Senin, 10 Mei 2010

KAMIS, 14 JANUARI 2010

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
DOSEN TEOLOGI DAN PENELITI CCRS (Center for Cultural and Religious Studies)
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG
BcE. 1Sam.4:1-11; Mzm.44:10-11,14-15,24-25; Mrk.1:40-45.



Injil hari ini bercerita tentang penyembuhan orang kusta. Ini penyembuhan kedua. Dalam yang pertama, Yesus menyembuhkan orang dalam rumah ibadat Kapernaum. Di sini Yesus menyembuhkan orang yang disingkirkan dari Sinagoga karena sakitnya. Kusta dianggap kutuk, sehingga dikucilkan, dianggap sampah. Mereka harus hidup di luar masyarakat, di gua, di semak. Di sini Markus bermain dengan ide ketahiran dan rumah ibadat. Markus melukiskan hubungan Yesus dengan sinagoga yang cukup rumit. Di satu pihak, dengan menyentuh orang kusta Ia melanggar larangan agama agar tidak menyentuh orang najis. Di pihak lain, Ia mengutus kembali orang yang tahir itu kepada para imam (di rumah ibadat) untuk menjalani ritual pemulihan. Saat itu, imam yang berkuasa memutuskan apakah seseorang bebas kusta atau tidak. Tugas itu melekat dalam jabatan mereka sebagai imam, entah berkompeten atau tidak. Yesus melarang orang itu agar tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. Tetapi teks menyarankan bahwa tubuh yang tahir itu menjadi bukti dan saksi, baik secara sosial-komunal maupun teologis-ritual. Orang itu menjadi saksi yang menyampaikan kabar tentang perbuatan ajaib Yesus. Yesus tidak hanya memulihkan orang itu secara jasmani. Yesus juga memulihkan orang itu ke dalam komunitasnya dan ia menjadi saksi dan pewarta. Ini yang penting. Markus memperlihatkan bahwa orang ini berubah: dari orang yang sendirian dan terasing, menjadi orang yang diterima dalam komunitas. Di sana ia menjadi pewarta daya penyembuhan Allah. Kita mudah mengucilkan orang dari komunitas. Yesus mengajar kita keberanian moral untuk memulihkan martabat orang. Yesus memberi teladan. Tinggal kita mau melaksanakannya atau tidak.

Tidak ada komentar: