Selasa, 18 Agustus 2009

SENIN, 17 AGUSTUS 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Sir.10:1-8; Mzm.101:1a.2ac.3a.6-7; 1Ptr.2:13-17; Mat.22:15-21.



Hari ini Hari Raya kemerdekaan Republik Indonesia. Mari kita ikut merayakannya. Hari ini juga ada beberapa serikat hidup bakti yang mempunyai pesta atau peringatan khusus pada hari ini. Mari kita juga ikut bergembira bersama mereka. Injil hari ini, berbicara tentang hal membayar pajak kepada kaisar. Yesus dijebak oleh para lawannya dengan mengajukan pertanyaan berbau politis: boleh atau tidak membayar pajak kepada kaisar. Ini menjebak karena, kalau dijawab tidak boleh, mereka akan melaporkan Yesus sebagai pembangkang Roma karena tidak mau bayar pajak. Kalau dijawab boleh, mereka akan menganggap Yesus sebagai kaki tangan Roma, setingkat dengan pemungut cukai. Di hadapan jebakan politik terselubung itu, Yesus meminta coin-pajak itu. Setelah melihat gambar dan tulisan yang ada di sana, Yesus menjawab: berilah kepada Kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah yang menjadi hak Allah. Sebuah jawaban cerdas dan taktis. Ada satu pelajaran dari sini: sebagai pengikut Yesus kita juga harus mempunyai kecerdasan dan kepekaan politik seperti itu. Ada juga hal lain yang perlu direnungkan hari ini. Pertama, injil ini dibacakan pada hari Kemerdekaan Indonesia. Ini adalah pesan bahwa orang Katolik tidak boleh bersikap diam atau sekadar netral dari dan di ranah politik. Mereka harus mau dan bisa mengambil sikap dan pilihan politis. Kedua, perlu juga memikirkan tentang kemerdekaan dan pembebasan itu. Tidak ada kemerdekaan dan pembebasan tanpa perjuangan. Kemederkaan hanya dapat tercapai melalui perjuangan tekun, gigih dan berkelanjutan. Itulah paradoks kemerdekaan. Ia hanya dapat dicapai lewat kerja keras, lewat latihan, lewat praksis askese. Analogi terbaik untuk mengerti paradoks kemerdekaan ini ialah: seorang pemain piano. Ia harus berlatih keras melatih jemarinya agar setelah berlatih keras, ia dapat memainkan jemarinya di atas tuts dengan penuh kebebasan. Jemari yang lincah dapat dengan optimal mengungkapkan perasaannya. Itu tidak akan mungkin terjadi kalau jemarinya tidak terlatih. Hari ini, kita perlu menyadari dan mengerti paradoks kemerdekaan itu. Itu sebuah keharusan sebagai manusia Kristiani yang dewasa dan bertanggung-jawab.

Tidak ada komentar: