Jumat, 27 Maret 2009

SABTU, 28 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Yer.11:18-20; Mzm.7:2-3.9bc-10.11-12; Yoh.7:40-53.


Kontroversi Yesus terus berlanjut. Itu yang kita dengar dari Injil hari ini. Paling tidak ada beberapa versi pendapat mengenai Yesus. Pertama, ada yang berkata, Dia ini benar-benar nabi yang akan datang. Kedua, ada yang berpendapat, Ia ini Mesias. Ketiga, ada yang menyangkal kemesiasan Yesus. Tetapi alasannya amat diskriminatif: Mesias tidak datang dari Galilea. Mesias harus datang dari Yudea, dari Betlehem, sebab Mesias itu berasal dari keturunan Daud. Pertikaian berlanjut ke level lebih tinggi. Sebab ketika utusan pemuka jemaat kembali kepada mereka yang mengutusnya, mereka bertanya: Mengapa Ia tidak kamu bawa? Ternyata jawaban mereka ini menunjukkan bahwa mereka terkagum-kagum dan percaya kepada Dia. Itu sebabnya orang Farisi melecehkan mereka: Apakah kamu juga telah disesatkan orang itu? Inti pertikaian memuncak, sebab screening mengenai efek penyesatan itu mulai masuk ke dalam lapisan paling elit kepemimpinan Yahudi: Adakah seorang di antara pemimpin yang percaya kepadaNya? Atau adakah seorang Farisi yang sudah terpengaruh olehNya? Pertanyaan menantang ini menyebabkan Nikodemus tampil. Ia bertanya mengenai hak prosedural seorang yang dicurigai. Justru karena itu Nikodemus juga dicurigai. Ia juga dilecehkan dan dituduh sebagai pengikut orang Galiela itu. Sesungguhnya pelecehan seperti itu masih ada juga hingga dewasa ini. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Semoga kita berada pada jalur yang benar.


JUM'AT, 27 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Keb.2:1a.12-22; Mzm.34:17-18.19-20.21-23; Yoh.7:1-2.25-30.


Injil hari ini mengisahkan salah satu kunjungan yang lain dari Yesus ke Yerusalem. Kunjungan ini terjadi bertepatan dengan Perayaan pondok daun Yahudi. Dalam kunjungan ini Yesus bersaksi tentang diriNya di tengah latar belakang polemik dan konflik dengan orang Farisi. Persoalan pokoknya masih sekitar Sabat. Yesus melanggar Sabat, itulah tuduhannya. Itu tidak main-main. Itu sangat serius. Yesus berusaha menunjukkan bahwa Ia berkuasa atas Sabat, Ia adalah Tuan atas Sabat. Sedemikian serunya pertikaian itu sehingga orang mulai bertikai tentang asal-usul Yesus. Dari mana asal orang ini, sehingga Ia begitu berani, lantang, cenderung nekat. Tentang hal ini muncul beberapa hipotesis. Ada dugaan bahwa Ia Mesias. Dugaan itu didukung fakta bahwa pemuka agama di Yerusalem tidak berbuat apa-apa terhadap Dia, padahal mereka mau membunuh Dia. Tetapi di kalangan rakyat, ada keyakinan bahwa Yesus adalah orang Nazaret. Mereka yakin mengenai asalnya. Maka mereka ragu bahwa Yesus adalah Kristus. Sebab Kristus tidak diketahui asalnya, padahal Yesus orang tahu asal-usulnya. Ada gagasan bahwa Mesias itu melampaui tempat, asal-usul geografis. Ia harus tampil seperti UFO. Dalam pengajaranNya di Bait Allah, Yesus menegaskan jati-diriNya sebagai utusan Bapa. Itu yang dianggap hojat oleh orang Yahudi. Mereka ingin menangkap dan membunuhnya, tetapi karena saatnya belum tiba, maka tidak seorang pun berani menyentuh Dia. Inilah salah satu kekhasan Yohanes, yaitu berbicara tentang teologi saat, yaitu saat yang penting dan menentukan dalam hidup.


Kamis, 26 Maret 2009

KAMIS, 26 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Kel.32:7-14; Mzm.106:19-20.21-22.23; Yoh.5:31-47.


Injil ini diambil dari perikopa berjudul Kesaksian Yesus tentang diri-Nya. Ya. Ia tidak hanya dipersaksikan orang lain, melainkan juga oleh diriNya sendiri. Salah seorang yang bersaksi tentang Dia ialah Yohanes Pembaptis. Tetapi ini kesaksian manusia. Yesus mempunyai kesaksian yang lebih dari itu, yaitu kesaksian dari Allah. Ini adalah salah satu argumentasi yang sulit dalam Yohanes. Tetapi ini inti alur argumentasi itu. Dari semula Bapa mempunyai pekerjaan yaitu rencana penciptaan dan penyelamatan. Pekerjaan itu berlangsung terus hingga kini dan sampai kekal. Kini pekerjaan Bapa dipercayakan kepada Anak. Anak dengan tekun melakukan pekerjaan itu agar orang bisa melihat dan mengenal Bapa melalui Anak. Tujuan akhirnya ialah agar orang mengakui bahwa Bapa-lah yang mengutus Anak. Tetapi sampai akhir perikopa ini, ternyata tidak ada orang yang percaya akan hal itu. Tentang hal itu, Yesus mengatakan bahwa bukan Dialah yang akan menghakimi ketidak percayaan itu, melainkan Musa. Sebab Musa telah menulis tentang Dia, dan kalau orang percaya pada Musa, seharusnya mereka mengenal utusan agung dari Bapa. Semoga kita didapati sebagai orang yang mampu percaya Yesus sebagai Anak, sebagai Utusan Bapa.


