Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE. Keb.7:7-11; Mzm.90:12-13.14-15.16-17; Ibr.4:12-13; Mrk.10:17-30.
Injil hari ini mengisahkan dua hal. Pertama, mengenai orang kaya yang sukar masuk Kerajaan Allah. Kedua, mengenai upah mengikut Yesus. Pertama, kekayaan tidak bersifat negatif dalam teologi Kristiani. Itu rahmat Allah. Dengan kekayaan orang bisa berbuat banyak. Yang jadi soal ialah, kekayaan itu memisahkan orang dari sesama dan Tuhan. Kekayaan tidak dapat menggantikan relasi langsung dengan sesama dan Tuhan. Tidak jarang terjadi bahwa karena kekayaan, orang menjauhi Tuhan. Orang yang hari ini datang kepada Yesus, bukan orang jahat. Ia baik, taat melaksanakan Taurat. Tetapi menurut Yesus masih ada yang harus dilakukan, yaitu menjual harta dan memberikannya kepada orang miskin. Ini sulit diterima oleh orang tadi. Kekayaan adalah anugerah Tuhan. Kalau dibuang, itu berarti tidak menghargai karunia Allah. Maka ia pun pergi. Kedua, mengenai upah mengikut Yesus. Ini ditanyakan para murid: apa upah kami setelah mengikut Engkau? Jawaban Yesus menarik: upahnya ialah bahwa kita akan mendapat seratus kali lipat dari yang kita korbankan. Agak sulit memberi ilustrasi untuk hal ini. Tetapi kiranya demikian: jika kita rela mengorbankan diri demi Yesus, kita akan mendapat fedback yang tidak terduga. Mungkin dalam bentuk banyak teman, ketika kita sakit banyak yang mengunjungi dan mendoakan kita, kita tidak kesepian. Bayangkan kalau kita hidup tertutup, maka hanya kita yang mengasihani diri kita. Kita hidup dalam sepi yang tidak tertanggungkan. Seperti katak di bawah tempurung. Hidup dalam Firman Tuhan membuka semua dinding yang membatasi relasi, karena firman itu kuat dan penuh kuasa (Bac.II). Bac.I mengilustrasikan orang hikmat yang tidak mengutamakan kekayaan dan intan, melainkan hikmat Allah, yang membahagiakan. Mana prioritas kita? Anda yang tahu.
Rabu, 12 Agustus 2009
MINGGU, 04 OKTOBER 2009
Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE. Kej.2:18-24; Mzm.128:1-2.3.4-5.6; Ibr.2:9-11; Mrk.10:2-16.
Injil hari ini menarik perhatian. Walau ada usul Kalender liturgi untuk membacakan versi singkatnya, tetapi saya mau mengulasnya utuh. Menarik bahwa Injil mengisahkan dua hal penting. Pertama, mengenai perceraian, atau larangan Yesus atas perceraian. Kedua, ini menarik, Yesus melakukan tindakan amat penting dalam hidup-Nya, memberkati anak-anak. Apa hubungan kedua hal ini? Perkawinan adalah sesuatu yang dikehendaki dan direncanakan Tuhan sejak semula. Hukum Musa memberi kelonggaran bercerai, hanya karena nafsu dan ketegaran hati manusia (dalam Yunani, disebut eksplisit pria). Persekutuan pria-wanita dalam perkawinan direncanakan secara primordial oleh Allah. Anak-anak adalah buah dari hidup perkawinan, walau tidak ditutup kemungkinan ada anak yang lahir di luar konteks itu. Dengan memberkati anak-anak, Yesus menegaskan bahwa anak-anak berhak atas kebahagiaan hidup, juga kebahagiaan dalam keluarga. Karena itu penting sekali menjaga keutuhan hidup keluarga, membangun hidup keluarga yang harmonis, agar di dalam keluarga itu anak-anak dapat bertumbuh-kembang dengan sebaiknya dan selayaknya. Di dalam keluarga itulah, anak diberi kemungkinan untuk berkenalan dengan Tuhan, datang kepada Tuhan. Hal itu tidak mungkin terjadi, kalau keluarga broken-home. Keluarga broken-home akan melahirkan anak-anak broken-heart. Ini menyedihkan. Maka penting sekali kerasulan hidup keluarga itu. Sebab Better marriage, holier culture. Jika perkawinan baik, maka budaya akan jadi baik. Apa yang disinggung dalam Bac.I, terkait dengan injil, sebab Matius mendasarkan ucapan Yesus pada kitab Kejadian. Persatuan pria-wanita dikehendaki Tuhan sejak awal penciptaan. Dan persatuan itu terarah kepada kesuburan dan pengembangan dunia.
