memelihara (pelihara).
Ketiga, setelah membaca teks Yunani, saya tiba-tiba sadar bahwa ada struktur inklusi (pembingkai) dalam pemilihan dan pemakaian ungkapan. Dalam ayat 15 kata yang dipakai ialah Boske, yang artinya ialah memberi makan. Kata ini kemudian muncul lagi dalam ayat 17: Boske, to feed. Di tengahnya, dipakai kata Poimaine, yang artinya, menjaga, memelihara, to look after. Jadi, boleh dikatakan bahwa kata Boske membingkai atau mengapiti kata poimaine. Bagi saya hal itu mengandung makna yang sangat penting dan mendalam. Seakan-akan dengan struktur bingkai seperti itu, mau dikatakan bahwa setelah domba-domba itu diberi makan (poimaine), domba-domba itu jangan lalu ditelantarkan begitu saja, dibiarkan mengikuti kemauan dan perilaku mereka sendiri, melainkan domba-domba itu tetap harus dijaga baik-baik, dan akhirnya lalu dikasih makan lagi. Urutan itu terus berulang-ulang menjadi sebuah rutinitas kewajiban moral-pastoral. Tentu saja domba-domba itu dipelihara dengan cara dikasih makan.
Keempat, tugas penggembalaan adalah tugas sang gembala agung, sang gembala utama, yaitu Yesus Kristus sendiri, sang pastor bonus (Yoh.10:10). Tetapi sekarang ini, semua tugas itu dipercayakan kepada Petrus. Jelas ini adalah sebuah tugas dan tanggung jawab yang mulia dan tidak mudah. Ini tugas yang sangat berat. Kalau dalam Matius 16:18-19 ada penyerahan kunci kerajaan surga kepada Petrus, maka di sini, tugas dan tanggung-jawab itu diberi dalam wujud sebuah metafor yang lain: Petrus diangkat atau ditunjuk menjadi seorang gembala. Tetapi substansinya satu dan sama saja yaitu menjadi landasan dan pemimpin jemaat. Kalau dalam Matius 16:18-19 itu Petrus diangkat menjadi Batu Karang yang diyakini (mudah-mudahan) kokoh, maka dalam Injil Lukas kita menemukan sesuatu yang lain yang juga sangat indah dan menarik. Mari kita lihat Lukas 22:32. Di sana dilukiskan bahwa Yesus berdoa untuk Simon Petrus: “...tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” Luar biasa. Doa ini sangat menyentuh perasaan. Yesus berdoa bagi keteguhan iman Petrus. Bagi saya doa Yesus ini bagi Petrus sangat penting. Yesus berdoa agar iman Petrus tetap kokoh walaupun mungkin ada banyak cobaan dan godaan (yang juga sudah diramalkan oleh Yesus sendiri, Luk.22:34). Ini sangat penting, sebab Petrus diharapkan akan menjadi tokoh yang bisa menguatkan iman saudara-saudara yang lain. Jelas ini adalah peran seorang pemimpin juga. Peran untuk menjadi teladan, menjadi model dalam hal kekuatan dan kekokohan iman.
Bandung, 23 Mei 2008 (Diketik dan diperluas lagi, 4 November 2011).
Fransiskus Borgias M.
Selasa, 20 September 2011
MATIUS DAN ORANG-ORANG PINGGIRAN
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Ada satu hal yang sangat mencolok sekaligus juga sangat menarik ketika saya membaca bagian-bagian awal dari injil Mateus. Mencolok karena di sana kita temukan sebuah silsilah Yesus. Silsilah adalah penelusuran sejarah, penetapan identitas, pengenalan diri. Tetapi hal itu sudah biasa. Semua orang mempunyai sejarah dan identitasnya sendiri.
Lalu, apanya yang luar biasa dari silsilah itu? Hal yang luar biasa ialah bahwa di sana kita temukan nama-nama beberapa perempuan sebagai leluhur Yesus. Luar biasa, karena biasanya yang didaftarkan dalam silsilah ialah nama-nama kaum lelaki; paling-paling perempuan dihadirkan sebagai keterangan pada laki-laki itu. Ya, begitulah watak dasar sebuah masyarakat patriarkis. Nah dalam silsilah Yesus versi Mateus ini, kaum perempuan ikut didaftarkan juga, sebagai garis penentu dan penyambung kesinambungan historis sebuah eksistensi silsilah. Ini bagi saya adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Dan yang lebih mencolok lagi ialah bahwa, nama-nama kaum perempuan itu tidak seluruhnya mempunyai reputasi yang baik. Ada yang dikenal mempunyai reputasi yang tidak begitu baik. Misalnya, di situ kita temukan nama Tamar, seorang perempuan janda muda yang memperdaya si mertua, Yehuda, dengan menyamar sebagai sundal. Di sana kita temukan juga Rahab dari Yeriko, perempuan sundal yang menyelamatkan dua mata-mata Israel yang mencoba menyelidiki tanah terjanji yang ternyata hasilnya mereka memberi kesaksian penuh pengharapan karena penuh berlimpah dengan susu dan madu. Ada juga isteri Uria yang melahirkan raja Salomo itu; dan kita semua tahu bagaimana Daud telah mencuri isteri Uria itu, yaitu melalui kekejaman pembunuhan berencana.
Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa Mateus berani mendaftarkan nama-nama ini dalam daftar silsilah Yesus? Bukankah hal itu bisa saja mencemari Yesus? Misalnya dengan mengatakan: “Ah leluhur Yesus itu ada yang pelacur lho!” Tidak. Matius sama sekali tidak takut. Ada apa dan mengapa? Tentu ada alasannya yang kuat dan mendasar.
Menurut hemat saya, alasan paling kuat ialah bahwa karena memang ada sebuah teologi di balik silsilah ini. Apa itu? Mari kita lihat satu persatu butir-butir teologis itu. Pertama, Mateus mau bersikap jujur dan apa adanya saja dalam sejarah dan terhadap sejarah. Sejarah tidak boleh dimanipulasi oleh yang menulis sejarah. Sejarah harus ditampilkan apa adanya. Itulah kiranya obsesi Matius. Jadi, biarpun ada nama perempuan yang “bereputasi” buruk, ia tidak memolesnya misalnya dengan menghilangkannya. Kedua, Mateus sekaligus juga mau berteologi dengan silsilah seperti itu. Ia mau menampilkan sebuah sisi dari Yesus sebagai orang yang serba merangkul, serba inklusif. Di dalam diri Dialah segala sesuatu mendapat tempat. Atau menurut istilah Paulus, dalam diri Dialah segala sesuatu didamaikan dengan Allah. Saya kira itulah arti penting yang dapat secara spontan saya kisahkan dalam percikan sekilas renungan ini.
Masih ada hal lain lagi yang ingin saya kemukakan di sini. Saya tiba-tiba baru sadar bahwa injil Mateus ini dibingkai dengan Immanuel. Apa arti dari Immaneul ini? Immanuel berarti Allah beserta kita, Allah menyertai kita. Dan janji Immanuel itu ada pada bagian awal Injil Mateus dan juga ada pada bagian akhir. Juga ada di bagian tengah. Jadi, seluruh injil ini dibingkai di dalam kesadaran akan Immanuel itu.
Mana Immanuel pada awal itu? Immanuel pada awal terletak dalam Mat.1:23. Mana Immanuel pada akhir itu? Immanuel pada akhir terletak dalam Mat.28:20. Mana Immanuel pada bagian tengah Injil? Immanuel pada bagian tengah itu ada dalam Mat.18:20. Nah jika dilihat dengan cara seperti itu tampak jelas kiranya bahwa seluruh injil Mateus dibingkai dalam bingkai kesadaran akan kehadiran sang Immanuel itu. Pada awal, Immanuel itu menjadi nama Yesus, sebuah nama diri; sedangkan pada bagian tengah dan pada bagian akhir, Immanuel itu adalah sebuah janji penyertaan, sebuah janji tindakan: Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku Aku hadir di sana (18:20), dan Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai akhir jaman (28:20).
Lalu apa yang ada di tengah-tengah bingkai itu? Sesungguhnya ada banyak hal. Tetapi saya hanya mau menonjolkan satu hal penting yaitu bahwa di sana Yesus yang adalah sang Immanuel itu mengajarkan kepada kita mengenai hidup di dalam kasih, di dalam keadilan dan di dalam pengharapan. Dan hal ini tidaklah terlalu berlebih-lebihan sebab kita semua bakal mampu karena kita sudah disertai Allah baik pada awal maupun pada akhir dan juga bagian tengah dari obsesi kehidupan kita. Itulah beberapa hal penting yang muncul secara spontan kalau saya membaca Injil Mateus.
Bandung, Mei 2008
Ada satu hal yang sangat mencolok sekaligus juga sangat menarik ketika saya membaca bagian-bagian awal dari injil Mateus. Mencolok karena di sana kita temukan sebuah silsilah Yesus. Silsilah adalah penelusuran sejarah, penetapan identitas, pengenalan diri. Tetapi hal itu sudah biasa. Semua orang mempunyai sejarah dan identitasnya sendiri.
Lalu, apanya yang luar biasa dari silsilah itu? Hal yang luar biasa ialah bahwa di sana kita temukan nama-nama beberapa perempuan sebagai leluhur Yesus. Luar biasa, karena biasanya yang didaftarkan dalam silsilah ialah nama-nama kaum lelaki; paling-paling perempuan dihadirkan sebagai keterangan pada laki-laki itu. Ya, begitulah watak dasar sebuah masyarakat patriarkis. Nah dalam silsilah Yesus versi Mateus ini, kaum perempuan ikut didaftarkan juga, sebagai garis penentu dan penyambung kesinambungan historis sebuah eksistensi silsilah. Ini bagi saya adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Dan yang lebih mencolok lagi ialah bahwa, nama-nama kaum perempuan itu tidak seluruhnya mempunyai reputasi yang baik. Ada yang dikenal mempunyai reputasi yang tidak begitu baik. Misalnya, di situ kita temukan nama Tamar, seorang perempuan janda muda yang memperdaya si mertua, Yehuda, dengan menyamar sebagai sundal. Di sana kita temukan juga Rahab dari Yeriko, perempuan sundal yang menyelamatkan dua mata-mata Israel yang mencoba menyelidiki tanah terjanji yang ternyata hasilnya mereka memberi kesaksian penuh pengharapan karena penuh berlimpah dengan susu dan madu. Ada juga isteri Uria yang melahirkan raja Salomo itu; dan kita semua tahu bagaimana Daud telah mencuri isteri Uria itu, yaitu melalui kekejaman pembunuhan berencana.
Pertanyaannya sekarang ialah, mengapa Mateus berani mendaftarkan nama-nama ini dalam daftar silsilah Yesus? Bukankah hal itu bisa saja mencemari Yesus? Misalnya dengan mengatakan: “Ah leluhur Yesus itu ada yang pelacur lho!” Tidak. Matius sama sekali tidak takut. Ada apa dan mengapa? Tentu ada alasannya yang kuat dan mendasar.
Menurut hemat saya, alasan paling kuat ialah bahwa karena memang ada sebuah teologi di balik silsilah ini. Apa itu? Mari kita lihat satu persatu butir-butir teologis itu. Pertama, Mateus mau bersikap jujur dan apa adanya saja dalam sejarah dan terhadap sejarah. Sejarah tidak boleh dimanipulasi oleh yang menulis sejarah. Sejarah harus ditampilkan apa adanya. Itulah kiranya obsesi Matius. Jadi, biarpun ada nama perempuan yang “bereputasi” buruk, ia tidak memolesnya misalnya dengan menghilangkannya. Kedua, Mateus sekaligus juga mau berteologi dengan silsilah seperti itu. Ia mau menampilkan sebuah sisi dari Yesus sebagai orang yang serba merangkul, serba inklusif. Di dalam diri Dialah segala sesuatu mendapat tempat. Atau menurut istilah Paulus, dalam diri Dialah segala sesuatu didamaikan dengan Allah. Saya kira itulah arti penting yang dapat secara spontan saya kisahkan dalam percikan sekilas renungan ini.
Masih ada hal lain lagi yang ingin saya kemukakan di sini. Saya tiba-tiba baru sadar bahwa injil Mateus ini dibingkai dengan Immanuel. Apa arti dari Immaneul ini? Immanuel berarti Allah beserta kita, Allah menyertai kita. Dan janji Immanuel itu ada pada bagian awal Injil Mateus dan juga ada pada bagian akhir. Juga ada di bagian tengah. Jadi, seluruh injil ini dibingkai di dalam kesadaran akan Immanuel itu.
Mana Immanuel pada awal itu? Immanuel pada awal terletak dalam Mat.1:23. Mana Immanuel pada akhir itu? Immanuel pada akhir terletak dalam Mat.28:20. Mana Immanuel pada bagian tengah Injil? Immanuel pada bagian tengah itu ada dalam Mat.18:20. Nah jika dilihat dengan cara seperti itu tampak jelas kiranya bahwa seluruh injil Mateus dibingkai dalam bingkai kesadaran akan kehadiran sang Immanuel itu. Pada awal, Immanuel itu menjadi nama Yesus, sebuah nama diri; sedangkan pada bagian tengah dan pada bagian akhir, Immanuel itu adalah sebuah janji penyertaan, sebuah janji tindakan: Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku Aku hadir di sana (18:20), dan Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai akhir jaman (28:20).
Lalu apa yang ada di tengah-tengah bingkai itu? Sesungguhnya ada banyak hal. Tetapi saya hanya mau menonjolkan satu hal penting yaitu bahwa di sana Yesus yang adalah sang Immanuel itu mengajarkan kepada kita mengenai hidup di dalam kasih, di dalam keadilan dan di dalam pengharapan. Dan hal ini tidaklah terlalu berlebih-lebihan sebab kita semua bakal mampu karena kita sudah disertai Allah baik pada awal maupun pada akhir dan juga bagian tengah dari obsesi kehidupan kita. Itulah beberapa hal penting yang muncul secara spontan kalau saya membaca Injil Mateus.
Bandung, Mei 2008
Jumat, 09 September 2011
TAFSIR KITAB SUCI: MENGEMBANGKAN CINTA KASIH
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Beberapa hari lalu seorang mantan mahasiswa saya muncul di wall facebook dan bertukar pikiran dengan saya mengenai beberapa hal yang terkait dengan aksi teroris yang belakang ini muncul kembali dan membuat kita waspada dan bahkan saling curiga. Ia muncul dengan pernyataan: terorisme yang terkait dengan agama biasanya diilhami teks-teks yang juga keras di dalam kitab suci agama-agama terkait. Ia mau mengatakan bahwa kitab suci mengajarkan teror dan membenarkannya kalau teror itu sudah terjadi. Karena itu, ia mengusulkan agar perlu ada gerakan bersama untuk menulis kembali semua kitab suci agama-agama dan dalam proses penulisan ulang itu, unsur yang penuh kekerasan, yang mengandung teror dibuang saja. Kita cukup menyimpan hal-hal yang baik. Benih teror dan kebencian harus dibuang. Citra Allah pembenci dan pendendam harus dikikis. Tentu ia mengusulkan hal itu dengan harapan bahwa perjalanan ke masa depan manusia akan menjadi lebih baik dan lebih ramah: orang tidak lagi menempa mata pedang dan tombak, melainkan pedang dan tombak yang ada ditempa menjadi bajak untuk mengolah ladang atau sawah. Terhadap usul itu, ia meminta tanggapan.
Tulisan ini merupakan upaya pengembangan lebih lanjut dari argumen yang saya ajukan di wall facebook itu, ditambah dengan beberapa insight dari buku Karen Armstrong yang tahun lalu saya terjemahkan untuk Mizan: Bible, A Biography. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk meramaikan Bulan Kitab Suci Nasional, yang tahun ini kita rayakan dengan merenungkan kisah Yakub. Kalau kita baca kisah Yakub dengan baik dan penuh perhatian, akan tampak bahwa kisah itu memang penuh intrik, tipu muslihat, dan kekerasan, tetapi akhirnya semuanya bermuara ke rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu bisa terjadi setelah ada campur tangan Tuhan dalam seluruh proses itu.
Inilah beberapa tanggapan spontan saya saat itu. Pertama, usul itu tidak mungkin dilakukan karena Teks Kitab Suci adalah kisah-kisah manusiawi. Karena itu, isinya bisa sangat realistik dan vulgar tentang fakta kemanusiaan, baik menyangkut segi positifnya, maupun negatifnya. Kedua, dalam tradisi Katolik, dikenal tiga tonggak penting yang harus berimbang dan dijaga keseimbangannya: Kitab Suci, Tradisi, Magisterium. Segala tendensi untuk menekankan sudut yang satu akan diimbangi sudut lain. Maksudnya, kalau orang cenderung menjadi kaku dengan prinsip “sola scriptura,” perlu disadarkan bahwa kita punya tradisi. Magisterium memainkan peranan penting di sini. Tentu Kitab Suci di atas segala-galanya. Tetapi karena ia lahir dari tradisi maka tradisi memainkan peranan yang tidak kecil. Tafsir kitab suci selalu memerlukan otoritas baik itu intelektual, maupun rohani dan organisatoris. Itulah Magisterium. Ketiga, sama sekali tidak ada jaminan bahwa setelah kitab suci ditulis kembali dengan mempercantik isinya, manusia akan menjadi semakin ramah terhadap satu sama lain. Sebab tendensi homo homini lupus manusia adalah kecenderungan kodrati. Ia sudah ada dalam diri manusia, jauh sebelum ada agama yang mencekokinya dengan pelbagai ajaran, positif maupun negatif. Jadi, tidak terjamin dengan pasti bahwa teror akan hilang kalau kitab suci ditulis ulang.
Karena itu, kita harus mencari cara pemahaman dan penjelasan lain. Itulah yang saya angkat dari beberapa butir ilham pemikiran Karen Armstrong. Salah satu pokok yang mau didalami Armstrong dalam bukunya ialah bagaimana cara menafsirkan kitab suci. Sebab kitab suci itu harus ditafsirkan agar bisa bermakna dalam hidup manusia. Berikut beberapa prinsip yang dapat dikemukakan di sini.
Pertama, tafsir kitab suci harus praxis-oriented, terarah kepada praksis. Tafsir kitab suci harus bermuara pada perbuatan, pada tingkah laku. Tafsir Kitab Suci yang baik, harus mampu mengubah hidup orang ke arah yang lebih baik secara sosial-etis. Tafsir jangan sampai hanya sebatas olah-rasional-intelektual-spekulatif belaka. Tafsir seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya aktifitas melayang-layang saja. Kedua, tafsir kitab suci harus dilandasi oleh semangat kerendahan-hati, tidak sombong. Sikap rendah hati inilah yang merupakan salah satu sisi dari praxis-oriented. Praksis yang ditekankan di sini ialah sikap rendah hati. Studi yang kuat dan mendalam akan kitab suci harus bisa mengubah orang menjadi lebih rendah hati; kalau orang semakin rendah hati, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Sebaliknya, kalau ia sombong, ia akan semakin dekat dengan setan dan konco-konconya.
Ketiga, erat terkait dengan poin yang kedua tadi, tafsir kitab suci juga harus bisa menyuburkan cinta kasih. Poin ketiga inilah yang ingin saya tekankan di sini, terutama dalam situasi cekaman dan ancaman teror sekarang ini. Sudah lama para ahli kitab mengatakan bahwa jangan sampai tafsir menjadi ajang atau medan untuk menabur dan menebar kebencian. Melainkan harus dibaktikan kepada upaya penyuburan cinta kasih, sebab cinta kasih itulah yang dapat menjadi prinsip hidup. Hidup tidak mungkin ada tanpa cinta kasih. Hidup selalu mengandaikan cinta kasih sebagai dasar dan prasyaratnya. Cinta kasih adalah conditio sine-qua-non bagi hidup manusia.
Keempat, sejarah ilmu tafsir mempunyai sikap rendah hati, yaitu rela mengakui bahwa tidak ada tafsir tunggal. Karena itu, orang tidak dapat mengklaim kebenaran mutlak dalam ilmu tafsir (hermeneutik). Sekali lagi, perlu dikatakan bahwa orang tidak dapat memonopoli tafsir itu. Sebab di antara para penafsir ada satu keyakinan abadi bahwa setiap penafsir yang siap dan kritis akan selalu bisa menggali satu segi atau dimensi baru. Sebab sungguh diyakini bahwa “Reading is a process of reproducing meaning; reading is a process of reconstructing meaning.” Itu tidak lain karena membaca selalu berarti menafsirkan dan membangun makna.
Maka marilah kita membaca dan membaca. Sehubungan dengan bulan Kitab Suci ini ada baiknya kita dengar Agustinus yang suatu saat mendengar kata-kata: Tolle, Lege. Ambillah dan Bacalah. Agustinus membaca Kitab Suci, dan di sana ia berjumpa dengan Kristus, persis seperti yang dikatakan temannya, Hieronimus, siapa yang tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Kristus. Marilah kita isi bulan ini dengan aktifitas membaca kitab suci dalam rangka semakin mengenal dan mencintai Yesus Kristus.
Beberapa hari lalu seorang mantan mahasiswa saya muncul di wall facebook dan bertukar pikiran dengan saya mengenai beberapa hal yang terkait dengan aksi teroris yang belakang ini muncul kembali dan membuat kita waspada dan bahkan saling curiga. Ia muncul dengan pernyataan: terorisme yang terkait dengan agama biasanya diilhami teks-teks yang juga keras di dalam kitab suci agama-agama terkait. Ia mau mengatakan bahwa kitab suci mengajarkan teror dan membenarkannya kalau teror itu sudah terjadi. Karena itu, ia mengusulkan agar perlu ada gerakan bersama untuk menulis kembali semua kitab suci agama-agama dan dalam proses penulisan ulang itu, unsur yang penuh kekerasan, yang mengandung teror dibuang saja. Kita cukup menyimpan hal-hal yang baik. Benih teror dan kebencian harus dibuang. Citra Allah pembenci dan pendendam harus dikikis. Tentu ia mengusulkan hal itu dengan harapan bahwa perjalanan ke masa depan manusia akan menjadi lebih baik dan lebih ramah: orang tidak lagi menempa mata pedang dan tombak, melainkan pedang dan tombak yang ada ditempa menjadi bajak untuk mengolah ladang atau sawah. Terhadap usul itu, ia meminta tanggapan.
Tulisan ini merupakan upaya pengembangan lebih lanjut dari argumen yang saya ajukan di wall facebook itu, ditambah dengan beberapa insight dari buku Karen Armstrong yang tahun lalu saya terjemahkan untuk Mizan: Bible, A Biography. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk meramaikan Bulan Kitab Suci Nasional, yang tahun ini kita rayakan dengan merenungkan kisah Yakub. Kalau kita baca kisah Yakub dengan baik dan penuh perhatian, akan tampak bahwa kisah itu memang penuh intrik, tipu muslihat, dan kekerasan, tetapi akhirnya semuanya bermuara ke rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu bisa terjadi setelah ada campur tangan Tuhan dalam seluruh proses itu.
Inilah beberapa tanggapan spontan saya saat itu. Pertama, usul itu tidak mungkin dilakukan karena Teks Kitab Suci adalah kisah-kisah manusiawi. Karena itu, isinya bisa sangat realistik dan vulgar tentang fakta kemanusiaan, baik menyangkut segi positifnya, maupun negatifnya. Kedua, dalam tradisi Katolik, dikenal tiga tonggak penting yang harus berimbang dan dijaga keseimbangannya: Kitab Suci, Tradisi, Magisterium. Segala tendensi untuk menekankan sudut yang satu akan diimbangi sudut lain. Maksudnya, kalau orang cenderung menjadi kaku dengan prinsip “sola scriptura,” perlu disadarkan bahwa kita punya tradisi. Magisterium memainkan peranan penting di sini. Tentu Kitab Suci di atas segala-galanya. Tetapi karena ia lahir dari tradisi maka tradisi memainkan peranan yang tidak kecil. Tafsir kitab suci selalu memerlukan otoritas baik itu intelektual, maupun rohani dan organisatoris. Itulah Magisterium. Ketiga, sama sekali tidak ada jaminan bahwa setelah kitab suci ditulis kembali dengan mempercantik isinya, manusia akan menjadi semakin ramah terhadap satu sama lain. Sebab tendensi homo homini lupus manusia adalah kecenderungan kodrati. Ia sudah ada dalam diri manusia, jauh sebelum ada agama yang mencekokinya dengan pelbagai ajaran, positif maupun negatif. Jadi, tidak terjamin dengan pasti bahwa teror akan hilang kalau kitab suci ditulis ulang.