Senin, 23 Maret 2009

SELASA, 24 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Yeh.47:1-9.12; Mzm.46:2-3.5-6.8-9; Yoh.5:1-16.


Injil berkisah tentang mukjizat penyembuhan yang dikerjakan Yesus. Inilah mukjizat ketiga. Mukjizat ini khas Yohanes karena tidak ada dalam injil sinoptik. Konon ada kepercayaan bahwa air kolam itu bisa menyembuhkan berbagai penyakit kalau kolam itu berguncang, tatkala ada kunjungan malaekat. Di tengah kisah kepercayaan akan air itu, muncul Yesus. Ternyata Yesus bisa menyembuhkan penyakit, tetapi kali ini, Ia menyembuhkan dengan firman. Ketika Tuhan berfirman maka terjadilah apa yang difirmankan. Kita teringat akan kisah penciptaan pada awal mula. Tidak mengherankan karena intervensi Yesus menyebabkan terjadinya ciptaan baru, eksistensi baru: orang sembuh. Orang yang tadinya sakit lama, kini sembuh. Itu adalah pembebasan, penyelamatan. Kita yakin bahwa Yesus bisa menyembuhkan kita dari pelbagai sakit dan derita. Tindakan ini punya efek: ternyata mukjizat itu dilakukan pada Sabat. Maka terjadi perbenturan dengan pemuka agama Yahudi. Memang di sini tidak ada kontroversi, tetapi kita dapat bertanya kritis: apa yang dilarang dilakukan pada Sabat? Berbuat baik atau berbuat jahat? Kiranya yang dilarang ialah berbuat jahat. Perintah atau larangan itu berlaku untuk semua hari dan seumur hidup. Hal itu juga berlaku sama untuk perintah berbuat baik. Jadi ada prioritas etis di atas kewajiban kultis Sabat. Kalau terjadi kebakaran pada hari Sabat, adalah dosa kalau demi istirahat suci pada hari Sabat kita tidak berusaha menolong dan memadamkan hal itu.


Minggu, 22 Maret 2009

SENIN, 23 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Yes.65:17-21; Mzm.30:2.4.5-6.11-12a.13b; Yoh.4:43-54.


Injil hari ini berkisah tentang mukjizat yang dikerjakan Yesus yaitu menyembuhkan anak pegawai istana. Seluruh injil Yohanes mengandung tujuh mukjizat besar yang dikerjakan Yesus. Sebenarnya ada yang kedelapan, yaitu kebangkitanNya sendiri. Dan mukjizat yang kita dengar hari ini adalah tanda kedua dari untaian tujuh tanda tersebut. Penginjil dengan cukup jelas memperlihatkan fakta iman yang ada pada si pegawai istina itu sebagai syarat dan dasar untuk dapat terjadinya peristiwa penyembuhan. Artinya kalau orang tidak percaya sulitlah terjadi mukjizat dalam diri orang seperti itu. Sebaliknya, kalau orang percaya maka dalam hidup orang itu akan terjadi banyak mukjizat mengagumkan. Semoga segala mukjizat yang terjadi itu pada gilirannya dapat menyuburkan hidup iman, baik hidup iman pribadi si subjek pengalaman iman, maupun hidup iman kelompok yaitu orang-orang yang berada di sekitar si subjek pengalaman. Mukjizat penyembuhan pasti mendatangkan efek sukacita besar. Efek sukacita itu harus juga tampak dan bila perlu ditampakkan secara sosial dan komunal. Kita tidak dapat dan tidak boleh mengurung peristiwa rahmat dalam kesempitan cinta diri kita sendiri.


Jumat, 20 Maret 2009

SABTU, 21 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Hos.6:1-6; Mzm.51:3-4,18-19.20-21ab; Luk.18:9-14.


Injil hari ini sangat menarik. Di sini dikemukakan dua model peran manusia. Yang satu orang Farisi. Yang lain pemungut cukai. Kedua orang ini dibandingkan secara kontras satu sama lain dalam satu aktifitas fundamental kaum beragama, yaitu berdoa. Kedua orang ini sama-sama dilukiskan berdoa di Bait Allah. Yang satu berdoa dengan sangat angkuh. Jelas ini contradictio in terminis, sebuah kontradiksi dalam istilah itu sendiri: Berdoa, yang seharusnya dengan rendah hati, malah disampaikan dengan sombong. Tetapi itulah yang terjadi, itulah yang dilakukan si Farisi itu. Ia membanggakan dan menyombongkan perbuatan baik dan unggul yang ia lakukan menurut ketetapan tiga tiang tonggak kesalehan Taurat: berdoa, berbuat amal sedekah, berpuasa. Boleh bangga. Tetapi jangan sampai jatuh dalam kesombongan. Apalagi kalau sampai menghina orang lain. Itu yang dilakukan si ahli Taurat. Ia menghina si pemungut cukai, yang berdoa dengan rendah hati, penuh sesal dan tobat, tidak berani mengangkat kepala, tunduk menyembah. Itulah sikap yang patut dan pantas dalam berdoa. Yesus membenarkan orang terakhir ini: “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai oran gyang dibenarkan Allah, sedangkan orang lain itu tidak.” Mengapa demikian? Karena: “...siapa saja yang meninggikan diri, ia akan direndahkan dan siapa saja yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Ini adalah hukum paradoks moralitas Yesus Kristus. Benar-benar melawan arus.