BcE. Kej.2:18-24; Mzm.128:1-2.3.4-5.6; Ibr.2:9-11; Mrk.10:2-16.
Injil hari ini menarik perhatian. Walau ada usul Kalender liturgi untuk membacakan versi singkatnya, tetapi saya mau mengulasnya utuh. Menarik bahwa Injil mengisahkan dua hal penting. Pertama, mengenai perceraian, atau larangan Yesus atas perceraian. Kedua, ini menarik, Yesus melakukan tindakan amat penting dalam hidup-Nya, memberkati anak-anak. Apa hubungan kedua hal ini? Perkawinan adalah sesuatu yang dikehendaki dan direncanakan Tuhan sejak semula. Hukum Musa memberi kelonggaran bercerai, hanya karena nafsu dan ketegaran hati manusia (dalam Yunani, disebut eksplisit pria). Persekutuan pria-wanita dalam perkawinan direncanakan secara primordial oleh Allah. Anak-anak adalah buah dari hidup perkawinan, walau tidak ditutup kemungkinan ada anak yang lahir di luar konteks itu. Dengan memberkati anak-anak, Yesus menegaskan bahwa anak-anak berhak atas kebahagiaan hidup, juga kebahagiaan dalam keluarga. Karena itu penting sekali menjaga keutuhan hidup keluarga, membangun hidup keluarga yang harmonis, agar di dalam keluarga itu anak-anak dapat bertumbuh-kembang dengan sebaiknya dan selayaknya. Di dalam keluarga itulah, anak diberi kemungkinan untuk berkenalan dengan Tuhan, datang kepada Tuhan. Hal itu tidak mungkin terjadi, kalau keluarga broken-home. Keluarga broken-home akan melahirkan anak-anak broken-heart. Ini menyedihkan. Maka penting sekali kerasulan hidup keluarga itu. Sebab Better marriage, holier culture. Jika perkawinan baik, maka budaya akan jadi baik. Apa yang disinggung dalam Bac.I, terkait dengan injil, sebab Matius mendasarkan ucapan Yesus pada kitab Kejadian. Persatuan pria-wanita dikehendaki Tuhan sejak awal penciptaan. Dan persatuan itu terarah kepada kesuburan dan pengembangan dunia.
MINGGU, 27 SEPTEMBER 2009
Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE. Bil.11:25-29; Mzm.19:8.10.12-13.14; Yak.5:1-6; Mrk.9:38-43.47-48.
Injil hari ini mengisahkan beberapa hal menarik. Pertama, tentang orang yang mengusir Setan walau ia bukan pengikut Yesus. Para murid mencegahnya. Menarik apa yang menjadi sikap Yesus: Siapa yang tidak melawan kita, ia di pihak kita. Mungkin perlu mengembangkan sikap ini dalam hidup masyarakat, terutama yang ditandai ragu dan curiga dalam bersosialisasi dan berinteraksi di masyarakat. Sebab di sana, memang ada yang tidak suka pada kita, tetapi ada banyak yang menyukai dan mendukung kita. Kedua, mengenai penyebab dosa. Anak adalah manusia polos dan spontan. Tetapi ada orang yang memanfaatkan dan memanipulasi kepolosan itu. Kita harus sadar akan hal itu, karena kita meratifikasi undang-undang perlindungan anak. Tentang orang seperti itu, Yesus berkata: lebih baik ia ditenggelamkan agar mati. Masih ada dosa lain, yaitu terhadap diri sendiri. Kalau dosa muncul karena salah satu inderamu, sebaiknya indera itu dipotong, sebab lebih baik masuk surga dengan cacat dari pada masuk neraka dengan badan lengkap. Ini moralitas berat. Tentu tidak usah dipahami secara radikal dan harfiah. Yang dimaksud ialah, kita harus melatih organ tubuh agar tidak menjadi sumber dan gerbang dosa. Melatih itu dalam bahasa Yunani ialah askewo, asal-usul kata askese, asketik. Kita harus berlatih terus. Bac.II melukiskan jenis dosa lain, yaitu dosa sosial, dosa dalam relasi dengan sesama seperti penindasan dan ketidak-adilan. Ada yang menjadi kaya karena perilaku seperti ini. Ada yang menderita karenanya. Yakobus mengecam hal itu. Bac.I menyambung dengan Injil: sebagaimana dalam injil murid membatasi orang berbuat baik dalam nama Yesus, demikian juga dalam Bac.I, ada yang mengusulkan untuk membatasi karya Roh. Ini tidak sepatutnya. Kita harus bersukacita karena hal itu.
BcE. Bil.11:25-29; Mzm.19:8.10.12-13.14; Yak.5:1-6; Mrk.9:38-43.47-48.
Injil hari ini mengisahkan beberapa hal menarik. Pertama, tentang orang yang mengusir Setan walau ia bukan pengikut Yesus. Para murid mencegahnya. Menarik apa yang menjadi sikap Yesus: Siapa yang tidak melawan kita, ia di pihak kita. Mungkin perlu mengembangkan sikap ini dalam hidup masyarakat, terutama yang ditandai ragu dan curiga dalam bersosialisasi dan berinteraksi di masyarakat. Sebab di sana, memang ada yang tidak suka pada kita, tetapi ada banyak yang menyukai dan mendukung kita. Kedua, mengenai penyebab dosa. Anak adalah manusia polos dan spontan. Tetapi ada orang yang memanfaatkan dan memanipulasi kepolosan itu. Kita harus sadar akan hal itu, karena kita meratifikasi undang-undang perlindungan anak. Tentang orang seperti itu, Yesus berkata: lebih baik ia ditenggelamkan agar mati. Masih ada dosa lain, yaitu terhadap diri sendiri. Kalau dosa muncul karena salah satu inderamu, sebaiknya indera itu dipotong, sebab lebih baik masuk surga dengan cacat dari pada masuk neraka dengan badan lengkap. Ini moralitas berat. Tentu tidak usah dipahami secara radikal dan harfiah. Yang dimaksud ialah, kita harus melatih organ tubuh agar tidak menjadi sumber dan gerbang dosa. Melatih itu dalam bahasa Yunani ialah askewo, asal-usul kata askese, asketik. Kita harus berlatih terus. Bac.II melukiskan jenis dosa lain, yaitu dosa sosial, dosa dalam relasi dengan sesama seperti penindasan dan ketidak-adilan. Ada yang menjadi kaya karena perilaku seperti ini. Ada yang menderita karenanya. Yakobus mengecam hal itu. Bac.I menyambung dengan Injil: sebagaimana dalam injil murid membatasi orang berbuat baik dalam nama Yesus, demikian juga dalam Bac.I, ada yang mengusulkan untuk membatasi karya Roh. Ini tidak sepatutnya. Kita harus bersukacita karena hal itu.
MINGGU, 20 SEPTEMBER 2009
Oleh: Fransiskus Borgias M.
BcE. Keb.2:12.17-20; Mzm.54:3-4.5.6.8; Yak.3:16-4:3; Mrk.9:30-37.
Injil hari ini membicarakan dua pokok. Pertama, pemberitahuan kedua tentang penderitaan Yesus. Kedua, diskusi tentang siapa yang terbesar di antara murid. Menarik bahwa urutan kisah injil adalah seperti itu: mulai dengan nubuat derita, disusul pertengkaran para murid mengenai siapa yang terbesar di antara mereka. Menarik karena Yesus terarah kepada penderitaanNya, sedangkan murid sibuk membahas tentang siapa yang terbesar. Obsesi “kebesaran” (megalomania) memang selalu mengganggu banyak orang di dunia ini. Ingin selalu menjadi terdepan, menjadi teratas, menjadi unggulan, menjadi orang nomor satu. Simak saja iklan di televisi kita: kami teratas karena kwalitas. Di hadapan obsesi kebesaran itu Yesus memberi dua kriteria sederhana. Pertama, jika ada orang ingin menjadi yang terbesar, ia harus menjadi yang terkecil. Siapa yang ingin menjadi yang pertama, ia harus menjadi yang terakhir dan menjadi pelayan. Kedua, Ia mengambil seorang anak. Anak itu dijadikan model unggul dalam kerajaan surga. Polos, spontan, serba natural, be natural as a child. Dengan kata lain menjadi rendah hati. Hanya itu syaratnya. Bc.II berbicara tentang hawa nafsu yang menjadi awal pertengkaran dan sengketa. Obsesi kebesaran juga berawal dari nafsu itu. Nafsu itu mendatangkan iri hati dan di mana ada iri hati dan sikap mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Hari ini kita diajak untuk menghindarkan diri dari itu semua. Jika kita tidak bisa menghindarkan diri dari itu semua, berarti kita menjadi orang fasik yang merancangkan dan mendatangkan kejahatan dan bencana bagi orang baik (Bac.I).
BcE. Keb.2:12.17-20; Mzm.54:3-4.5.6.8; Yak.3:16-4:3; Mrk.9:30-37.
Injil hari ini membicarakan dua pokok. Pertama, pemberitahuan kedua tentang penderitaan Yesus. Kedua, diskusi tentang siapa yang terbesar di antara murid. Menarik bahwa urutan kisah injil adalah seperti itu: mulai dengan nubuat derita, disusul pertengkaran para murid mengenai siapa yang terbesar di antara mereka. Menarik karena Yesus terarah kepada penderitaanNya, sedangkan murid sibuk membahas tentang siapa yang terbesar. Obsesi “kebesaran” (megalomania) memang selalu mengganggu banyak orang di dunia ini. Ingin selalu menjadi terdepan, menjadi teratas, menjadi unggulan, menjadi orang nomor satu. Simak saja iklan di televisi kita: kami teratas karena kwalitas. Di hadapan obsesi kebesaran itu Yesus memberi dua kriteria sederhana. Pertama, jika ada orang ingin menjadi yang terbesar, ia harus menjadi yang terkecil. Siapa yang ingin menjadi yang pertama, ia harus menjadi yang terakhir dan menjadi pelayan. Kedua, Ia mengambil seorang anak. Anak itu dijadikan model unggul dalam kerajaan surga. Polos, spontan, serba natural, be natural as a child. Dengan kata lain menjadi rendah hati. Hanya itu syaratnya. Bc.II berbicara tentang hawa nafsu yang menjadi awal pertengkaran dan sengketa. Obsesi kebesaran juga berawal dari nafsu itu. Nafsu itu mendatangkan iri hati dan di mana ada iri hati dan sikap mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Hari ini kita diajak untuk menghindarkan diri dari itu semua. Jika kita tidak bisa menghindarkan diri dari itu semua, berarti kita menjadi orang fasik yang merancangkan dan mendatangkan kejahatan dan bencana bagi orang baik (Bac.I).
KAMIS, 13 AGUSTUS 2009
Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm).
BcE: Yos.3:7-10a.13-17; Mzm.114:1-2.3-4.5-6; Mat.18:21-19:1.