Karena itu, kita harus mencari cara pemahaman dan penjelasan lain. Itulah yang saya angkat dari beberapa butir ilham pemikiran Karen Armstrong. Salah satu pokok yang mau didalami Armstrong dalam bukunya ialah bagaimana cara menafsirkan kitab suci. Sebab kitab suci itu harus ditafsirkan agar bisa bermakna dalam hidup manusia. Berikut beberapa prinsip yang dapat dikemukakan di sini.
Pertama, tafsir kitab suci harus praxis-oriented, terarah kepada praksis. Tafsir kitab suci harus bermuara pada perbuatan, pada tingkah laku. Tafsir Kitab Suci yang baik, harus mampu mengubah hidup orang ke arah yang lebih baik secara sosial-etis. Tafsir jangan sampai hanya sebatas olah-rasional-intelektual-spekulatif belaka. Tafsir seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya aktifitas melayang-layang saja. Kedua, tafsir kitab suci harus dilandasi oleh semangat kerendahan-hati, tidak sombong. Sikap rendah hati inilah yang merupakan salah satu sisi dari praxis-oriented. Praksis yang ditekankan di sini ialah sikap rendah hati. Studi yang kuat dan mendalam akan kitab suci harus bisa mengubah orang menjadi lebih rendah hati; kalau orang semakin rendah hati, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Sebaliknya, kalau ia sombong, ia akan semakin dekat dengan setan dan konco-konconya.
Ketiga, erat terkait dengan poin yang kedua tadi, tafsir kitab suci juga harus bisa menyuburkan cinta kasih. Poin ketiga inilah yang ingin saya tekankan di sini, terutama dalam situasi cekaman dan ancaman teror sekarang ini. Sudah lama para ahli kitab mengatakan bahwa jangan sampai tafsir menjadi ajang atau medan untuk menabur dan menebar kebencian. Melainkan harus dibaktikan kepada upaya penyuburan cinta kasih, sebab cinta kasih itulah yang dapat menjadi prinsip hidup. Hidup tidak mungkin ada tanpa cinta kasih. Hidup selalu mengandaikan cinta kasih sebagai dasar dan prasyaratnya. Cinta kasih adalah conditio sine-qua-non bagi hidup manusia.
Keempat, sejarah ilmu tafsir mempunyai sikap rendah hati, yaitu rela mengakui bahwa tidak ada tafsir tunggal. Karena itu, orang tidak dapat mengklaim kebenaran mutlak dalam ilmu tafsir (hermeneutik). Sekali lagi, perlu dikatakan bahwa orang tidak dapat memonopoli tafsir itu. Sebab di antara para penafsir ada satu keyakinan abadi bahwa setiap penafsir yang siap dan kritis akan selalu bisa menggali satu segi atau dimensi baru. Sebab sungguh diyakini bahwa “Reading is a process of reproducing meaning; reading is a process of reconstructing meaning.” Itu tidak lain karena membaca selalu berarti menafsirkan dan membangun makna.
Maka marilah kita membaca dan membaca. Sehubungan dengan bulan Kitab Suci ini ada baiknya kita dengar Agustinus yang suatu saat mendengar kata-kata: Tolle, Lege. Ambillah dan Bacalah. Agustinus membaca Kitab Suci, dan di sana ia berjumpa dengan Kristus, persis seperti yang dikatakan temannya, Hieronimus, siapa yang tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Kristus. Marilah kita isi bulan ini dengan aktifitas membaca kitab suci dalam rangka semakin mengenal dan mencintai Yesus Kristus.
Senin, 05 September 2011
ALMA REDEMPTORIS MATER
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Entah mengapa, hari ini (21 Mei 2011) saya tiba-tiba teringat dan sangat rindu akan sebuah kidung Maria yang saya dengar pada akhir doa malam pertama kami di Seminari Pius XII Kisol. Itulah ibadat Completorium pertama dalam hidup saya. Dan itu terjadi di Kapel asrama seminari itu pulalah. Benar-benar sangat istimewa rasanya. Hari itu sudah pukul 21.00; ya sudah malam. Kami semua pergi ke kapel seminari untuk berdoa malam di Kapel itu. Di akhir doa itulah terdengar merdu bunyi harmonium pengiring dari loteng kapel itu, memberi nada-nada baru bagi saya, tetapi saya tahu itu sangat indah dan mempesona. Setelah sang organis memberi preludium singkat, para senior pun mulai bernyanyi dalam bahasa Latin. Sangat agung dan megah, indah dan mendalam, merasuk dalam kalbu, entah mengapa, entah bagaimana. Kami para Yunior, kalau tidak mendapat buku lagu, hanya bisa bengong saja mendengar untaian nada-nada dan kata-kata indah dan ajaib itu. Tetapi karena nada-nada itu indah, syairnya juga indah, maka malam itu juga saya coba menghafalnya luar kepala. Dan Berhasil. Tidak pernah terlupakan sampai sekarang, sampai detik ini.
Beginilah lagunya:
Alma Redemptoris mater,
quae per via caeli porta manes,
et stela maris,
sucure cadenti,
surgere qui curat populo,
tu que genuisti,
natura mirante,
tuum sanctum genitorem,
virgo prius ac posterius,
gabrielis ab ore,
sumens illud ave,
peccatorum miserere.
Salah satu versi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia (kalau tidak salah merupakan hasil kerja dari teks buku Nyanyian Sukur Kepada Bapa dari Nusa Indah) ialah sbb:
Bunda penebus yang murah,
gapura surgawi yang terbuka,
bintang samudera tolonglah umatmu,
yang dilanda duka derita,
berkat doamu di hadapan Yesus,
puteraMu yang tercinta,
kenya murni senantiasa,
yang disapa Jibrail
dengan salam indah,
sudi kasihani kami.
Versi terjemahan yang lain ialah sbb:
Bunda yang berbelas kasih,
engkau melahirkan penyelamat,
pelindung kami,
kami mohon restu,
agar slamat senantiasa,
berkat doamu di hadapan Yesus,
Puteramu yang tercinta,
kuatkanlah kami yang lemah,
dengan iman harapan,
dan kasih sejati,
ya Maria Bunda kami.
Entah mengapa, saya tetap merasa teks asli dalam bahasa Latin tetap masih jauh lebih indah dan lebih mendalam. Memang kalau dianalisis secara teologis liturgis, ada perbedaan yang sangat besar antara teks Latin dan kedua versi terjemahan yang tersedia di atas tadi. Perbedaan paling mencolok dalam analisis saya ialah bahwa dalam teks Latin sebagian besar teks lagu itu adalah pujian kepada sang Bunda Penebus. Baru pada akhir lagu-lah, muncul hanya satu penggal doa permohonan. Itu sebuah perimbangan doa teologis yang sangat berbeda yang tidak tampak dalam terjemahan bahasa Indonesia. Sebab baik versi terjemahan Indonesia pertama dan kedua, jika kita telaah, maka yang dominan ialah permohonan dan unsur pujian lalu menjadi tidak kentara untuk tidak sampai dikatakan hilang sama sekali.
Entah mengapa pula, pada malam ini tiba-tiba saya tergerak untuk membuat terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai. Mungkin karena saking rindunya terterpa badai nostalgia. Sejauh saya tahu memang belum ada terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai. Inilah hasil terjemahan saya. Semoga ada gunanya.
Ende ata Sambe,
Ende momang mese,
Ite ata lami para surga,
Ntala gerak,
dadang ami anakd,
one mose lino susa taung,
le tegi dite,
one rangaD Yesus,
Anak dite Anak momangd,
Pande mberes,
ami anak de,
le imbi agu bengkes,
agu momang mese,
io Maria Ende cembes.
Yogya, 21 Mei 2011 (Diketik dan diperluas, 06 September 2011).
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Entah mengapa, hari ini (21 Mei 2011) saya tiba-tiba teringat dan sangat rindu akan sebuah kidung Maria yang saya dengar pada akhir doa malam pertama kami di Seminari Pius XII Kisol. Itulah ibadat Completorium pertama dalam hidup saya. Dan itu terjadi di Kapel asrama seminari itu pulalah. Benar-benar sangat istimewa rasanya. Hari itu sudah pukul 21.00; ya sudah malam. Kami semua pergi ke kapel seminari untuk berdoa malam di Kapel itu. Di akhir doa itulah terdengar merdu bunyi harmonium pengiring dari loteng kapel itu, memberi nada-nada baru bagi saya, tetapi saya tahu itu sangat indah dan mempesona. Setelah sang organis memberi preludium singkat, para senior pun mulai bernyanyi dalam bahasa Latin. Sangat agung dan megah, indah dan mendalam, merasuk dalam kalbu, entah mengapa, entah bagaimana. Kami para Yunior, kalau tidak mendapat buku lagu, hanya bisa bengong saja mendengar untaian nada-nada dan kata-kata indah dan ajaib itu. Tetapi karena nada-nada itu indah, syairnya juga indah, maka malam itu juga saya coba menghafalnya luar kepala. Dan Berhasil. Tidak pernah terlupakan sampai sekarang, sampai detik ini.
Beginilah lagunya:
Alma Redemptoris mater,
quae per via caeli porta manes,
et stela maris,
sucure cadenti,
surgere qui curat populo,
tu que genuisti,
natura mirante,
tuum sanctum genitorem,
virgo prius ac posterius,
gabrielis ab ore,
sumens illud ave,
peccatorum miserere.
Salah satu versi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia (kalau tidak salah merupakan hasil kerja dari teks buku Nyanyian Sukur Kepada Bapa dari Nusa Indah) ialah sbb:
Bunda penebus yang murah,
gapura surgawi yang terbuka,
bintang samudera tolonglah umatmu,
yang dilanda duka derita,
berkat doamu di hadapan Yesus,
puteraMu yang tercinta,
kenya murni senantiasa,
yang disapa Jibrail
dengan salam indah,
sudi kasihani kami.
Versi terjemahan yang lain ialah sbb:
Bunda yang berbelas kasih,
engkau melahirkan penyelamat,
pelindung kami,
kami mohon restu,
agar slamat senantiasa,
berkat doamu di hadapan Yesus,
Puteramu yang tercinta,
kuatkanlah kami yang lemah,
dengan iman harapan,
dan kasih sejati,
ya Maria Bunda kami.
Entah mengapa, saya tetap merasa teks asli dalam bahasa Latin tetap masih jauh lebih indah dan lebih mendalam. Memang kalau dianalisis secara teologis liturgis, ada perbedaan yang sangat besar antara teks Latin dan kedua versi terjemahan yang tersedia di atas tadi. Perbedaan paling mencolok dalam analisis saya ialah bahwa dalam teks Latin sebagian besar teks lagu itu adalah pujian kepada sang Bunda Penebus. Baru pada akhir lagu-lah, muncul hanya satu penggal doa permohonan. Itu sebuah perimbangan doa teologis yang sangat berbeda yang tidak tampak dalam terjemahan bahasa Indonesia. Sebab baik versi terjemahan Indonesia pertama dan kedua, jika kita telaah, maka yang dominan ialah permohonan dan unsur pujian lalu menjadi tidak kentara untuk tidak sampai dikatakan hilang sama sekali.
Entah mengapa pula, pada malam ini tiba-tiba saya tergerak untuk membuat terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai. Mungkin karena saking rindunya terterpa badai nostalgia. Sejauh saya tahu memang belum ada terjemahannya ke dalam bahasa Manggarai. Inilah hasil terjemahan saya. Semoga ada gunanya.
Ende ata Sambe,
Ende momang mese,
Ite ata lami para surga,
Ntala gerak,
dadang ami anakd,
one mose lino susa taung,
le tegi dite,
one rangaD Yesus,
Anak dite Anak momangd,
Pande mberes,
ami anak de,
le imbi agu bengkes,
agu momang mese,
io Maria Ende cembes.
Yogya, 21 Mei 2011 (Diketik dan diperluas, 06 September 2011).
Selasa, 16 Agustus 2011
Prefasi Tanah Airku I dan II
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Lay Theologian, Dosen Teologi pada FF-UNPAR Bdg. PhD Student at ICRS-Yogya
Salah satu ciri khas Tata Perayaan Ekaristi berbahasa Indonesia ialah, bahwa di sana tersedia dua Prefasi untuk Tanah Air (Buku TPE, hal.104-106). Ciri khas itu tampak jika kita melihat sejenak TPE berbahasa Inggris, maupun buku ulasan teologis prefasi yang standar dan terkenal dari Cutberth Johnson itu. Karena “Prefasi Tanah Airku” ini khas Indonesia, maka perlu dicermati baik-baik, entah itu menyangkut strukturnya maupun juga menyangkut isinya. Saya mulai dengan mencermati struktur dan isi Prefasi yang pertama.
Sebagaimana biasa dalam setiap Prefasi, pasti ada dialog pembuka yang sangat lazim dan kita hafal dengan sangat baik itu. Lalu disusul dengan protokol yang lazim, yaitu ungkapan keyakinan dasar kita bahwa kita ini senantiasa memuji dan mengucap syukur kepada Allah Bapa melalui pengantaraan Tuhan kita Yesus Kristus.
Lalu dalam bagian doktrina teologis diberikan paling tidak tiga alasan mengapa kita memuji dan memuliakan Allah Bapa. Pertama, kita mengungkapkan keyakinan dasar iman kita bahwa Allah Bapa-lah yang memungkinkan kita dapat hidup dan berdiam di negeri indah permai yang bernama Indonesia ini, berdiam di bumi nusantara yang teramat kaya ini. Yang teramat menarik bagi saya ialah pelukisan tentang negeri ini yang amat indah, yang kalau dibaca dengan baik akan terasa seperti pelukisan mengenai sebuah tanah terjanji saja (sebuah konsep alkitabiah), walau mungkin dengan metafor-metafor dan kosa-kata yang berlainan (sebab di sini tidak ada ungkapan “berlimpah susu dan madu” seperti yang ada dalam kitab Yosua itu ketika pengarang mencoba melukiskan Tanah Terjanji, Kanaan): “...di tengah pulau-pulau dan lautan biru, di antara gunung-gunung dan dataran subur, di negeri yang kaya akan sumber-sumber alam.” (p.104). Sekali lagi, kita yakin bahwa berkat penyelenggaraan ilahilah, kita dapat dan boleh tinggal di negeri “melati pujaan bangsa” ini, mengutip ungkapan metaforis dari Ismail Marzuki dalam lagunya yang terkenal itu: Rayuan pulau kelapa.
Kedua, kita juga mengungkapkan pandangan dan keyakinan teologis kita bahwa proses terbentuknya negara ini pun adalah sebentuk campur-tangan dan penyelenggaraan kasih setia ilahi bahkan hampir-hampir merupakan sebuah mukjizat juga. Kita yakin bahwa Allah Bapa-lah yang membimbing bangsa ini menjadi satu bangsa yang merdeka dan bertanggung-jawab (p.104). Pembentukan satu realitas politik negara itu tentu saja mempunyai tujuan tertentu yang teramat luhur; dengan terbentuknya kita sebagai satu bangsa atau lebih tepat satu negara, maka kita dapat mengolah bumi ini dengan baik dan secara bertanggung-jawab, seperti yang dikehendaki oleh sang Pencipta itu sendiri (bdk.Kej.1:26-28). Bahkan ada dimensi dan kesadaran ekologis juga di dalam Prefasi ini, ketika dikatakan bahwa kita dipanggil menjadi satu bangsa untuk “...mengelola alam tanpa merusak lingkungan, memanfaatkan laut yang kaya.” Kita juga dipanggil untuk membangun negeri ini demi menuju masa depan yang lebih baik, “...menyiapkan hari depan yang lebih adil dan makmur, aman dan sentosa.”
Ketiga, dan ini yang khas umat Kristiani di Indonesia, yang menurut idealisme sosio-politis Soegiyopranoto, 100% Katolik dan 100% Indonesia, kita juga mengucap syukur kepada Allah Bapa yang telah menyelenggarakan hidup iman bagi kita di negeri ini. Ini juga amat penting kita sadari dan kita tekankan. Kita yakin dan percaya bahwa Allah-lah yang telah menanamkan iman dan cinta Kristiani ke dalam hati kita di bumi Indonesia ini. Kiranya di sini sejenak kita terpikir akan semua para misionaris yang telah bekerja keras dan sungguh-sungguh atas dasar landasan kasih menebarkan benih sabda kehidupan di negeri ini, sehingga di negeri ini iman Kristiani ada dan muncul dan terutama juga hidup, walaupun dalam kondisi sebagai minoritas.
Atas dasar kesadaran itu semua, kita pun terdorong untuk memuji dan memuliakan Allah bersama seluruh isi surga, dalam lagu pujian merdu para malaekat di surga: Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, surga dan bumi penuh kemuliaanmu, terpujilah Engkau di surga, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, terpujilah Engkau di surga. Dengan ini berakhirlah sudah ulasan atas Prefasi Tanah Air yang pertama.
Prefasi yang kedua menjadi sangat menarik karena dalam alasan doktrinalnya dibuat satu paralelisme antara tindakan Allah yang dahulu telah membebaskan umat pilihan (yaitu bangsa Israel) dari penindasan dan penjajahan di Mesir, untuk dapat mulai hidup sebagai orang-orang yang bebas dan merdeka di Tanah Terjanji (hal.106). Kita juga yakin dan berpandangan bahwa Allah yang memberikan cinta dan perhatian yang sama kepada bangsa kita; Allah mencurahkan kasih sayang yang besar kepada bangsa ini.
Selanjutnya dengan singkat dan padat sekali disinggung mengenai proses terjadinya bangsa ini. Kiranya yang terpikirkan di sana ialah tentang para founding fathers kita dulu yang diyakini sebagai para bonae voluntatis, yaitu orang-orang yang berkehendak baik, yang karena berkehendak baik itulah, mereka mampu membangun negeri ini sebagai satu bangsa, juga atas perkenanan dan penyelenggaraan Allah juga.
Selanjutnya secara singkat juga disinggung mengenai upaya penegakan kemerdekaan. Tentu setelah merdeka, ada upaya untuk membela terus persatuan dan kebebasan. Itu semua amat penting untuk penegakan keadilan (promotio iustitiae) dan perwujudan perdamaian (pax). Kita yakin bahwa Allah membimbing kita untuk “membangun masyarakat yang sejahtera berdasarkan iman dan pengabdian kepada-Mu.”
Akhirnya, hal itu semua menjadi alasan bagi kita untuk bersukacita dan dalam sukacita itu kita turut serta dalam paduan suara merdu dan meriah para malaekat di surga yang senantiasa memuji dan memuliakan Allah dari kekal hingga kekal: Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu, Terpujilah Engkau di surga. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di surga.
Bandung, 07 Agustus 2010 (diketik kembali sambil diperluas, 21 Agustus 2010 di Pelemburan, Yogyakarta) Oleh: Fransiskus Borgias M.
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Lay Theologian, Dosen Teologi pada FF-UNPAR Bdg. PhD Student at ICRS-Yogya
Salah satu ciri khas Tata Perayaan Ekaristi berbahasa Indonesia ialah, bahwa di sana tersedia dua Prefasi untuk Tanah Air (Buku TPE, hal.104-106). Ciri khas itu tampak jika kita melihat sejenak TPE berbahasa Inggris, maupun buku ulasan teologis prefasi yang standar dan terkenal dari Cutberth Johnson itu. Karena “Prefasi Tanah Airku” ini khas Indonesia, maka perlu dicermati baik-baik, entah itu menyangkut strukturnya maupun juga menyangkut isinya. Saya mulai dengan mencermati struktur dan isi Prefasi yang pertama.
Sebagaimana biasa dalam setiap Prefasi, pasti ada dialog pembuka yang sangat lazim dan kita hafal dengan sangat baik itu. Lalu disusul dengan protokol yang lazim, yaitu ungkapan keyakinan dasar kita bahwa kita ini senantiasa memuji dan mengucap syukur kepada Allah Bapa melalui pengantaraan Tuhan kita Yesus Kristus.
Lalu dalam bagian doktrina teologis diberikan paling tidak tiga alasan mengapa kita memuji dan memuliakan Allah Bapa. Pertama, kita mengungkapkan keyakinan dasar iman kita bahwa Allah Bapa-lah yang memungkinkan kita dapat hidup dan berdiam di negeri indah permai yang bernama Indonesia ini, berdiam di bumi nusantara yang teramat kaya ini. Yang teramat menarik bagi saya ialah pelukisan tentang negeri ini yang amat indah, yang kalau dibaca dengan baik akan terasa seperti pelukisan mengenai sebuah tanah terjanji saja (sebuah konsep alkitabiah), walau mungkin dengan metafor-metafor dan kosa-kata yang berlainan (sebab di sini tidak ada ungkapan “berlimpah susu dan madu” seperti yang ada dalam kitab Yosua itu ketika pengarang mencoba melukiskan Tanah Terjanji, Kanaan): “...di tengah pulau-pulau dan lautan biru, di antara gunung-gunung dan dataran subur, di negeri yang kaya akan sumber-sumber alam.” (p.104). Sekali lagi, kita yakin bahwa berkat penyelenggaraan ilahilah, kita dapat dan boleh tinggal di negeri “melati pujaan bangsa” ini, mengutip ungkapan metaforis dari Ismail Marzuki dalam lagunya yang terkenal itu: Rayuan pulau kelapa.
Kedua, kita juga mengungkapkan pandangan dan keyakinan teologis kita bahwa proses terbentuknya negara ini pun adalah sebentuk campur-tangan dan penyelenggaraan kasih setia ilahi bahkan hampir-hampir merupakan sebuah mukjizat juga. Kita yakin bahwa Allah Bapa-lah yang membimbing bangsa ini menjadi satu bangsa yang merdeka dan bertanggung-jawab (p.104). Pembentukan satu realitas politik negara itu tentu saja mempunyai tujuan tertentu yang teramat luhur; dengan terbentuknya kita sebagai satu bangsa atau lebih tepat satu negara, maka kita dapat mengolah bumi ini dengan baik dan secara bertanggung-jawab, seperti yang dikehendaki oleh sang Pencipta itu sendiri (bdk.Kej.1:26-28). Bahkan ada dimensi dan kesadaran ekologis juga di dalam Prefasi ini, ketika dikatakan bahwa kita dipanggil menjadi satu bangsa untuk “...mengelola alam tanpa merusak lingkungan, memanfaatkan laut yang kaya.” Kita juga dipanggil untuk membangun negeri ini demi menuju masa depan yang lebih baik, “...menyiapkan hari depan yang lebih adil dan makmur, aman dan sentosa.”
Ketiga, dan ini yang khas umat Kristiani di Indonesia, yang menurut idealisme sosio-politis Soegiyopranoto, 100% Katolik dan 100% Indonesia, kita juga mengucap syukur kepada Allah Bapa yang telah menyelenggarakan hidup iman bagi kita di negeri ini. Ini juga amat penting kita sadari dan kita tekankan. Kita yakin dan percaya bahwa Allah-lah yang telah menanamkan iman dan cinta Kristiani ke dalam hati kita di bumi Indonesia ini. Kiranya di sini sejenak kita terpikir akan semua para misionaris yang telah bekerja keras dan sungguh-sungguh atas dasar landasan kasih menebarkan benih sabda kehidupan di negeri ini, sehingga di negeri ini iman Kristiani ada dan muncul dan terutama juga hidup, walaupun dalam kondisi sebagai minoritas.
Atas dasar kesadaran itu semua, kita pun terdorong untuk memuji dan memuliakan Allah bersama seluruh isi surga, dalam lagu pujian merdu para malaekat di surga: Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, surga dan bumi penuh kemuliaanmu, terpujilah Engkau di surga, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, terpujilah Engkau di surga. Dengan ini berakhirlah sudah ulasan atas Prefasi Tanah Air yang pertama.
Prefasi yang kedua menjadi sangat menarik karena dalam alasan doktrinalnya dibuat satu paralelisme antara tindakan Allah yang dahulu telah membebaskan umat pilihan (yaitu bangsa Israel) dari penindasan dan penjajahan di Mesir, untuk dapat mulai hidup sebagai orang-orang yang bebas dan merdeka di Tanah Terjanji (hal.106). Kita juga yakin dan berpandangan bahwa Allah yang memberikan cinta dan perhatian yang sama kepada bangsa kita; Allah mencurahkan kasih sayang yang besar kepada bangsa ini.