Kamis, 19 Maret 2009

JUM'AT 20 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Hos.14:2-10; Mzm.81:6c-8a.8bc-9.10-11ab.14.17; Mrk.12:28b-34.

Judul Injil hari ini ialah Hukum yang terutama. Ada seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentang perintah paling utama. Yesus menjawab dia dengan mengutip perintah mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Dalam tanggapan baliknya, ahli Taurat itu membenarkan jawaban Yesus. Tetapi ia menambahkan beberapa keterangan penting. Salah satunya ialah keterangan bahwa perintah “mengasihi” itu lebih utama dari pada semua jenis kurban. Jadi, ada prioritas kasih di atas kurban. Kira-kira sama seperti kata nabi (Amos dan Hosea): ada prioritas keadilan di atas kurban. Kurban tidak ada artinya kalau orang tidak memperhatikan kasih dan keadilan. Kemudian dalam injil diberi keterangan lanjut bahwa Yesus membenarkan orang itu dengan sebuah pernyataan menarik: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah.” Apa artinya? Kalau kita sudah sampai pada pemahaman dan praksis hidup yang memprioritaskan kasih dan keadilan di atas segala-galanya, terutama di atas korban maka kita sudah dekat pada Allah. Kurban bisa dilakukan juga dengan mengorbankan prinsip kasih dan keadilan. Kalau itu terjadi, maka Tuhan Allah tidak sudi menerima kurban seperti itu. Dalam hal ini para nabi adalah promotornya. Yesus berada pada jalur kenabian agung itu.

Selasa, 17 Maret 2009

RABU, 18 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Ul.4:1.5-9; Mzm.147:12-13.15-16.19-20; Mat.5:17-19.

Injil hari ini amat singkat. Hanya dua (tiga) ayat. Isinya mengenai hubungan Yesus dengan Hukum Taurat. Yesus menegaskan bahwa tujuan kedatanganNya ke dunia bukan untuk membatalkan Taurat dan para nabi melainkan untuk menggenapinya. Yesus-lah kegenapan itu. Ialah kegenapan seluruh warta Perjanjian Lama. Mungkin itu sebabnya, dengan tegas Ia mengatakan dalam ay.19: barang siapa “mengubah” sedikit saja Taurat lalu mengajarkan versi gubahan itu, orang itu akan menjadi yang terkecil dalam kerajaan Allah. Lalu kita bagaimana? Perintah sehubungan dengan ini juga jelas. Yaitu di bagian akhir ayat 19: “...tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkannya, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga.” Maka kriteria pembenaran dan penyelamatan ialah “melakukan dan mengajarkan” apa yang tertulis di sana. Jadi, kesetiaan itu amat penting. Yesus, sebagai penggenapan Taurat, itulah yang harus menjadi anutan hidup kita. Kita harus melakukan dan mengajarkan segala sesuatu yang terkait dengan hidup, perkataan dan perbuatanNya. Akhirnya, walau kita tidak mempestakannya, tetapi kita harus ingat bahwa gereja hari ini mempunyai pesta fakultatif St.Sirilus dari Yerusalem. Selaku Uskup dan Pujangga Gereja ia telah melaksanakan kewajiban hidup sebagai pengikut Kristus. Kita patut meneladani hidup dia juga.

Senin, 16 Maret 2009

SELASA, 17 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Dan.3:25.34-43; Mzm.25:4bc-5bc.8-9; Mat.18:21-35.

Injil hari ini amat menarik: perumpamaan pengampunan. Untuk menjawab Petrus, Yesus menegaskan bahwa hal mengampuni itu harus sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Ini perlipatan sebanyak tiga kali angka tujuh yang bagi orang Israel adalah lambang kesempurnaan. Jadi pengampunan harus total, bahkan tanpa syarat; mengampuni begitu saja. Titik. Untuk mengilustrasi pengampunan tanpa batas dan syarat itu Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan. Menarik jika kita fokus pada tokoh yang ada di sini. Ada seorang hamba. Ia berutang sepuluh ribu talenta. Ketika tuan mengancam untuk menjual dia sebagai pelunas utang, ia bersujud dan menyembah memohon ampunan dan belas kasih. Lalu tuan itu, tergerak oleh belas kasihan, misericordia, sehingga keluar pengampunan dan pembebasan. Lalu kembali lagi ke hamba tadi. Ia bertemu dengan hamba lain yang berutang padanya 100 dinar. Hamba tadi, mengancam rekannya itu. Ketika rekannya bersujud dan memohon, ia menolak. Ia menjebloskan dia ke penjara. Reaksi kasihan justru datang dari teman lain. Mereka laporkan hal itu kepada sang tuan. Tuan itu marah dan berbalik menghukum hamba yang tidak tahu diri. Pesannya jelas: Kalau kita diampuni, selayaknya kita harus menularkan sukacita ampunan itu kepada orang lain yang bermasalah dengan kita. Kalau tidak demikian maka kita akan terkena batu bencananya juga.

SENIN, 16 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: 2Raj.5:1-15a; Mzm.42:2.3; Mzm.43:3.4; Luk.4:24-30.