Hari ini ada Peringatan wajib Pontianus (Paus), Hippolitus (imam dan martir). Mari kita mengenang mereka dalam hidup dan doa kita. Injil hari ini amat menarik. Bagus sekali kalau dibuat teks drama singkat untuk anak-anak. Mungkin ada ibu sekolah minggu yang tertarik. Intinya ialah perumpamaan tentang pengampunan. Menurut Yesus, pengampunan itu tidak ada batasnya. Itulah yang diungkapkan dengan ungkapan: mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Pengampunan itu harus berefek secara sosial, dalam perilaku sosial-etis. Kalau sudah mendapat pengampunan dari Tuhan, maka kita wajib juga mengampuni sesama. Itu hukumnya. Adalah celaka besar kalau kita tidak mengampuni sesama, padahal kita sudah diampuni Tuhan. Itulah celaka yang menimpa orang dalam perumpamaan Yesus ini. Singkatnya ialah sbb: Ada seorang hamba berutang 10000 ribu talenta kepada seorang tuan. Hamba itu tidak bisa membayar hutangnya, ketika sang tuang menagihnya. Hidupnya terancam menjadi budak. Maka ia minta ampun. Tuan itu mengampuni dia. Tetapi ketika hamba itu berhadapan dengan temannya yang hutangnya hanya 100 dinar saja, ia mencekik temannya itu. Ia lupa bahwa ia baru saja luput dari lubang sengsara perbudakan. Peristiwa tragis itu dilaporkan kepada sang tuan. Kita tahu akhir cerita itu. Tinggal kita refleksikan diri sendiri: pernahkah kita merasa diampuni Tuhan? Lalu apa yang menjadi sikap kita terhadap sesama yang mungkin berutang (dalam bentuk apapun) kepada kita? Hanya anda sendiri saja yang tahu.
BcE: Yos.3:7-10a.13-17; Mzm.114:1-2.3-4.5-6; Mat.18:21-19:1.
Hari ini ada Peringatan wajib Pontianus (Paus), Hippolitus (imam dan martir). Mari kita mengenang mereka dalam hidup dan doa kita. Injil hari ini amat menarik. Bagus sekali kalau dibuat teks drama singkat untuk anak-anak. Mungkin ada ibu sekolah minggu yang tertarik. Intinya ialah perumpamaan tentang pengampunan. Menurut Yesus, pengampunan itu tidak ada batasnya. Itulah yang diungkapkan dengan ungkapan: mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Pengampunan itu harus berefek secara sosial, dalam perilaku sosial-etis. Kalau sudah mendapat pengampunan dari Tuhan, maka kita wajib juga mengampuni sesama. Itu hukumnya. Adalah celaka besar kalau kita tidak mengampuni sesama, padahal kita sudah diampuni Tuhan. Itulah celaka yang menimpa orang dalam perumpamaan Yesus ini. Singkatnya ialah sbb: Ada seorang hamba berutang 10000 ribu talenta kepada seorang tuan. Hamba itu tidak bisa membayar hutangnya, ketika sang tuang menagihnya. Hidupnya terancam menjadi budak. Maka ia minta ampun. Tuan itu mengampuni dia. Tetapi ketika hamba itu berhadapan dengan temannya yang hutangnya hanya 100 dinar saja, ia mencekik temannya itu. Ia lupa bahwa ia baru saja luput dari lubang sengsara perbudakan. Peristiwa tragis itu dilaporkan kepada sang tuan. Kita tahu akhir cerita itu. Tinggal kita refleksikan diri sendiri: pernahkah kita merasa diampuni Tuhan? Lalu apa yang menjadi sikap kita terhadap sesama yang mungkin berutang (dalam bentuk apapun) kepada kita? Hanya anda sendiri saja yang tahu.
RABU, 12 AGUSTUS 2009
Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Ul.34;1-12; Mzm.66:1-3a.5.16-17; Mat.18:15-20.