Selanjutnya dengan singkat dan padat sekali disinggung mengenai proses terjadinya bangsa ini. Kiranya yang terpikirkan di sana ialah tentang para founding fathers kita dulu yang diyakini sebagai para bonae voluntatis, yaitu orang-orang yang berkehendak baik, yang karena berkehendak baik itulah, mereka mampu membangun negeri ini sebagai satu bangsa, juga atas perkenanan dan penyelenggaraan Allah juga.
Selanjutnya secara singkat juga disinggung mengenai upaya penegakan kemerdekaan. Tentu setelah merdeka, ada upaya untuk membela terus persatuan dan kebebasan. Itu semua amat penting untuk penegakan keadilan (promotio iustitiae) dan perwujudan perdamaian (pax). Kita yakin bahwa Allah membimbing kita untuk “membangun masyarakat yang sejahtera berdasarkan iman dan pengabdian kepada-Mu.”
Akhirnya, hal itu semua menjadi alasan bagi kita untuk bersukacita dan dalam sukacita itu kita turut serta dalam paduan suara merdu dan meriah para malaekat di surga yang senantiasa memuji dan memuliakan Allah dari kekal hingga kekal: Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu, Terpujilah Engkau di surga. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di surga.
Bandung, 07 Agustus 2010 (diketik kembali sambil diperluas, 21 Agustus 2010 di Pelemburan, Yogyakarta) Oleh: Fransiskus Borgias M.
Minggu, 14 Agustus 2011
PREFASI SP MARIA DIANGKAT KE SURGA
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Lay Theologian
Tanggal 15 Agustus juga merupakan salah satu tanggal yang sangat istimewa dalam lingkaran tahun liturgis gereja Katolik, karena pada tanggal itu ada Hari Raya SP Maria Diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Pesta ini didasarkan pada sebuah ketetapan dogmatis gereja pada abad keduapuluh, sesudah perang dunia II terjadi dan mencabik-cabik Eropa khususnya dan dunia pada umumnya. Dogma itu sendiri dilandaskan pada satu keyakinan tradisional gereja yang sudah sangat tua usianya. Bahkan dalam konteks Gereja Yunani Ortodoks, keyakinan ini sudah lama menjadi keyakinan iman dogmatis yang sangat lama dihayati dengan penuh iman, kasih, dan pengharapan. Kita tidak akan bisa menemukan dasar keyakinan ini secara biblis sebab keyakinan itu muncul dalam sejarah dan tradisi gereja yang juga kita yakini diilhami dan dituntun (dibimbing) oleh Roh Kudus sendiri.
Prefasi yang kita dengar pada perayaan ekaristi hari ini juga sangat indah dan mendalam. Seperti biasa ia dimulai dengan menyapa Bapa, Allah yang mahakuasa dan kekal. Jelas itu adalah sebuah ungkapan keyakinan iman yang seperti terkandung dalam Credo kita yang kita ucapkan setiap hari Minggu dan hari raya lainnya: Credo in unum Deum, Pater omnipotentem...ect. Atas dasar keyakinan itu kita pun menyatakan atau mengungkapkan pengakuan kita akan kesadaran bahwa kita selalu dan di mana-mana memuji dan memuliakan Allah Bapa. Hal itu kita lakukan dengan pengantaraan Yesus Kristus Tuhan kita. Memang doa pujian dan permohonan kita kepada Bapa selalu bercorak Kristologis (Kristosentris).
Selanjutnya kepada kita diberikan dan diuraikan alasan bagi pujian itu. Tentu di samping pujian itu adalah kewajiban fundamental dan eksistensial dari kita sebagai manusia beriman (makhluk ciptaan), pada hari ini ada sebuah alasan khusus, yaitu karena SP Maria Bunda Allah diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Begitulah ketetapan dalam rumusan dogmanya. Peristiwa pengangkatan itu mempunyai dua tujuan penting. Pertama, pengangkatan itu dimaksudkan untuk menjadi awal atau permulaan dan pola dari Gereja dalam kesempurnaannya. Memang Maria adalah typos gereja (sebuah istilah klasik dari teologi Mariologi para Bapa Gereja) dalam hal iman dan kesempurnaan hidup yang sepenuhnya terarah kepada Allah semata-mata dengan mengikuti model iman Maria sendiri: Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu. Ecce serva Dei, fiat mihi secundum verbum tuum.
Kedua, pengangkatan itu juga menjadi satu tanda pengharapan dan penghiburan bagi umat Allah dalam perjalanan ziarah mereka menuju ke surga. Gereja, dalam dan melalui Prefasi ini, memperlihatkan dan menegaskan keyakinan imannya bahwa Allah tidak sudi kehancuran karena maut menyentuh tubuhnya (Maria), karena tubuh itu adalah tubuh yang sangat mulia, karena tubuh itu sudah mengandung dan melahirkan sang Penebus, PuteraMu, Tuhan dan Penguasa segala sesuatu yang hidup. Dan hal itu terjadi di dalam kemuliaan peristiwa inkarnasi, sabda menjelma menjadi daging, sabda menjelma menjadi manusia, verbum caro factum est, dan membangun kemahnya di antara kita. Tradisi gereja yang kudus meyakini bahwa Maria tidak mati. Itu sebabnya dalam Kitab Suci tidak ada kisah tentang peristiwa wafat Santa Perawan Maria. Juga dalam tradisi suci selanjutnya, tidak ada kisah seperti itu. Jadi, keyakinan devosional marial itu sudah sangat tua usianya; boleh jadi sudah setua teks-teks Kitab Suci Perjanjian Baru itu sendiri. Jejak keyakinan itu antara lain dapat kita lihat jejaknya secara samar-samar dalam injil-injil, terutama dalam injil Lukas.
Keyakinan itu akhirnya mampu mendatangkan sukacita hidup yang besar bagi kita yang menghayatinya sekarang dan di sini; kita pun dalam sukacita kita, memadahkan kidung pujian kita untuk memuji dan memuliakan Allah, bersama dengan paduan suara para malaekat di surga. Dan kita pun bernyanyi dengan mengikuti seruan para malaekat di surga dalam liturgi abadi mereka: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, Surga dan bumi penuh kemuliaanMu, terpujilah Engkau di surga, terberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Terpujilah Engkau di surga.” Sesudah itu, dalam lanjutan perayaan ekaristi, kita hanyut dalam sujud yang khusyuk ketika peristiwa konsekrasi. Selamat Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Bandung, 06 Agustus 2010 (pagi hari).
Diketik sambil dikembangkan dan diperluas, 06 Agustus 2010 (malam hari)
Lay Theologian
Tanggal 15 Agustus juga merupakan salah satu tanggal yang sangat istimewa dalam lingkaran tahun liturgis gereja Katolik, karena pada tanggal itu ada Hari Raya SP Maria Diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Pesta ini didasarkan pada sebuah ketetapan dogmatis gereja pada abad keduapuluh, sesudah perang dunia II terjadi dan mencabik-cabik Eropa khususnya dan dunia pada umumnya. Dogma itu sendiri dilandaskan pada satu keyakinan tradisional gereja yang sudah sangat tua usianya. Bahkan dalam konteks Gereja Yunani Ortodoks, keyakinan ini sudah lama menjadi keyakinan iman dogmatis yang sangat lama dihayati dengan penuh iman, kasih, dan pengharapan. Kita tidak akan bisa menemukan dasar keyakinan ini secara biblis sebab keyakinan itu muncul dalam sejarah dan tradisi gereja yang juga kita yakini diilhami dan dituntun (dibimbing) oleh Roh Kudus sendiri.
Prefasi yang kita dengar pada perayaan ekaristi hari ini juga sangat indah dan mendalam. Seperti biasa ia dimulai dengan menyapa Bapa, Allah yang mahakuasa dan kekal. Jelas itu adalah sebuah ungkapan keyakinan iman yang seperti terkandung dalam Credo kita yang kita ucapkan setiap hari Minggu dan hari raya lainnya: Credo in unum Deum, Pater omnipotentem...ect. Atas dasar keyakinan itu kita pun menyatakan atau mengungkapkan pengakuan kita akan kesadaran bahwa kita selalu dan di mana-mana memuji dan memuliakan Allah Bapa. Hal itu kita lakukan dengan pengantaraan Yesus Kristus Tuhan kita. Memang doa pujian dan permohonan kita kepada Bapa selalu bercorak Kristologis (Kristosentris).
Selanjutnya kepada kita diberikan dan diuraikan alasan bagi pujian itu. Tentu di samping pujian itu adalah kewajiban fundamental dan eksistensial dari kita sebagai manusia beriman (makhluk ciptaan), pada hari ini ada sebuah alasan khusus, yaitu karena SP Maria Bunda Allah diangkat ke surga dengan jiwa dan badan. Begitulah ketetapan dalam rumusan dogmanya. Peristiwa pengangkatan itu mempunyai dua tujuan penting. Pertama, pengangkatan itu dimaksudkan untuk menjadi awal atau permulaan dan pola dari Gereja dalam kesempurnaannya. Memang Maria adalah typos gereja (sebuah istilah klasik dari teologi Mariologi para Bapa Gereja) dalam hal iman dan kesempurnaan hidup yang sepenuhnya terarah kepada Allah semata-mata dengan mengikuti model iman Maria sendiri: Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu. Ecce serva Dei, fiat mihi secundum verbum tuum.
Kedua, pengangkatan itu juga menjadi satu tanda pengharapan dan penghiburan bagi umat Allah dalam perjalanan ziarah mereka menuju ke surga. Gereja, dalam dan melalui Prefasi ini, memperlihatkan dan menegaskan keyakinan imannya bahwa Allah tidak sudi kehancuran karena maut menyentuh tubuhnya (Maria), karena tubuh itu adalah tubuh yang sangat mulia, karena tubuh itu sudah mengandung dan melahirkan sang Penebus, PuteraMu, Tuhan dan Penguasa segala sesuatu yang hidup. Dan hal itu terjadi di dalam kemuliaan peristiwa inkarnasi, sabda menjelma menjadi daging, sabda menjelma menjadi manusia, verbum caro factum est, dan membangun kemahnya di antara kita. Tradisi gereja yang kudus meyakini bahwa Maria tidak mati. Itu sebabnya dalam Kitab Suci tidak ada kisah tentang peristiwa wafat Santa Perawan Maria. Juga dalam tradisi suci selanjutnya, tidak ada kisah seperti itu. Jadi, keyakinan devosional marial itu sudah sangat tua usianya; boleh jadi sudah setua teks-teks Kitab Suci Perjanjian Baru itu sendiri. Jejak keyakinan itu antara lain dapat kita lihat jejaknya secara samar-samar dalam injil-injil, terutama dalam injil Lukas.
Keyakinan itu akhirnya mampu mendatangkan sukacita hidup yang besar bagi kita yang menghayatinya sekarang dan di sini; kita pun dalam sukacita kita, memadahkan kidung pujian kita untuk memuji dan memuliakan Allah, bersama dengan paduan suara para malaekat di surga. Dan kita pun bernyanyi dengan mengikuti seruan para malaekat di surga dalam liturgi abadi mereka: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, Surga dan bumi penuh kemuliaanMu, terpujilah Engkau di surga, terberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Terpujilah Engkau di surga.” Sesudah itu, dalam lanjutan perayaan ekaristi, kita hanyut dalam sujud yang khusyuk ketika peristiwa konsekrasi. Selamat Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Bandung, 06 Agustus 2010 (pagi hari).