Injil hari ini adalah bagian utuh dari peristiwa Yesus ditolak di Nazaret, sehingga dari situ keluar ucapan terkenal ini: “...tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya.” Karena penolakan itu Yesus mengutip peristiwa sejarah untuk mendukung pernyataanNya. Ada dua peristiwa sejarah yang dikutip. Pertama, mukjizat yang dikerjakan Elia bagi seorang janda di Sarfat yang tidak termasuk wilayah Israel. Justru di luar Israel-lah Elia berkenan mengerjakan mukjizat padahal bencana kelaparan juga menimpa Israel. Kedua, mukjizat penyembuhan sakit kusta si Naaman. Dia ini orang Siria. Banyak orang kusta di Israel, tetapi orang Siria yang disembuhkan. Kisah ulang sejarah itu menyinggung perasaan pendengarNya sehingga mereka marah dan mengusir Dia bahkan ingin menghancurkan Dia. Tetapi Ia berjalan lewat begitu saja. Tidak terjadi apa-apa di sana karena mereka tidak berkenan menerima. Mereka tidak siap menerima. Ini sebuah pelajaran bagi kita: apakah kita siap menerima Yesus atau tidak? Jangan-jangan kita termasuk orang yang menolak Dia, karena kita merasa tidak sudi menerima kehadiranNya. Jika demikian, ini saatnya bertobat, mengubah arah dan orientasi hidup kita agar diarahkan atau terarah kepada Kristus.

MINGGU, 17 MEI 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE. Kis.10:25-26.34-35.44-48; Mzm.98:1.2-3ab.3cd-4; 1Yoh.4:7-10; Yoh.15:9-17.


Injil hari ini berkisah tentang perintah saling mengasihi. Teks ini amat terkenal dan berat untuk dipahami. Kita akan diam dalam kasih Yesus kalau kita menurut perintahNya. Ini dimaksudkan agar sukacita Yesus tinggal bersama kita dan dengan itu sukacita kita pun menjadi penuh. Yesus memberi perintah baru, novum mandatum, saling mengasihi. Modelnya, kasih Yesus kepada kita. Kasih tanpa syarat. Satu arah. Kita tidak berhak menuntut imbalan bagi kasih. Pokoknya, mengasihi begitu saja. Lalu ada kalimat terkenal dalam ay.13: Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Mengharukan. Semoga kita siap dan layak menerima dan menanggapi kasih itu. Dengan dasar kasih itu, Petrus, dalam Bac.I bisa merangkul orang dari kalangan para bangsa. Ia sadar bahwa kasih Allah tidak membeda-bedakan orang. Tidak ada yang dianggap najis. Kasih itulah yang diwartakan dalam Bac.II. Bahkan Bac.II meloncat kepada pemahaman dan definisi akan Allah: bahwa Allah adalah kasih, Deus caritas est. Kalau kita mengasihi, berarti kita berasal dari Allah. Kalau tidak mengasihi, orang itu tidak mengenal Allah. Kasih itu universal, serba merangkul, dan me-rachim-i, dengan kehangatan yang menghidupkan.


MINGGU, 10 MEI 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE. Kis.9:26-31; Mzm.22:26b-27.28.30.31-32; 1Yoh.3:18-24; Yoh.15:1-8.


Injil hari ini bicara tentang pokok anggur yang benar. Sebuah perumpamaan yang amat terkenal dan mudah dipahami. Yesuslah pokok anggur itu. Kitalah rantingnya. Ranting tidak dapat hidup dan berbuah kalau ia terlepas dari pokoknya. Itu sudah jelas. Maka kita harus tetap menyatu dengan pokok itu agar bisa hidup dan berbuah. Caranya, dengan mengenal Yesus terus menerus, lewat Kitab Suci, doa, Ekaristi dan devosi pribadi. Ini amat penting, sebab praksis itulah yang mendekatkan kita pada Yesus. Kalau kita jauh dari Yesus atau terlepas dari Yesus maka kita menjadi kering dan mati, lalu tidak berguna, selain untuk dibuang dan dibakar. Tragis bukan? Bac.I berkisah tentang Saulus, yang setelah luput dari bahaya maut di Damaskus lewat upaya lolos dengan keranjang, pergi ke Yerusalem. Walau belum begitu gencar, Saulus mulai mewartakan nama Yesus. Kini Saulus menjadi ranting Yesus sang pokok anggur. Bac.II mulai dengan ajakan untuk saling mengasihi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Selanjutnya ada perintah untuk saling mengasihi dan menuruti perintahNya. Sebab kalau kita menurut perintahNya maka Allah berdiam dalam kita dan kita berdiam dalam Allah. Luar biasa!


MINGGU, 03 MEI 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE. Kis.4:8-12; Mzm.118:1.8-9.21-23.26.28cd.29; 1Yoh.3:1-2; Yoh.10:11-18.


Hari ini Minggu Panggilan. Kita diajak berdoa memohon rahmat dan benih panggilan gereja, khususnya panggilan khusus. Tetapi jangan lupa mohon rahmat panggilan umum hidup di tengah dunia, sebagai kesaksian awam. Injil hari ini bicara tentang Gembala yang Baik. Ada beberapa ciri. Pertama, gembala yang baik rela mengurbankan nyawa demi dombanya. Dari perspektif paskah, Yesus mengurbankan nyawa demi kita. Dialah gembala baik. Ciri ini dikontraskan dengan gembala gadungan yang penakut. Kedua, gembala yang baik mengenal domba dan domba mengenal gembala. Pengenalan timbal balik, seperti pengenalan Bapa dan Anak. Ketiga, si gembala memiliki domba lain yang bukan dari kandang ini? Si gembala harus menuntun domba-domba itu. Domba itu mau mendengarkan suara si gembala dan mereka menjadi satu kawanan dengan satu gembala. Siapa? Agak sulit dijawab. Mungkin yang dimaksud ialah kelompok orang non-Yahudi yang percaya sebagaimana dikisahkan Kisah. Bac.I mengisahkan mukjizat yang dikerjakan Petrus dalam nama Yesus, nama yang amat istimewa sebab “...keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberiakn kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Paham shalom dalam Yesus itu yang ditekankan Bac.II. Dalam Yesus kita dibawa masuk ke dalam relasi anak dengan Bapa di surga.