Hari ini ada peringatan fakultatif Yohana Fransiska de Chantal. Mari kita mengenang dia dalam hidup dan doa kita. Injil hari ini sangat menarik. Ia melukiskan tahap-tahap yang harus dilalui dalam menasihati saudara. Ini correctio fraternal. Ini sebuah kewajiban mendasar manusia agar saudaranya tidak jatuh dalam pencobaan dan dosa. Proses nasihat itu harus melewati tiga tahap. Pertama, menegur di bawah empat mata. Kedua, menegur dengan satu atau dua saksi. Ketiga, membawa persoalan itu kepada jemaat. Ini proses yang luar biasa. Sudah keterlaluan kalau ada orang yang keras kepala sampai tidak bisa mendengarkan nasihat sesama. Orang seperti ini sudah benar-benar tertutup mata hati dan mata kepalanya. Sulit untuk berubah. Kalau sulit berubah, maka ia tidak akan berbuah juga. Itu akibatnya. Selanjutnya, injil berbicara tentang kuasa pengampunan di dunia ini. Kalau di dunia ini sudah terjadi pengampunan, maka dari surga juga akan datang atau mengalir rahmat pengampunan. Selain itu injil juga berbicara tentang kekuatan doa bersama. Berdoa bersama itu jauh lebih efektif. Doa jemaat itu manjur. Doa di dalam dan bersama dengan jemaat memang paling sering dianjurkan dalam tradisi Kristiani. Itu sebabnya Ekaristi kita dirayakan di gereja, di tengah dan bersama dengan jemaat. Doa itu akan menjadi seperti asap dupa korban yang membumbung ke langit dan berkenan kepada Allah. Mengapa demikian? Karena Tuhan Yesus sendiri hadir di sana, di tengah jemaat yang berdoa kepada Bapa atas namaNya. Kita selalu mengajak berdoa dalam bentuk jamak (tidak pernah tunggal): Marilah kita berdoa. Latinnya: Oremus.
BcE: Ul.34;1-12; Mzm.66:1-3a.5.16-17; Mat.18:15-20.
Hari ini ada peringatan fakultatif Yohana Fransiska de Chantal. Mari kita mengenang dia dalam hidup dan doa kita. Injil hari ini sangat menarik. Ia melukiskan tahap-tahap yang harus dilalui dalam menasihati saudara. Ini correctio fraternal. Ini sebuah kewajiban mendasar manusia agar saudaranya tidak jatuh dalam pencobaan dan dosa. Proses nasihat itu harus melewati tiga tahap. Pertama, menegur di bawah empat mata. Kedua, menegur dengan satu atau dua saksi. Ketiga, membawa persoalan itu kepada jemaat. Ini proses yang luar biasa. Sudah keterlaluan kalau ada orang yang keras kepala sampai tidak bisa mendengarkan nasihat sesama. Orang seperti ini sudah benar-benar tertutup mata hati dan mata kepalanya. Sulit untuk berubah. Kalau sulit berubah, maka ia tidak akan berbuah juga. Itu akibatnya. Selanjutnya, injil berbicara tentang kuasa pengampunan di dunia ini. Kalau di dunia ini sudah terjadi pengampunan, maka dari surga juga akan datang atau mengalir rahmat pengampunan. Selain itu injil juga berbicara tentang kekuatan doa bersama. Berdoa bersama itu jauh lebih efektif. Doa jemaat itu manjur. Doa di dalam dan bersama dengan jemaat memang paling sering dianjurkan dalam tradisi Kristiani. Itu sebabnya Ekaristi kita dirayakan di gereja, di tengah dan bersama dengan jemaat. Doa itu akan menjadi seperti asap dupa korban yang membumbung ke langit dan berkenan kepada Allah. Mengapa demikian? Karena Tuhan Yesus sendiri hadir di sana, di tengah jemaat yang berdoa kepada Bapa atas namaNya. Kita selalu mengajak berdoa dalam bentuk jamak (tidak pernah tunggal): Marilah kita berdoa. Latinnya: Oremus.