Diketik sambil dikembangkan dan diperluas, 06 Agustus 2010 (malam hari)
Rabu, 03 Agustus 2011
LUKISAN TANPA WAJAH
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Kemarin, tanggal 06 Juli 2011, saya secara kebetulan mengunjungi Wall Face Book dari seorang teman saya ketika sedang studi teologi di negeri Belanda beberapa tahun silam; ia adalah seorang pastor dari Filipina, teman mahasiswa dulu waktu studi teologi di Fakultas Teologi Universitas Katolik Nijmegen Belanda. Nama pastor itu Dave Capucao. Beberapa tahun silam ia sudah mampu menyelesaikan Ph.D-nya di tempat yang sama. Di dalam koleksi album foto beliaulah saya temukan sebuah gambar atau lukisan yang sangat indah dan menarik. Tetapi ini bukan untuk pertama kalinya saya melihat gambar itu. Saya sudah pernah melihatnya sebelumnya, entah sudah beberapa kali. Tetapi terus terang saja, sampai saat ini saya belum pernah melihat aslinya lukisan itu; saya hanya melihat reproduksinya saja. Kalau tidak salah lukisan itu adalah hasil buah karya dari tangan seorang pelukis Belanda yang terkenal, Rembrandt. Nah, pertanyaannya, apa daya tarik dan keunikan lukisan dari Rembrandt ini, yang mendorong saya menulis artikel ringan ini?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebelumnya saya mencoba menggambarkan apa yang dilukiskan dalam lukisan itu. Kiranya adegan yang digambarkan dalam lukisan itu adalah mengenai peristiwa unik dalam malam perjamuan akhir menurut injil Yohanes (Yoh.13:1-20). Di sana dilukiskan bahwa Tuhan Yesus memberi sebuah perintah baru (novum mandatum) kepada para murid-Nya dan hal itu mau diteladankan dengan tindakan nyata dari sang Guru sendiri, yaitu upacara pembasuhan kaki para murid yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri; ini adalah sebuah upacara standar dalam perayaan hari Kamis Putih setiap tahun dalam Gereja Katolik; juga dilakukan dalam Perayaan Ekaristi Paus (sebagaimana dapat kita lihat dalam tayangan Televisi sejak paus Yohanes Paulus II dan Paus yang sekarang ini).
Tetapi kiranya lukisan itu mau difokuskan pada adegan pembasuhan kaki Petrus saja. Sebab di sana tidak tampak para murid yang lain. Di sana hanya tampak seorang murid (kiranya itu adalah Petrus) yang tampak seperti rada enggan bahwa kakinya dibasuh oleh sang guru. Bahkan dalam injil Yohanes kita tahu bahwa ia sempat menolaknya, tetapi kemudian ia mengalah setelah sang Guru memberi sebuah argumen yang membuat dia mati langkah dan tidak dapat menolak lagi. Dalam gambar itu Tuhan Yesus berpakaian putih sedangkan Petrus berpakaian coklat rada tua. Jadi busana mereka tampak kontras satu sama lain. Ruang di sekitar mereka juga tampak gelap, tidak tampak apa-apa dan siapa-siapa selain roti dan sebuah piala di atas meja (tentu juga dua sosok yang sudah disebutkan di atas tadi). Ruang yang gelap itu semakin membantu memfokuskan perhatian dan pandangan mata kita pada gambar dua sosok yang saling berinteraksi dalam lukisan itu.
Seperti sudah dikatakan sebelumnya, Petrus tampak seperti rada enggan dengan perbuatan dari sang Guru itu, bahkan ia mau menolaknya dengan tegas: “Engkau tidak akan pernah membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” (Yoh.13:.7). Tetapi akhirnya ia mau dan menerima juga tindakan simbolis itu, setelah Yesus memberi sebuah argumen teologi kemuridan yang efektif: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh.13:8).
Ya, sebagaimana dapat kita lihat dengan mudah dalam lukisan itu, kaki Petrus sudah masuk dalam baskom pembasuhan. Kaki itu tenggelam dalam air dalam baskom pembasuhan. Itu wajar saja. Adapun hal yang jauh lebih menarik lagi dari lukisan itu ialah bahwa kepala Tuhan Yesus tertutup kain putih, sesuatu yang sangat biasa bagi gaya berpakaian kaum pria Timur Tengah pada masa itu dan juga masa sekarang. Selain itu wajah Tuhan Yesus pun juga tidak dapat terlibat, karena memang Ia membelakangi kita sebagai para penikmat lukisan. Wajah Tuhan juga tidak dapat terlihat karena Tuhan sedang membungkuk dalam rangka akan membasuh kaki, atau karena sedang menatap ke bawah, yaitu ke dalam ember pembasuhan. Dan ajaib sekali. Wajah Tuhan Yesus tampak terpantul di bawah, di dalam sana, yaitu dalam air di ember itu bersama dengan kaki Petrus yang akan dibasuh-Nya. Perhatikan baik-baik, dan ini inti pesan teologisnya, dalam pengamatan dan tafsir saya: Tangan Tuhan sama sekali belum mulai membasuh, karena tangan itu masih berada di luar baskom pembasuhan. Tetapi wajah-Nya justru sudah mulai menyatu, melebur duluan dengan kaki salah satu dari para murid-Nya, di dalam ember pembasuhan, di dalam air pembasuhan.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, si Pelukis ini (Rembrandt) sesungguhnya sedang berteologi, yaitu berteologi tentang rahasia kenosis, atau tentang penghampaan diri dari sang Firman yang menjadi manusia dan membangun kemahnya di antara kita (Yoh.1:14). Tentang kenosis itu surat Paulus kepada jemaat di Filipi 2 mengatakannya dengan sangat jelas dan kuat: “...walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,melainkan telah mengosongkan diri-Nya senddiri, dan mengambilrupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil.2:6-9). Menurut hemat saya, teologi kenosis itu dipentaskan dengan sangat baik dan dengan sangat radikal dalam lukisan Rembrandt ini: wajah Tuhan menyatu dan melebur dengan kaki sang murid di dalam ember pembasuhan.
Luar biasa. Sebuah teologi dalam gambar tentang kenosis, sebuah teologi tentang fakta historis inkarnasi, sebuah teologi tentang fakta bahwa verbum caro factum est, sabda telah menjadi manusia. Sebuah theology in colors, jika saya boleh meminjam istilah dari Rublev, seorang teolog dan pelukis ikon yang terkenal dari tradisi Ortodoks Russia. Di tempat lain kita menemukan pernyataan dari para teolog lain yang kurang lebih mengatakan bahwa perayaan liturgi kita adalah sebentuk theology in actions, teologi dalam tindakan, teologi dalam tindakan, dalam perbuatan nyata. Salah satu bentuk dari theology in actions dalam liturgi itu ialah apa yang disebut Hans Urs von Balthasar dengan sebutan kneeling theology, teologi berlutut, sebuah teologi tentang doa.
Saya berharap agar dengan ini semoga kita semakin sadar bahwa sesungguhnya ada banyak cara orang berteologi, mengungkapkan pandangan dan keyakinan teologisnya. Ada teolog yang melakukan hal itu dengan cara memakai dan mengolah kata, ada juga teologi yang melakukan hal itu dengan memakai dan mengolah nada, dan ada juga teolog yang melakukan hal itu dengan memakai dan mengolah gerak. Nah di sini kita menemukan sebuah model yang lain, yaitu suatu cara berteologi dengan memakai dan mengolah warna, berteologi dengan warna, berteologi dengan gambar. Dan menurut saya, teologi dengan warna, dengan gambar ini pun sangat efektif. Bahkan jauh lebih efektif dalam berbicara dan berkomunikasi dengan kaum beriman, jika dibandingkan dengan teknik-teknik berteologi dengan cara memakai dan mengolah kata. Tradisi gereja katolik sangat kental dan kuat menghargai hal itu; hal itu terbukti dari dinding-dinding gereja yang banyak dihiasi dengan banyak lukisan yang indah-indah yang ilham dasarnya diangkat dan digali dari berbagai sumber (kitab suci dan tradisi sakramental dan devosional) yang pada gilirannnya dapat berfungsi sebagai biblia pauperum dan biblia fidelium. (Di tempat dan kesempatan lain saya sudah menulis sedikit tentang kedua istilah yang terakhir ini).
Yogyakarta, 07 Juli 2011.
Ditulis dan diolah kembali 04 Agustus 2011.
Fransiskus Borgias M.
Kemarin, tanggal 06 Juli 2011, saya secara kebetulan mengunjungi Wall Face Book dari seorang teman saya ketika sedang studi teologi di negeri Belanda beberapa tahun silam; ia adalah seorang pastor dari Filipina, teman mahasiswa dulu waktu studi teologi di Fakultas Teologi Universitas Katolik Nijmegen Belanda. Nama pastor itu Dave Capucao. Beberapa tahun silam ia sudah mampu menyelesaikan Ph.D-nya di tempat yang sama. Di dalam koleksi album foto beliaulah saya temukan sebuah gambar atau lukisan yang sangat indah dan menarik. Tetapi ini bukan untuk pertama kalinya saya melihat gambar itu. Saya sudah pernah melihatnya sebelumnya, entah sudah beberapa kali. Tetapi terus terang saja, sampai saat ini saya belum pernah melihat aslinya lukisan itu; saya hanya melihat reproduksinya saja. Kalau tidak salah lukisan itu adalah hasil buah karya dari tangan seorang pelukis Belanda yang terkenal, Rembrandt. Nah, pertanyaannya, apa daya tarik dan keunikan lukisan dari Rembrandt ini, yang mendorong saya menulis artikel ringan ini?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebelumnya saya mencoba menggambarkan apa yang dilukiskan dalam lukisan itu. Kiranya adegan yang digambarkan dalam lukisan itu adalah mengenai peristiwa unik dalam malam perjamuan akhir menurut injil Yohanes (Yoh.13:1-20). Di sana dilukiskan bahwa Tuhan Yesus memberi sebuah perintah baru (novum mandatum) kepada para murid-Nya dan hal itu mau diteladankan dengan tindakan nyata dari sang Guru sendiri, yaitu upacara pembasuhan kaki para murid yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri; ini adalah sebuah upacara standar dalam perayaan hari Kamis Putih setiap tahun dalam Gereja Katolik; juga dilakukan dalam Perayaan Ekaristi Paus (sebagaimana dapat kita lihat dalam tayangan Televisi sejak paus Yohanes Paulus II dan Paus yang sekarang ini).
Tetapi kiranya lukisan itu mau difokuskan pada adegan pembasuhan kaki Petrus saja. Sebab di sana tidak tampak para murid yang lain. Di sana hanya tampak seorang murid (kiranya itu adalah Petrus) yang tampak seperti rada enggan bahwa kakinya dibasuh oleh sang guru. Bahkan dalam injil Yohanes kita tahu bahwa ia sempat menolaknya, tetapi kemudian ia mengalah setelah sang Guru memberi sebuah argumen yang membuat dia mati langkah dan tidak dapat menolak lagi. Dalam gambar itu Tuhan Yesus berpakaian putih sedangkan Petrus berpakaian coklat rada tua. Jadi busana mereka tampak kontras satu sama lain. Ruang di sekitar mereka juga tampak gelap, tidak tampak apa-apa dan siapa-siapa selain roti dan sebuah piala di atas meja (tentu juga dua sosok yang sudah disebutkan di atas tadi). Ruang yang gelap itu semakin membantu memfokuskan perhatian dan pandangan mata kita pada gambar dua sosok yang saling berinteraksi dalam lukisan itu.
Seperti sudah dikatakan sebelumnya, Petrus tampak seperti rada enggan dengan perbuatan dari sang Guru itu, bahkan ia mau menolaknya dengan tegas: “Engkau tidak akan pernah membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” (Yoh.13:.7). Tetapi akhirnya ia mau dan menerima juga tindakan simbolis itu, setelah Yesus memberi sebuah argumen teologi kemuridan yang efektif: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh.13:8).
Ya, sebagaimana dapat kita lihat dengan mudah dalam lukisan itu, kaki Petrus sudah masuk dalam baskom pembasuhan. Kaki itu tenggelam dalam air dalam baskom pembasuhan. Itu wajar saja. Adapun hal yang jauh lebih menarik lagi dari lukisan itu ialah bahwa kepala Tuhan Yesus tertutup kain putih, sesuatu yang sangat biasa bagi gaya berpakaian kaum pria Timur Tengah pada masa itu dan juga masa sekarang. Selain itu wajah Tuhan Yesus pun juga tidak dapat terlibat, karena memang Ia membelakangi kita sebagai para penikmat lukisan. Wajah Tuhan juga tidak dapat terlihat karena Tuhan sedang membungkuk dalam rangka akan membasuh kaki, atau karena sedang menatap ke bawah, yaitu ke dalam ember pembasuhan. Dan ajaib sekali. Wajah Tuhan Yesus tampak terpantul di bawah, di dalam sana, yaitu dalam air di ember itu bersama dengan kaki Petrus yang akan dibasuh-Nya. Perhatikan baik-baik, dan ini inti pesan teologisnya, dalam pengamatan dan tafsir saya: Tangan Tuhan sama sekali belum mulai membasuh, karena tangan itu masih berada di luar baskom pembasuhan. Tetapi wajah-Nya justru sudah mulai menyatu, melebur duluan dengan kaki salah satu dari para murid-Nya, di dalam ember pembasuhan, di dalam air pembasuhan.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, si Pelukis ini (Rembrandt) sesungguhnya sedang berteologi, yaitu berteologi tentang rahasia kenosis, atau tentang penghampaan diri dari sang Firman yang menjadi manusia dan membangun kemahnya di antara kita (Yoh.1:14). Tentang kenosis itu surat Paulus kepada jemaat di Filipi 2 mengatakannya dengan sangat jelas dan kuat: “...walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,melainkan telah mengosongkan diri-Nya senddiri, dan mengambilrupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil.2:6-9). Menurut hemat saya, teologi kenosis itu dipentaskan dengan sangat baik dan dengan sangat radikal dalam lukisan Rembrandt ini: wajah Tuhan menyatu dan melebur dengan kaki sang murid di dalam ember pembasuhan.
Luar biasa. Sebuah teologi dalam gambar tentang kenosis, sebuah teologi tentang fakta historis inkarnasi, sebuah teologi tentang fakta bahwa verbum caro factum est, sabda telah menjadi manusia. Sebuah theology in colors, jika saya boleh meminjam istilah dari Rublev, seorang teolog dan pelukis ikon yang terkenal dari tradisi Ortodoks Russia. Di tempat lain kita menemukan pernyataan dari para teolog lain yang kurang lebih mengatakan bahwa perayaan liturgi kita adalah sebentuk theology in actions, teologi dalam tindakan, teologi dalam tindakan, dalam perbuatan nyata. Salah satu bentuk dari theology in actions dalam liturgi itu ialah apa yang disebut Hans Urs von Balthasar dengan sebutan kneeling theology, teologi berlutut, sebuah teologi tentang doa.
Saya berharap agar dengan ini semoga kita semakin sadar bahwa sesungguhnya ada banyak cara orang berteologi, mengungkapkan pandangan dan keyakinan teologisnya. Ada teolog yang melakukan hal itu dengan cara memakai dan mengolah kata, ada juga teologi yang melakukan hal itu dengan memakai dan mengolah nada, dan ada juga teolog yang melakukan hal itu dengan memakai dan mengolah gerak. Nah di sini kita menemukan sebuah model yang lain, yaitu suatu cara berteologi dengan memakai dan mengolah warna, berteologi dengan warna, berteologi dengan gambar. Dan menurut saya, teologi dengan warna, dengan gambar ini pun sangat efektif. Bahkan jauh lebih efektif dalam berbicara dan berkomunikasi dengan kaum beriman, jika dibandingkan dengan teknik-teknik berteologi dengan cara memakai dan mengolah kata. Tradisi gereja katolik sangat kental dan kuat menghargai hal itu; hal itu terbukti dari dinding-dinding gereja yang banyak dihiasi dengan banyak lukisan yang indah-indah yang ilham dasarnya diangkat dan digali dari berbagai sumber (kitab suci dan tradisi sakramental dan devosional) yang pada gilirannnya dapat berfungsi sebagai biblia pauperum dan biblia fidelium. (Di tempat dan kesempatan lain saya sudah menulis sedikit tentang kedua istilah yang terakhir ini).
Yogyakarta, 07 Juli 2011.
Ditulis dan diolah kembali 04 Agustus 2011.
Fransiskus Borgias M.
Minggu, 24 Juli 2011
SANTO YOAKIM DAN SANTA ANNA
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Besok, tanggal 26 Juli (selalu berulang setiap tahun), penanggalan liturgi kita mempunyai satu peringatan wajib (memoria obligatoria) untuk dua orang kudus yaitu Santo Yoakim dan Santa Anna. Siapa mereka itu? Penanggalan liturgi secara singkat memberi jawaban sbb: mereka adalah orangtua SP Maria. Pertanyaan berikut yang perlu dijawab ialah: apa arti penting peringatan wajib ini bagi kita, khususnya bagi teologi biblis kita? Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu saya mau mengajukan satu pertanyaan lain yang kiranya masih jauh lebih mendasar lagi: dari mana kita mengenal dan mengetahui nama kedua orangtua SP Maria ini? Bahwa SP Maria mempunyai orangtua, itu kiranya jelas dengan sendirinya. Kita tidak usah mempersoalkannya. SP Maria tidak menyembul tiba-tiba begitu saja di muka bumi ini di atas panggung sejarah; pasti melewati proses alami manusia biasa yaitu melalui kedua orangtuanya. Tetapi siapa nama mereka itu soal lain. Kita tidak secara otomatis bisa mengenal dan mengetahui nama orangtuanya.
Yang jelas kita tidak mengenal nama kedua orangtua itu dari keempat injil kanonk. Sia-sia jika kita mencari informasi historis mengenai mereka di sana. Bahkan di sana pun tidak disebut sedikitpun tentang orangtua SP.Maria. Apalagi sampai menyebut nama. Kalau begitu, dari mana kita mengenal nama kedua orangtua itu? Mungkin jawaban atas pertanyaan ini akan mengejutkan beberapa pihak, tetapi saya akan mengemukakan jawaban itu di sini. Inilah jawabannya. Tradisi gereja (khususnya tradisi Liturgi) mengangkat kedua nama itu justru dari injil extra kanonik, bukan dari injil kanonik. Tepatnya tradisi gereja mengangkat kedua nama itu dari Injil Yakobus, the Gospel of James. Dari sanalah kita mengenal kedua nama ini yang diperingati setiap tahun pada 26 Juli.
Di mana kita dapat menemukan Injil ini? Kita tidak dapat menemukannya dalam injil kanonik yang diterbitkan berkat kerjasama LAI-LBI. Dalam koleksi perpustakaan pribadi saya di Bandung saya mempunyai buku tebal yang berjudul sangat menarik: The Other Bible. Di sanalah, dalam kumpulan itu kita dapat menemukan kitab tadi. Jika Bible yang kita pakai setiap hari adalah The Bible, maka kumpulan teks yang tidak lolos masuk ke dalam Bible itu disebut The Other Bible. Itu adalah kumpulan teks-teks injil (cukup banyak jumlahnya) yang tidak lolos masuk seleksi kanon.
Mungkin kita bertanya lagi lebih lanjut: teks-teks itu tidak lolos masuk seleksi kanon, tetapi malah diangkat ke dalam perayaan liturgi? Ini pertanyaan historis-teologis yang tidak mudah dijawab. Menurut saya, itulah keunikan liturgi. Itulah yang saya sebut dimensi keluasan dan keluwesan liturgi, yang mampu dan sudi menampung apa saja yang baik di luar kanon, walau secara keseluruhan teks itu tidak lolos masuk kanon. Bagi saya ini adalah pertanda mengenai betapa elastisnya ruang liturigs itu untuk dapat menampung apa saja yang tidak lolos kriteria dogmatik untuk masuk kanon. Contoh kasus keluwesan dan elastisitas liturgis ini ada banyak, selain contoh yang sudah disebutkan di atas.
Salah satu contoh lain yang secara spontan saya ingat ialah devosi 14 stasi jalan salib dalam liturgi masa Prapaskah. Dari keempat belas stasi itu ada beberapa stasi yang jelas tidak ada dalam kisah injil kanonik, tetapi justru berkembang dalam tradisi lalu diadopsi oleh liturgi. Misalnya: Stasi keenam di mana dilukiskan bahwa Veronika mengusap wajah Yesus. Atau stasi ketiga, ketujuh, dan kesembilan (masing-masing adalah Yesus jatuh pertama kali, kedua kali, dan ketiga kali) juga tidak ada dalam Kitab kanonik. Tetapi sangat wajar bahwa hal-hal ini muncul secara otomatis dan alami dalam imajinasi religius umat beriman yang kemudian dalam perkembangan sejarahnya mendapat tempat dalam ruang perayaan liturgis. Ajaibnya juga, hal itu pada gilirannya bisa menghidupkan liturgi itu dengan cara memperkayanya dari dalam.
Bagi saya ini adalah sebuah penegasan historis-teologis bahwa betapa tradisi itu amat penting dalam teologi katolik, selain dari kedua tonggak lain yaitu kitab suci dan magisterium. Itu adalah suatu hal penting dalam teologi dasar (fundamental theology). Hal itu sangat berbeda dengan prinsip tiga Sola dalam Protestantisme, yang sebenarnya tidak ada dalam Kitab Suci, melainkan lahir dari tradisi, tetapi tradisi itu justru malah dinisbikan dalam dan oleh Protestantisme.
Sebagai akhir kata saya mau mengucapkan selamat memperingati kedua orangtua SP Maria, Santo Yoakim dan Santa Anna. Terima kasih kepada tradisi yang luas dan luwes yang dalam keluasannya menjadi kolam abadi bagi kita yang dapat menghidupkan imajinasi religius kita yang pada gilirannya memperkaya dan memperdalam penghayatan hidup iman kita.
Yogyakarta, Lempong Lor, 25 Juli 2011.
Besok, tanggal 26 Juli (selalu berulang setiap tahun), penanggalan liturgi kita mempunyai satu peringatan wajib (memoria obligatoria) untuk dua orang kudus yaitu Santo Yoakim dan Santa Anna. Siapa mereka itu? Penanggalan liturgi secara singkat memberi jawaban sbb: mereka adalah orangtua SP Maria. Pertanyaan berikut yang perlu dijawab ialah: apa arti penting peringatan wajib ini bagi kita, khususnya bagi teologi biblis kita? Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu saya mau mengajukan satu pertanyaan lain yang kiranya masih jauh lebih mendasar lagi: dari mana kita mengenal dan mengetahui nama kedua orangtua SP Maria ini? Bahwa SP Maria mempunyai orangtua, itu kiranya jelas dengan sendirinya. Kita tidak usah mempersoalkannya. SP Maria tidak menyembul tiba-tiba begitu saja di muka bumi ini di atas panggung sejarah; pasti melewati proses alami manusia biasa yaitu melalui kedua orangtuanya. Tetapi siapa nama mereka itu soal lain. Kita tidak secara otomatis bisa mengenal dan mengetahui nama orangtuanya.
Yang jelas kita tidak mengenal nama kedua orangtua itu dari keempat injil kanonk. Sia-sia jika kita mencari informasi historis mengenai mereka di sana. Bahkan di sana pun tidak disebut sedikitpun tentang orangtua SP.Maria. Apalagi sampai menyebut nama. Kalau begitu, dari mana kita mengenal nama kedua orangtua itu? Mungkin jawaban atas pertanyaan ini akan mengejutkan beberapa pihak, tetapi saya akan mengemukakan jawaban itu di sini. Inilah jawabannya. Tradisi gereja (khususnya tradisi Liturgi) mengangkat kedua nama itu justru dari injil extra kanonik, bukan dari injil kanonik. Tepatnya tradisi gereja mengangkat kedua nama itu dari Injil Yakobus, the Gospel of James. Dari sanalah kita mengenal kedua nama ini yang diperingati setiap tahun pada 26 Juli.
Di mana kita dapat menemukan Injil ini? Kita tidak dapat menemukannya dalam injil kanonik yang diterbitkan berkat kerjasama LAI-LBI. Dalam koleksi perpustakaan pribadi saya di Bandung saya mempunyai buku tebal yang berjudul sangat menarik: The Other Bible. Di sanalah, dalam kumpulan itu kita dapat menemukan kitab tadi. Jika Bible yang kita pakai setiap hari adalah The Bible, maka kumpulan teks yang tidak lolos masuk ke dalam Bible itu disebut The Other Bible. Itu adalah kumpulan teks-teks injil (cukup banyak jumlahnya) yang tidak lolos masuk seleksi kanon.
Mungkin kita bertanya lagi lebih lanjut: teks-teks itu tidak lolos masuk seleksi kanon, tetapi malah diangkat ke dalam perayaan liturgi? Ini pertanyaan historis-teologis yang tidak mudah dijawab. Menurut saya, itulah keunikan liturgi. Itulah yang saya sebut dimensi keluasan dan keluwesan liturgi, yang mampu dan sudi menampung apa saja yang baik di luar kanon, walau secara keseluruhan teks itu tidak lolos masuk kanon. Bagi saya ini adalah pertanda mengenai betapa elastisnya ruang liturigs itu untuk dapat menampung apa saja yang tidak lolos kriteria dogmatik untuk masuk kanon. Contoh kasus keluwesan dan elastisitas liturgis ini ada banyak, selain contoh yang sudah disebutkan di atas.
Salah satu contoh lain yang secara spontan saya ingat ialah devosi 14 stasi jalan salib dalam liturgi masa Prapaskah. Dari keempat belas stasi itu ada beberapa stasi yang jelas tidak ada dalam kisah injil kanonik, tetapi justru berkembang dalam tradisi lalu diadopsi oleh liturgi. Misalnya: Stasi keenam di mana dilukiskan bahwa Veronika mengusap wajah Yesus. Atau stasi ketiga, ketujuh, dan kesembilan (masing-masing adalah Yesus jatuh pertama kali, kedua kali, dan ketiga kali) juga tidak ada dalam Kitab kanonik. Tetapi sangat wajar bahwa hal-hal ini muncul secara otomatis dan alami dalam imajinasi religius umat beriman yang kemudian dalam perkembangan sejarahnya mendapat tempat dalam ruang perayaan liturgis. Ajaibnya juga, hal itu pada gilirannya bisa menghidupkan liturgi itu dengan cara memperkayanya dari dalam.
Bagi saya ini adalah sebuah penegasan historis-teologis bahwa betapa tradisi itu amat penting dalam teologi katolik, selain dari kedua tonggak lain yaitu kitab suci dan magisterium. Itu adalah suatu hal penting dalam teologi dasar (fundamental theology). Hal itu sangat berbeda dengan prinsip tiga Sola dalam Protestantisme, yang sebenarnya tidak ada dalam Kitab Suci, melainkan lahir dari tradisi, tetapi tradisi itu justru malah dinisbikan dalam dan oleh Protestantisme.
Sebagai akhir kata saya mau mengucapkan selamat memperingati kedua orangtua SP Maria, Santo Yoakim dan Santa Anna. Terima kasih kepada tradisi yang luas dan luwes yang dalam keluasannya menjadi kolam abadi bagi kita yang dapat menghidupkan imajinasi religius kita yang pada gilirannya memperkaya dan memperdalam penghayatan hidup iman kita.
Yogyakarta, Lempong Lor, 25 Juli 2011.
Senin, 18 Juli 2011
PETRUS MENANGIS
Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dalam Perayaan Ekaristi Minggu Palma pagi kemarin, 17 April 2011, saya entah untuk ke berapa kalinya mendengar kisah sengsara menurut Mateus (tahun A). Tahun ini saya merayakan Ekaristi MingguPalma jauh dari keluargaku (isteri dan kedua anakku) di Bandung. Ini untuk ketiga kalinya saya merayakan Minggu Palma jauh dari keluargaku. Pertama dan kedua tahun 2001 dan 2002 ketika saya belajar teologi di Nijmegen negeri Belanda. Tahun ini saya mengikuti perayaan Ekaristi di Paroki Banteng, di Jalan Kaliurang (tetapi saya lupa kilo meternya),Yogyakarta. Ini adalah sebuah paroki yang dikelola oleh para pastor dari kongregasi MSF (Keluarga Kudus).
Ketika mendengarkan Passio Mateus kali ini saya sangat tertarik pada adegan Petrus menangis setelah ia menyangkal Tuhan Yesus sebanyak tiga kali. Hal itu terjadi setelah ia ditanyai oleh beberapa pihak yang menduga mengenalnya dekat dengan Yesus dari Nazaret. Seperti sudah diramalkan sebelumnya, setelah ia menyangkal Tuhan sebanyak tiga kali, lalu ayam pun berkokok. Ketika ia mendengar kokok ayam tersebut rontoklah sudah pertahanan diri (self-defence mechanism) Petrus. Dikatakan dalam injil itu bahwa Petrus menangis tersedu-sedu. Kiranya kita dapat membayangkan hal tersebut.
Adegan itu dapat kita baca juga dalam injil Markus dan Lukas (masing-masing Tahun B dan C dalam bentangan tahun liturgi kita). Itulah ketiga injil sinoptik. Nanti pada Hari Jum’at Agung kita akan membaca (dan itu selalu berulang setiap tahun) kisah sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus menurut Yohanes.
Jika kita membandingkan ketiga injil sinoptik ini dengan injil Yohanes, maka kita akan segera menemukan sesuatu hal yang sangat menarik perhatian kita. Yang menarik ialah bahwa dalam Yohanes ada juga kisah penyangkalan oleh Petrus itu, yang mengaku sama sekali tidak mengenal Yesus. Sama-sama juga ketika selesai peristiwa penyangkalan itu terjadi juga ayam berkokok. Tetapi dalam injil Yohanes, dan inilah yang menjadi sesuatu yang sangat khas dalam injil Yohanes, Petrus tidak menangis. Muncul kesan dalam diri kita sebagai pembaca bahwa bagi Yohanes, perkara penyangkalan itu adalah sebuah perkara yang enteng saja, sebuah perkara yang sepele,yang tidak perlu disesali apalagi sampai ditangisi dengan tersedu-sedu.
Tetapi tunggu dulu. Ternyata dalam injil Yohanes ada juga adegan Petrus menangis. Tetapi alasan dan momennya yang sangat berbeda. Dalam alur kisah sengsara injil Yohanes, nanti Petrus menangis justru setelah peristiwa kebangkitan. Ini juga paradoksal yang sangat menarik dalam injil Yohanes. Petrus menangis setelah peristiwa kebangkitan yaitu dalam dialog penugasan Petrus sebagai seorang gembala yang rupanya secara mutlak menuntut mutu hidup dalam kasih yang jelas dan kuat.
Ada macam-macam alasan bagi manusia untuk menangis dalam hidup ini. Tetapi dalam injil kita menemukan paling tidak dua alasan. Dalam injil-injil sinoptik alasan Petrus menangis ialah karena ia telah berdosa yaitu berani menyangkal Yesus di depan publik. Dalam Yohanes asalan Petrus menangis ialah karena ia ditanyai Yesus sampai tiga kali tentang mutu cintanya terhadap Yesus sendiri. Menurut hemat saya, mutu tangis Petrus dalam injil Yohanes terasa jauh lebih tinggi, dan mendalam. Bagi Yohanes gaya dan alur penuturan kisah ini adalah mutlak perlu. Karena dengan ini ia memulihkan peristiwa kejatuhan Petrus yang terjadi di depan, sesuatu yang tidak ada dalam injil-injil Sinoptik. Bagi Yohanes pemulihan ini perlu sebab Petrus nanti bakal dijadikan seorang gembala bagi kawanan Tuhan Yesus sendiri.
Tetapi tradisi tahun liturgi gereja Katolik mengajak kita untuk melihat kisah ini secara komplementer, sebagai sesuatu yang saling mengisi dan melengkapi. Tradisi tahun liturgi Katolik mengajak kita untuk membaca teks itu sebagai satu keseluruhan. Dan jika dibaca secara keseluruhan, maka Lukas dapat berperan besar juga di sini. Sebab sebelum peristiwa sengsara, Yesus sudah berdoa secara khusus bagi Petrus (Luk.22:32). Intensinya jelas juga dilukiskan di sana: agar imanmu tidak gugur. Agar nanti setelah kau insaf engkau menjadi daya kekuatan bagi yang lain-lain. Peran itulah yang sekarang ini, dalam adegan pemulihan Petrus di tepi danau, yang kini dipentaskan dengan exsplisit dalam injil Yohanes.
(Disarikan dari naskah buku saya yang akan terbit).
Dalam Perayaan Ekaristi Minggu Palma pagi kemarin, 17 April 2011, saya entah untuk ke berapa kalinya mendengar kisah sengsara menurut Mateus (tahun A). Tahun ini saya merayakan Ekaristi MingguPalma jauh dari keluargaku (isteri dan kedua anakku) di Bandung. Ini untuk ketiga kalinya saya merayakan Minggu Palma jauh dari keluargaku. Pertama dan kedua tahun 2001 dan 2002 ketika saya belajar teologi di Nijmegen negeri Belanda. Tahun ini saya mengikuti perayaan Ekaristi di Paroki Banteng, di Jalan Kaliurang (tetapi saya lupa kilo meternya),Yogyakarta. Ini adalah sebuah paroki yang dikelola oleh para pastor dari kongregasi MSF (Keluarga Kudus).
Ketika mendengarkan Passio Mateus kali ini saya sangat tertarik pada adegan Petrus menangis setelah ia menyangkal Tuhan Yesus sebanyak tiga kali. Hal itu terjadi setelah ia ditanyai oleh beberapa pihak yang menduga mengenalnya dekat dengan Yesus dari Nazaret. Seperti sudah diramalkan sebelumnya, setelah ia menyangkal Tuhan sebanyak tiga kali, lalu ayam pun berkokok. Ketika ia mendengar kokok ayam tersebut rontoklah sudah pertahanan diri (self-defence mechanism) Petrus. Dikatakan dalam injil itu bahwa Petrus menangis tersedu-sedu. Kiranya kita dapat membayangkan hal tersebut.
Adegan itu dapat kita baca juga dalam injil Markus dan Lukas (masing-masing Tahun B dan C dalam bentangan tahun liturgi kita). Itulah ketiga injil sinoptik. Nanti pada Hari Jum’at Agung kita akan membaca (dan itu selalu berulang setiap tahun) kisah sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus menurut Yohanes.
Jika kita membandingkan ketiga injil sinoptik ini dengan injil Yohanes, maka kita akan segera menemukan sesuatu hal yang sangat menarik perhatian kita. Yang menarik ialah bahwa dalam Yohanes ada juga kisah penyangkalan oleh Petrus itu, yang mengaku sama sekali tidak mengenal Yesus. Sama-sama juga ketika selesai peristiwa penyangkalan itu terjadi juga ayam berkokok. Tetapi dalam injil Yohanes, dan inilah yang menjadi sesuatu yang sangat khas dalam injil Yohanes, Petrus tidak menangis. Muncul kesan dalam diri kita sebagai pembaca bahwa bagi Yohanes, perkara penyangkalan itu adalah sebuah perkara yang enteng saja, sebuah perkara yang sepele,yang tidak perlu disesali apalagi sampai ditangisi dengan tersedu-sedu.
Tetapi tunggu dulu. Ternyata dalam injil Yohanes ada juga adegan Petrus menangis. Tetapi alasan dan momennya yang sangat berbeda. Dalam alur kisah sengsara injil Yohanes, nanti Petrus menangis justru setelah peristiwa kebangkitan. Ini juga paradoksal yang sangat menarik dalam injil Yohanes. Petrus menangis setelah peristiwa kebangkitan yaitu dalam dialog penugasan Petrus sebagai seorang gembala yang rupanya secara mutlak menuntut mutu hidup dalam kasih yang jelas dan kuat.
Ada macam-macam alasan bagi manusia untuk menangis dalam hidup ini. Tetapi dalam injil kita menemukan paling tidak dua alasan. Dalam injil-injil sinoptik alasan Petrus menangis ialah karena ia telah berdosa yaitu berani menyangkal Yesus di depan publik. Dalam Yohanes asalan Petrus menangis ialah karena ia ditanyai Yesus sampai tiga kali tentang mutu cintanya terhadap Yesus sendiri. Menurut hemat saya, mutu tangis Petrus dalam injil Yohanes terasa jauh lebih tinggi, dan mendalam. Bagi Yohanes gaya dan alur penuturan kisah ini adalah mutlak perlu. Karena dengan ini ia memulihkan peristiwa kejatuhan Petrus yang terjadi di depan, sesuatu yang tidak ada dalam injil-injil Sinoptik. Bagi Yohanes pemulihan ini perlu sebab Petrus nanti bakal dijadikan seorang gembala bagi kawanan Tuhan Yesus sendiri.
Tetapi tradisi tahun liturgi gereja Katolik mengajak kita untuk melihat kisah ini secara komplementer, sebagai sesuatu yang saling mengisi dan melengkapi. Tradisi tahun liturgi Katolik mengajak kita untuk membaca teks itu sebagai satu keseluruhan. Dan jika dibaca secara keseluruhan, maka Lukas dapat berperan besar juga di sini. Sebab sebelum peristiwa sengsara, Yesus sudah berdoa secara khusus bagi Petrus (Luk.22:32). Intensinya jelas juga dilukiskan di sana: agar imanmu tidak gugur. Agar nanti setelah kau insaf engkau menjadi daya kekuatan bagi yang lain-lain. Peran itulah yang sekarang ini, dalam adegan pemulihan Petrus di tepi danau, yang kini dipentaskan dengan exsplisit dalam injil Yohanes.
(Disarikan dari naskah buku saya yang akan terbit).
Langganan:
Postingan (Atom)