MINGGU, 26 APRIL 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Kis.3:13-15.17-19; Mzm.4:2.4.7.9; 1Yoh.2:1-5a; Luk.24:35-48.


Injil ini terdiri atas dua penggal. Pertama, kisah penampakan. Kedua, kisah penugasan. Yesus menampakkan diri kepada murid secara tidak terduga dan menyampaikan Damai sejahtera kepada mereka. Mereka takut dan terkejut karena mengira melihat hantu. Untuk membuktikan bahwa Ia bukan hantu, melainkan Tuhan (Tuhan, mudah berubah/diubah jadi hantu), Yesus menunjukkan bekas lukaNya. Ternyata itu belum meyakinkan. Maka Yesus meminta makan. Karena dalam kepercayaan orang Yahudi saat itu, hantu tidak bisa makan. Dan Yesus makan sepotong ikan goreng. Sesungguhnya injil belum jelas mengatakan bahwa mereka percaya. Namun kita langsung masuk ke bagian kedua. Dimulai dengan tujuan kehadiran Yesus setelah kebangkitanNya yaitu membuat para murid semakin mengerti. Maka Yesus membuka mata dan pikiran mereka agar bisa memahami Kitab Suci menyangkut nubuat Mesias. Bahwa Mesias harus menderita tetapi bangkit dari antara orang mati pada hari ketiga. Tidak hanya sampai di situ. Dalam nama Mesias itu, warta tentang tobat dan ampun diwartakan ke seluruh dunia, mulai dari Yerusalem. Di sini dan dengan ini, para murid mendapat martabat baru: menjadi saksi kebangkitan. Ini adalah jabatan yang tidak main-main: Menjadi saksi. Jabatan itu sekaligus menjadi tugas atau kewajiban. Di situlah tantangannya. Itulah yang ditegaskan dalam Bac.I. Petrus menegaskan “...tentang hal itu kami adalah saksi.” Tetapi itu terjadi sebagai jalan Allah agar nubuat Mesias terpenuhi. Maka tetap terbuka jalan shalom bagi orang yang membunuh Yesus: itulah tobat. Itulah inti Bac.I. Dalam Bac.I kita diajak hidup suci. Tetapi kalau jatuh dalam dosa, jangan sampai dosa itu mematikan, sebab kita mempunyai harapan dalam Yesus. Hanya dengan satu syarat: kita menuruti sabda-Nya. Itulah tanda nyata kita murid Yesus.


MINGGU, 19 APRIL 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE. Kis.4:32-35; Mzm.118:2-4.13-15.22-24; 1Ptr.1:3-9; Yoh.20:19-31.

Tradisi menyebut hari ini sebagai Minggu Kerahiman Ilahi, minggu yang memberikan kasih Ilahi. Ditempatkan sesudah Minggu Paskah untuk menunjukkan kaitan dengan misteri tanda kasih dan kerahiman Allah. Injil hari ini mengisahkan penampakan Tuhan kepada para murid. Ada tiga bagian. Pertama, kisah penampakan kepada para murid tanpa Tomas. Kedua, kisah penampakan dan Tomas hadir. Ketiga, penegasan mengenai maksud Injil dicatat. Dalam yang pertama, di hadapan murid yang takut, Yesus dua kali menyampaikan damai sejahtera. Setiap kali Yesus melanjutkan dengan tindakan khas. Dalam yang pertama, Yesus menunjukkan luka. Melihat itu para murid bersukacita. Dalam ucapan kedua, Yesus melakukan dua hal. Yaitu mengutus murid sebagaimana Ia diutus Bapa. Jadi, pengutusan itu diteruskan. Yesus mencurahi murid dengan Roh dan dengan itu diberi kuasa pengampunan dosa kepada mereka. Penggal kisah kedua, Tomas hadir. Sebab dalam penampakan terdahulu ia tidak hadir. Itu sebabnya ketika para murid mengisahkan hal itu, Tomas tidak percaya. Maka keluarlah ucapan terkenal itu: sebelum aku mencucukkan jariku ke lukanya aku tidak percaya. Ketika Tuhan datang, Tomas tidak membutuhkan bukti lagi. Ia langsung loncat ke iman. Maka Yesus mengucapkan kalimat terkenal ini yang berlaku bagi kita: berbahagialah orang yang tidak melihat namun percaya. Itulah kita. Bac.I, bicara tentang cara hidup jemaat. Ada beberapa ciri: mereka adalah orang yang percaya. Mereka juga sehati dan sejiwa; ada harta milik bersama. Mereka tidak kekurangan. Bac.II bicara tentang harapan, iman dan kasih. Itulah tiga “modal” utama dalam menghayati dan mengarungi hidup di dunia ini. Itu semua mungkin karena kasih karunia dan rahmat Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus.

Minggu, 15 Maret 2009

SABTU, 14 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Mi.7:14-15.18-20; Mzm.103:1-2.3-4.9-10.11-12; Luk.15:1-3.11-32.