Senin, 10 Agustus 2009
SELASA, 11 AGUSTUS 2009
Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Ul.31:1-8; MT.Ul.32:3-4a.7.8.9.12; Mat.18:1-5.10.12-14.
Hari ini ada peringatan wajib St.Klara. Ini hari raya bagi keluarga Fransiskan/es. Mari kita mengenang dia dalam hidup dan doa kita. Injil hari ini amat menarik. Ada dua hal yang diangkat. Pertama, siapa yang terbesar dalam Kerajaan Surga. Kedua, perumpamaan tentang domba yang hilang. Dalam yang pertama kita temukan salah satu paradoks besar dalam injil Mateus. Jika seseorang ingin masuk kerajaan surga, orang itu harus menjadi seperti anak kecil. Yesus mengemukakan hal ini untuk menjawab pertikaian yang muncul di antara para murid tentang siapa yang terbesar di dalam kerajaan surga. Ternyata kriterianya bukanlah jasa para murid itu. Juga bukan kedudukan mereka di dunia ini. Melainkan kwalitas hidup mereka, yang ditandai sikap polos, merendah, rendah hati, natural. Mungkin dari sinilah konteks munculnya ucapan terkenal dalam bahasa Inggris: Be natural as a child. Yang kedua, kiranya rada gampang. Ada perbandingan antara domba yang hilang yang ditemukan kembali, dan jiwa yang hilang atau berdosa tetapi bertobat. Ada pemeran yang ditampilkan di sini, yaitu pemilik domba, yang dibandingkan dengan Bapa di surga. Kalau di dunia ini, seorang gembala merasa amat bersukacita karena menemukan kembali satu domba yang hilang, demikian juga kebahagiaan di surga amat besar jika ada satu jiwa yang tadinya berdosa, tetapi bertobat. Orang itu sudah masuk dalam shalom Allah. Semoga kita menjadi seperti domba yang ditemukan kembali setelah hilang beberapa saat lamanya. Tentu akan jauh lebih baik, kalau kita menjadi domba yang tidak pernah tersesat.
BcE: Ul.31:1-8; MT.Ul.32:3-4a.7.8.9.12; Mat.18:1-5.10.12-14.
Hari ini ada peringatan wajib St.Klara. Ini hari raya bagi keluarga Fransiskan/es. Mari kita mengenang dia dalam hidup dan doa kita. Injil hari ini amat menarik. Ada dua hal yang diangkat. Pertama, siapa yang terbesar dalam Kerajaan Surga. Kedua, perumpamaan tentang domba yang hilang. Dalam yang pertama kita temukan salah satu paradoks besar dalam injil Mateus. Jika seseorang ingin masuk kerajaan surga, orang itu harus menjadi seperti anak kecil. Yesus mengemukakan hal ini untuk menjawab pertikaian yang muncul di antara para murid tentang siapa yang terbesar di dalam kerajaan surga. Ternyata kriterianya bukanlah jasa para murid itu. Juga bukan kedudukan mereka di dunia ini. Melainkan kwalitas hidup mereka, yang ditandai sikap polos, merendah, rendah hati, natural. Mungkin dari sinilah konteks munculnya ucapan terkenal dalam bahasa Inggris: Be natural as a child. Yang kedua, kiranya rada gampang. Ada perbandingan antara domba yang hilang yang ditemukan kembali, dan jiwa yang hilang atau berdosa tetapi bertobat. Ada pemeran yang ditampilkan di sini, yaitu pemilik domba, yang dibandingkan dengan Bapa di surga. Kalau di dunia ini, seorang gembala merasa amat bersukacita karena menemukan kembali satu domba yang hilang, demikian juga kebahagiaan di surga amat besar jika ada satu jiwa yang tadinya berdosa, tetapi bertobat. Orang itu sudah masuk dalam shalom Allah. Semoga kita menjadi seperti domba yang ditemukan kembali setelah hilang beberapa saat lamanya. Tentu akan jauh lebih baik, kalau kita menjadi domba yang tidak pernah tersesat.
Langganan:
Postingan (Atom)