Injil hari ini amat terkenal yaitu perumpamaan tentang anak hilang. Ini juga teks khas Lukas, sebab tidak ada pada kedua injil sinoptik lain. Perumpamaan ini adalah rangkaian dari tiga perumpamaan dalam Bab 15. Perumpamaan pertama tentang domba yang hilang. Perumpamaan kedua tentang dirham yang hilang. Perumpamaan ketiga tentang anak yang hilang. Jadi, ketiganya sama-sama hilang. Tetapi ada perbedaan mendasar di antara ketiganya. Kedua “barang” yang hilang dalam dua perumpamaan terdahulu, bisa ditemukan karena dicari dengan ekstra kuat oleh pemilik. Domba ditemukan setelah dicari. Dirham ditemukan setelah dicari. Tetapi anak yang hilang, pulang sendiri. Itu bedanya: ia pulang sendiri. Tetapi ia sudah ditunggu dengan penuh kasih oleh Bapa yang mencintainya betapa pun ia durhaka. Lukas dengan kisah ini mau mengibaratkan Allah sebagai Bapa yang maharahim, mahakasih, penuh kasih setia. Ia adalah bapa. Bagi dia, tidak ada sukacita yang lebih besar selain dari sukacita karena anak yang dianggap hilang dan mati kini hidup dan ditemukan kembali. Perlu dibandingkan antara si bungsu dan si sulung. Ketika si bungsu kembali, ia bertobat dan tetap menyapa ayahnya sebagai Bapa. Terkenal sekali ucapan ini: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan Bapa. Sedangkan si sulung, ia tidak menyapa ayahnya sebagai Bapa, melainkan sebagai kau/engkau. Memang tidak kentara dalam terjemahan kita. Si sulung tidak berada dalam relasi anak-Bapa dengan ayahnya. Sedangkan si bungsu berada dalam relasi anak-Bapa dengan ayahnya.


Kamis, 12 Maret 2009

JUM'AT 13 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Kej.37:3-4.12-13a.17b-28; Mzm.105:16-17.18-19.20-21; Mat.21:33-43.45-46.


Injil hari ini terdiri atas dua bagian besar. Pertama, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan. Kedua, reaksi pendengar atas kisah itu. Di bagian pertama, dikisahkan bagaimana pemilik kebun anggur mengutus tiga kelompok utusan untuk menuai panen anggur di kebun anggurnya dari penggarapnya. Kelompok pertama beberapa hamba. Tetapi mereka dibunuh para penggarap. Maka diutuslah kelompok utusan kedua berupa para hamba juga. Nasib mereka tidak lebih baik dari kelompok pertama. Akhirnya si tuan mengutus anaknya sendiri. Ternyata yang ini pun tidak bernasib lebih baik. Bahkan ia menjadi target utama karena dialah ahli waris. Ia pun dihabisi. Tidak ada jalan lain bagi pemilik kebun anggur selain datang sendiri. Ketika ia datang, ia menghancurkan orang-orang yang selama ini ia percayai. Ternyata mereka tidak dapat dipercayai, sebab mereka berkhianat. Maka mereka akan diganti. Jelas ini sebuah kisah sindiran. Maka tidak mengherankan bahwa ada kelompok pendengar yang merasa tersinggung dengan kisah sindiran itu. Itulah sebabnya mereka berencana melenyapkan Yesus. Sebab perkataan dan ucapanNya terasa menggigit, terasa menusuk perasaan, tidak hanya secara individual melainkan terutama sekali secara kelompok.


KAMIS, 12 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Yer.17:5-10; Mzm.1:1-2.3.4.6; Luk.16:19-31.


Injil hari ini amat menarik. Ini adalah perumpamaan khas Lukas, karena tidak ada dalam injil sinoptik lain. Yesus membentangkan sebuah kisah dramatis tentang orang kaya dan orang miskin. Kisah ini sedemikian menariknya sehingga tanpa harus diterangkan pun orang sudah bisa menangkap apa isinya. Namun kiranya baik kalau di sini saya memberikan beberapa pesan moral hidup yang bisa diambil dari injil ini. Pertama, kita jangan egois dengan kekayaan kita. Kita tidak boleh menjadi kenyang sendiri dalam hidup ini. Kekayaan dan makanan adalah untuk dibagikan, untuk dinikmati bersama. Jangan ditumpuk sendiri. Nanti membusuk seperti manna di padang gurun itu. Kedua, hendaknya kita sadar bahwa masih ada hidup lain sesudah hidup ini. Hendaknya dalam hidup sekarang dan di sini kita benar-benar memperhitungkan efek hidup sekarang ini untuk hidup yang lain di masa datang. Ketiga, mutu hidup di masa datang ditentukan oleh mutu hidup kita di dunia ini. Kita tidak dapat melakukan perbaikan setelah tiba di arena hidup yang akan datang. Semuanya sudah terlambat. Maka mulailah kita hidup dengan sebaiknya sekarang dan di sini agar kita bisa menikmati kebahagiaan kekal di surga. Akhirnya, teks ini juga secara keseluruhan menjadi pesan bagi kita: kita tidak usah menunggu orang yang datang dari seberang kubur untuk melakukan perbaikan hidup kita sekarang dan di sini. Kalau mau bertobat, sekarang inilah saatnya, sebelum semuanya terlambat.


RABU, 11 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

BcE: Yer.18:18-20; Mzm.31:5-6.14.15-16; Mat.20:17-28.


Injil hari ini mengisahkan beberapa adegan penting. Pertama, mulai dengan nubuat ketiga mengenai penderitaan Yesus. Sesudah itu ada adegan permohonan seorang ibu. Yesus adalah Mesias, yaitu dia yang dimuliakan, dia yang diurapi Tuhan sendiri. Betapa agung dan mulianya martabat itu. Mungkin hal itu menarik perhatian banyak orang. Maka ibu dua murid Yesus mencoba mendekati Yesus dengan secara nepotis. Ia memohon agar kedua anaknya nanti di dalam kerajaan sang Mesias boleh duduk di sebelah kanan dan kiri. Untuk menanggapi permohonan itu, Yesus mengajukan sebuah tuntutan dan persyaratan yang amat berat: yaitu melewati lorong derita. Ternyata kedua murid itu menyatakan kesanggupan dan kerela-sediaan mereka. Yesus memuji hal itu, tetapi hak untuk menetapkan hal tersebut ada pada Bapa dan bukan pada Yesus. Sesudah sebuah pertengkaran di antara para murid, Yesus melanjutkan dengan beberapa nasihat penting. Pertama, mereka harus mengatur dan memerintah hidup bersama dengan lemah lembut dan dengan prinsip cinta kasih; jangan dengan memakai kekerasan dan sikap sewenang-wenang. Kedua, sebuah kewajiban untuk melayani sebagai jalan untuk menjadi yang terbesar. Ketiga, sebuah kewajiban untuk menjadi hamba kalau orang ingin menjadi yang pertama. Ini semua paradoksal, tetapi memang demikian adanya. Dasar dari semua ini adalah dasar Kristologis: Kristus datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Itulah prinsip hidup komunitas Kristiani: berani menempuh dan menekuni lorong paradoksal dalam hidup ini. Berkurban adalah jalan dan prasyarat hidup bersama.


SELASA, 10 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Yes.1:10.16-20; Mzm.50:8-9.16bc-17.21.23; Mat.23:1-12.

Injil hari ini amat menarik. Yesus menasihati kita agar mendengarkan perkataan orang Farisi dan ahli Taurat tetapi jangan meniru perbuatan mereka. Sebab ada jarak dan perbedaan besar antara perkataan dan perbuatan. Perbuatan tidak otomatis sejalan dengan perkataan. Apa yang orang katakan, belum tentu sesuai dengan apa yang ia lakukan. Maka, kita dengar perkataannya yang baik, dan tidak usah meniru perbuatannya yang jahat. Mana perbuatan tidak terpuji dari orang yang dikecam Yesus? Pertama, mereka mengajarkan hal-hal yang baik, tetapi pengajar itu tidak melaksanakannya. Kedua, mereka menaruh beban kewajiban ke pundak orang lain, tetapi mereka sendiri tidak mau memikul beban itu. Kalau memakai bahasa HAM sekarang: ini yang namanya standar ganda; penguasa suka mengecualikan diri dari peraturan dan hukum yang ada. Hukum hanya diperuntukkan bagi orang kecil dan lemah. Sedangkan penguasa boleh dengan sesuka hati melanggar peraturan dan hukum yang ada. Ini sebentuk kemunafikan. Kemunafikan itu menjangkiti hidup agama: berdoa di tempat mencolok agar dilihat dan dipuji orang. Yesus mengarahkan kita agar rendah hati, jangan suka disapa Rabi, Bapak, Pemimpin, sebab kita semua sama. Injil diakhiri dengan ucapan indah: siapa yang terbesar di antara kamu, hendaklah menjadi pelayanmu. Siapa yang meninggikan diri, akan direndahkan dan siapa yang merendahkan diri, akan ditinggikan. Sebuah paradoks yang memang benar demikian.

Rabu, 11 Maret 2009

SENIN, 09 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)
BcE: Dan.9:4b-10; Mzm.79:8.9.11.13; Luk.6:36-38.

Injil yang kita dengar hari ini sangat singkat. Tetapi isinya padat. Dimulai dengan sebuah imbauan untuk bersikap murah hati, untuk meniru Bapa di surga yang amat murah hati. Atas dasar sikap murah hati itu, lalu dibentangkan sebuah perintah untuk jangan menghakimi. Tujuannya ialah agar kita sendiri juga tidak dihakimi orang lain. Selain perintah untuk jangan menghakimi kita juga mendengar perintah untuk jangan suka mempersalahkan agar kita juga tidak di(per)salahkan orang lain atau dijadikan korban untuk sebuah kesalahan. Setelah memberi perintah negatif itu, penginjil melanjutkan dengan perintah positif untuk mengampuni agar kamu juga diampuni. Terdengar di sini sebuah hukum alam yang akan kembali berefek pada diri kita: apa saja yang kita lakukan keluar, kepada sesama akan berefek juga kepada diri kita sendiri. Perintah positif mengampuni itu dilanjutkan dengan perintah etis positif lain yang mengingatkan kita akan kewajiban untuk memberi: berilah, maka kamu akan diberi. Perintah etis pun berlaku juga dalam dunia dagang, sebuah etika bisnis: jangan menipu dengan memanipulasi timbangan dalam berdagang. Sebab ukuran yang kita pakai untuk orang lain, suatu saat akan diukurkan juga kepada kita sendiri. Maka, hati-hatilah dengan pikiran, perkataan, perbuatan kita masing-masing. Mungkin itu sebabnya dalam doa “Saya Mengaku” kita memohon ampun atas dosa yang mungkin terjadi karena pikiran, perkataan, perbuatan, dan kelalaian kita.

SABTU, 07 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Bc.E.Ul.26:16-19; Mzm.119:1-2.4-5.7-8; Mat.5:43-48.


Lagi-lagi dalam injil hari ini kita dengar pengajaran Yesus yang intinya ialah radikalisasi pelbagai tuntutan dan perintah Taurat. Soal perintah mengasihi sesama dan membenci musuh. Hal itu diperintahkan dengan jelas dalam Imamat. Yesus mengubah hal ini secara radikal: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka. Ini loncatan amat besar. Tentu tidak mudah. Dasar perintah ini ialah bahwa dengan berbuat demikian kita menyatakan diri sebagai anak Bapa di surga. Bagaimana perilaku Bapa itu? Ia tidak membeda-bedakan: ia membagikan rahmat hujan dan matahari untuk semua, tidak peduli apa yang mereka lakukan. Ia panjang sabar dan besar kasih setia. Saya menyebut ini sebagai pendasaran teologis-vertikal. Kita dipanggil untuk meniru perbuatan Bapa di surga. Pendasaran lain ialah pendasaran humanis-horizontal. Kalau kita hanya mengasihi sesama, itu adalah perbuatan standar, tidak ada lebihnya, tidak ada istimewanya. Semua orang juga bisa dan biasa berbuat begitu. Maka sebagai pengikut Yesus kita harus berani berbuat lebih. Kita harus berbuat lebih terus menerus. Semoga dengan itu kita menjadi sempurna. Itu sebabnya perikopa ini ditutup dengan seruan terkenal ini: Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di surga sempurna. Sulit? Tentu. Tetapi kita mencobanya sedikit demi sedikit. Sebab kata orang Latin: Gutta cavat lapidem, non vi sed saepe cadendo. Titik air bisa melobangi batu karang bukan karena kekuatan melainkan karena ia terus menerus jatuh menetes ke atasnya. Mari kita belajar dari pelajaran alam ini.


Kamis, 05 Maret 2009

JUM'AT, 06 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Bc.E.Yeh.18:21-28; Mzm.130:1-2.3-4ab.4c-6.7-8; Mat.5:20-26.


Injil hari ini juga membeberkan ke hadapan kita beberapa pelajaran yang amat penting. Pertama, sebuah ajakan untuk melakukan kehendak Allah secara radikal, yaitu melampaui semangat ahli Taurat dan orang Farisi yang sering hanya sebatas tuntutan formal legalistik belaka. Kedua, sebuah radikalisasi perintah etis untuk menghormati hidup. Hukum Taurat melarang pembunuhan. Yesus membuat perintah itu menjadi lebih radikal dengan memperluas cakupan makna pembunuhan. Bunuh tidak lagi sekadar menggorok leher atau menembak orang. Melainkan perkataan kotor dan kasar saja sudah dianggap membunuh, membunuh watak, character assasination. Begitu juga amarah. Ya, amarah itu memang bisa sangat mematikan, paling bisa mematikan relasi sosial dan komunikasi. Ketiga, sebuah teologi mengenai korban persembahan. Pada jaman Yesus orang sangat menekankan persembahan. Orang bahkan yakin bahwa kalau sudah melakukan persembahan maka segala sesuatu sudah pulih. Yesus mengatakan, bahwa yang terpenting ialah perbaikan secara nyata relasi sosial terlebih dahulu. Kalau perbaikan itu sudah dilakukan barulah datang memberikan persembahan. Tidak ada gunanya sama sekali mempersembahkan korban tetapi masih ada orang yang kita sakiti hatinya. Dalam arti inilah kita bisa memahami seruan beberapa nabi Perjanjian Lama: Yang aku kehendaki bukan korban, melainkan hati yang remuk redam, hati yang bertobat, hati yang sudi mengampuni, memaafkan.


KAMIS, 05 MARET 2009

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Bc.E.Est.4:10a.10c-12.17-19; Mzm.138:1-2a.2bc-3.7-8; Mat.7:7-12.


Ada sesuatu yang amat indah, menarik dan penting dalam injil hari ini. Pertama, ialah perihal doa. Kita harus selalu berdoa. Itulah artinya kalau dikatakan “mintalah maka akan diberikan kepadamu.” Kita tidak pernah boleh berputus-asa dalam hidup. Sebab tidak ada pencarian yang sia-sia, yang berakhir dalam hampa, dalam nihilisme. Semua bermuara pada makna dan pemaknaan. Kedua, untuk menegaskan kebenaran teologis dalam butir pertama, Yesus memberi ibarat yang bermuara pada kesimpulan afortiori: Jadi, kalau kamu yang jahat tahu memberi apa yang baik, apalagi Bapamu yang di sorga. Ini sebuah ajakan untuk percaya kepada Bapa, memasrahkan hidup kita kepada penyelenggaraan Ilahi. Bapa itu amat baik, mahabaik: Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya. Ketiga, sebuah kaidah emas yang terkenal itu: kita harus melakukan kepada orang lain, apa yang kita inginkan orang lain lakukan kepada kita. Kita tidak dapat menuntut orang lain berbuat sesuatu kepada kita kalau kita tidak terlebih dahulu melakukan sesuatu untuk dia. Jadi, prakarsa berasal dari kita. Tetapi ini juga bukan prinsip do ut des, sebuah perbuatan pamrih, melainkan ini sebuah hukum alam. Kita hanya dapat berharap kebaikan dari orang lain apa yang sudah pernah kita lakukan bagi orang lain. Tidak perlu orang yang satu dan sama. Mungkin balasan itu akan datang dari sudut dan arah yang tidak terduga-duga sama sekali. Angin bertiup ke mana saja ia mau.